Renah Kasah, Desa Mandiri Energi dari Air Taman Nasional Kerinci Seblat
Novaeny Wulandari • Penulis
31 Januari 2024
4
• 4 Menit membaca

Desa Renah Kasah, terletak di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Desa tersebut menjadi penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), yang berada di sisi timurnya.
Sebagian besar warga desa bermata pencaharian sebagai petani karena lokasinya yang mendukung untuk bercocok tanam sayuran, padi, dan kayu manis. Yakni berada di lereng Gunung Kerinci bertopografi gelombang dan datar, dengan tekstur tanah lempung.
Untuk menuju desa, harus melewati jalan berlumpur yang berada di atas rawa-rawa yang merupakan aliran dari Rawa Bento. Rawa tersebut berjarak sekitar 18 kilometer dari Desa Renah Kasah. Adapun, jalan setapak tersebut berupa tumpukan kayu, batu, dan tanah..
Pada tahun 90-an, warga desa terpaksa memfungsikan kincir air ala kadarnya sebagai sumber energi listrik mereka. Mereka memanfaatkan air dari aliran sungai Sigi yang membelah desa dan menghidupi kebutuhan warga selama puluhan tahun. Seperti untuk pertanian hingga kelistrikan.
Hal itu dilakukan lantaran letak geografis desa yang belum aksesibel dan terpencil sehingga luput dari jangkauan jaringan listrik milik PT Perusahaan Listrik Nasional (PLN).
Salah satu warga Desa Renah Kasah, Ciasni mengatakan, setiap satu kincir yang terpasang di sungai mampu melistriki 5–7 rumah warga. Inisiatif tersebut ikut menumbuhkan kepedulian warga desa.
Mereka menjadi rajin merawat dan memelihara kincir air dari kotoran seperti rumput-rumput liar, kotoran, sampah yang berpotensi mengganggu kinerja dalam memproduksi listrik.
“Dari dulu, air memang jadi sumber listrik kami. Kami cuma bisa menikmati listrik 3–7 jam. Redup lampunya, sekarang terang,” katanya sebagaimana dilaporkan Mongabay, Selasa, 26 September 2023.
Penantian panjang mereka membuahkan hasil. Pada tahun 2020, Desa Renah Kasah mendapatkan bantuan dari United Nations Development Programme (UNDP).
Program pembangunan Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLTMH) berkapasitas 60 kiloWatt (kW) yang memanfaatkan potensi air dari kawasan TNKS itu sukses melistriki 100 kepala keluarga desa.
Program tersebut melibatkan banyak pihak untuk pendanaannya melalui proyek bernama Market Transformation for Renewable Energy and Energy Efficiency (MTRE3). Di antaranya dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Badan Amil Zakat Nasional, dan Bank Jambi. Total nilai bantuan mereka mencapai Rp 4,79 miliar.
Tujuan program MTRE3 untuk mendukung desain dan rencana aksi mitigasi perubahan iklim dalam sektor pembangkit listrik dan penggunaan air.
Sekretaris Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Sahid Junaidi mengatakan, pembangunan PLTMH menjadi salah satu strategi untuk mengejar rasio elektrifikasi dan desa berlistrik. Berdasarkan catatannya, rasio elektrifikasi dan desa berlistrik pada tahun 2022 mencapai 99,63 persen atau naik 0,18 persen dari tahun 2021. Pada tahun itu mencapai 99,45 persen.
Pihaknya menargetkan rasio elektrifikasi dan desa berlistrik pada tahun 2023 rampung sebanyak 100 persen.
“Langkah peningkatan akses energi di desa bukan hal yang mudah, butuh dukungan berbagai stakeholder, juga mitra luar negeri seperti UNDP yang membantu melihat potensi daerah setempat. Pembangunan PLTMH sejalan dengan arah kebijakan nasional, yakni transisi dari (energi) fosil ke (energi) minim emisi dan ramah lingkungan,” jelas Sahid seperti dilaporkan National Geographics, Selasa 26 September 2023.
Program MTRE3 tidak hanya untuk Desa Renah Kasah. Tetangganya, Desa Lubuk Bangkar yang berjarak 339 kilometer ikut mendapatkan bantuan serupa sejak tahun 2018. PLTMH dengan kapasitas sama–sebanyak 60 kW–itu melistriki 283 rumah selama 24 jam.
Kepala Desa Lubuk Bangkar, Radinal Muhtar menjelaskan, PLTMH di desanya ikut dimanfaatkan untuk melistriki fasilitas umum yang ada. Seperti dua sekolah, enam masjid, satu kantor desa, dan enam fasilitas kesehatan setempat.
“Dulu, masyarakat pakai senter dan obor ke masjid, musala, dan ke sungai untuk buang air besar. Sekarang dengan adanya lampu jalan masyarakat merasa terbantu karena sungai-sungai tempat pemandian sudah diterangi lampu PLTMH,” tuturnya.
Warga desa, lanjut Radinal, hanya perlu membayar listrik menggunakan voucer seharga Rp30 ribu. Dana dari hasil penjualan listrik masuk ke kas BUMDES yang digunakan untuk pemeliharaan PLTMH.
Direktur Eksekutif Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka), Tri Mumpuni menilai, pendanaan transisi energi–seperti MTRE3–harus mengedepankan prinsip berkeadilan. Hal itu juga berlaku sama terhadap skema pendanaan transisi energi dari Just Energy Transition Partnership (JETP). Menurutnya, masyarakat dan komunitas lokal perlu menjadi pelaku utama dan bagian dari transisi energi.
“Kecenderungan (skema pendanaan transisi energi) akan dialokasikan untuk pembangkit-pembangkit skala besar, dengan mengabaikan kemampuan masyarakat untuk mengelola energi terbarukan. Ada banyak praktik baik di Indonesia, menggantikan posisi energi batubara.” pungkas Tri Mumpuni.
Ia mendorong pemerintah untuk mengutamakan prinsip berkeadilan saat bertransisi energi untuk mencapai target nol emisi bersih (Net Zero Emission/NZE) tahun 2060 atau lebih cepat.