Meredam Risiko Penolakan PLTS Terapung untuk Transisi Energi Berkeadilan

Robby Irfany Maqoma Penulis

11 Juli 2025

total-read

7

5 Menit membaca

Meredam Risiko Penolakan PLTS Terapung untuk Transisi Energi Berkeadilan

Kredit foto: PLN

 

Indonesia punya potensi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung besar hingga 89 gigawatt (GW) yang tersebar di berbagai wilayah, seperti Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. PLTS terapung adalah pembangkit listrik yang diletakkan di atas permukaan air danau, waduk, maupun laut. 

 

Potensi PLTS terapung tersebut sangat penting untuk transisi energi Indonesia. Saat ini, PT PLN (Persero) berencana mengembangkan proyek PLTS terapung di Saguling dan Jatiluhur di Jawa Barat, Karangkates di Jawa Timur, dan Kedung Ombo di Jawa Tengah dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (PLTS). Proyek serupa juga tengah berjalan di Danau Singkarak, Sumatra Barat. 

 

Wajar apabila PLTS terapung menjadi primadona. Selain untuk memenuhi target pengembangan energi terbarukan, Indonesia juga ingin mengulang kesuksesan PLTS terapung Cirata di Jawa Barat yang biaya pembangkitanya murah, sekitar US$5,8 sen per kilowatt jam (kWh) dibandingkan dengan biaya komersial pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar US$9 sen per kWh. Pembangunannya pun cepat, tak sampai 3 tahun.

 

Meski berpotensi menciptakan banyak manfaat, sejumlah proyek PLTS terapung juga tak luput dari potensi masalah sosial dan lingkungan. Mengingat besarnya target pengembangan PLTS terapung ini, pemerintah harus membenahi perencanaan dan pengadaannya untuk mencegah masalah di kemudian hari yang berisiko menghambat transisi energi yang berkeadilan.

 

Penolakan PLTS terapung

 

PLTS terapung yang berada di perairan memiliki keunggulan dengan PLTS konvensional karena tidak berbenturan dengan fungsi lahan lainnya di daratan. Namun, di tengah animo terhadap potensinya, pemerintah kerap luput bahwa sumber air ini telah menjadi nadi kehidupan bagi masyarakat sekitar selama puluhan tahun.

 

Di PLTS Cirata, misalnya, ada sekitar 120 nelayan yang terdampak beroperasinya pembangkit sejak 2023. Para nelayan turun-temurun mencari nafkah dengan menangkap ikan maupun udang di atas waduk yang beroperasi sejak 1987 tersebut. PLTS kemudian membuat hasil tangkapan jauh menurun dan pendapatan nelayan berkurang. 

 

PLN sempat menjanjikan lapangan pekerjaan bagi warga terdampak. Namun, janji manis itu dimentahkan dengan fakta bahwa perusahaan hanya merekrut orang-orang muda. Kebanyakan di antaranya pun berasal dari luar kawasan PLTS.

 

Maka wajar jika banyak penduduk sekitar danau maupun waduk menolak PLTS terapung di sekitar mereka. Masyarakat adat Malalo Tigo Jurai yang hidup di di sekitar Danau Singkarak di Sumatra Barat, misalnya, menolak PLTS terapung karena mengkhawatirkan kondisi danau akan berubah dan memengaruhi kehidupan mereka. Warga juga mengeluhkan PLN yang tak pernah melakukan sosialisasi dan tak transparan seputar perencanaan maupun dampak proyek ini.

 

Suara senada juga disampaikan oleh masyarakat di sekitar Waduk Karangkates di Kabupaten Malang maupun Waduk Kedung Ombo di Sragen. Mereka menilai proyek proyek PLTS terapung berlangsung tanpa partisipasi yang adil bagi warga.  

 

Proyek lain yang tak luput dari penolakan adalah PLTS terapung Saguling di Jawa Barat. Dalam proyek pemerintah ini, warga—terutama para nelayan—merasa dua kali terkena sial karena telah tergusur oleh proyek lainnya, yakni normalisasi sungai Citarum sejak 2018. PLTS terapung Saguling juga menjadi sorotan karena masuk dalam daftar Just Energy Transition Partnership (JETP), alias didanai oleh kerja sama global negara-negara maju dengan Indonesia. Kemitraan ini sepatutnya bertujuan untuk mendanai transisi energi yang mempertimbangkan suara masyarakat lokal sebagai kelompok yang terdampak.   

 

Dampak PLTS terapung 

 

Selain menghasilkan energi terbarukan, PLTS terapung memang bisa menciptakan dampak positif bagi perairan. Di antaranya menjaga debit air terutama pada musim kemarau ataupun mengurangi risiko ledakan alga yang bisa mematikan ikan-ikan. 

 

Namun, proyek PLTS terapung tak luput dari sejumlah risiko. Studi Benjamins dan tim pada 2024 menggarisbawahi sejumlah dampak yang berisiko timbul karena PLTS terapung—baik di danau, waduk, maupun laut. 

 

Misalnya, panel surya PLTS terapung akan menutupi permukaan air dan mengurangi masuknya cahaya matahari. Tutupan ini memiliki bermacam-macam dampak, mulai dari terhambatnya fotosintesis organisme perairan seperti plankton, hingga penurunan kadar oksigen dalam air.

 

Selain itu, pantulan cahaya dari panel surya juga bisa membingungkan burung-burung ataupun serangga air tertentu. Kabel-kabel listrik ataupun instalasi bawah air lainnya juga mengganggu rute jelajah ikan maupun belut yang bermigrasi.

 

Potensi dampak di atas belum termasuk dengan risiko polusi bahan kimia dari cat khusus infrastruktur PLTS. Polusi juga bisa berasal dari mikroplastik dari bahan tertentu di infrastruktur yang terbuat dari plastik ataupun komposit.

 

Pemerintah memang membatasi penempatan PLTS terapung tak melebihi 5% dari total luas perairan waduk. Meski begitu, potensi risiko yang dapat timbul ini tidak bisa disepelekan karena dapat berimbas ke ekosistem maupun masyarakat sekitar. 

 

Bagaimana mengatasinya?

 

PLTS terapung adalah inisiatif baik yang menciptakan beragam manfaat. Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah harus membuat peraturan khusus yang memastikan partisipasi bermakna masyarakat –tak hanya dalam PLTS terapung, tapi juga proyek energi terbarukan lainnya. Pasalnya, partisipasi yang minim kerap menjadi masalah utama dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia, seperti di pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).

 

Aturan ini harus mewajibkan pelibatan masyarakat secara bermakna sejak tahap perencanaan. Artinya, perencanaan awal proyek perlu dilakukan berdasarkan persetujuan masyarakat—bukan cuma jadi stempel. Warga pun berhak atas informasi yang menyeluruh seputar proyek, serta dampak-dampak yang berpotensi muncul di masa depan. 

 

Pemerintah bisa belajar dari kisah sukses partisipasi masyarakat dalam pengembangan energi terbarukan di Motete, Lesotho. Dalam proyek ini, masyarakat mendapatkan akses informasi yang memadai, ruang untuk konsultasi, dan berpartisipasi dalam pelaksanaan teknisnya. Hasilnya, studi menemukan penerimaan masyarakat terhadap proyek ini sangat tinggi.  

 

PLN juga dapat meningkatkan penerimaan energi terbarukan di masyarakat dengan memastikan mereka menikmati manfaat. Misalnya, PLN dapat memberikan diskon tarif listrik selama waktu tertentu bagi masyarakat setempat. PLN pun juga perlu memastikan pelaksanaan proyek PLTS terapung ini juga melibatkan bisnis lokal serta usaha kecil di sekitarnya.

 

Selain masyarakat, pemerintah juga harus memastikan evaluasi dampak sosial dan lingkungan proyek PLTS terapung melibatkan ahli agar lebih komprehensif. Langkah ini sebenarnya sudah dilakukan PLN dengan melibatkan Badan Riset dan Inovasi Nasional di PLTS terapung Singkarak. Namun, hasil studi ini nantinya harus ditindaklanjuti dalam proyek sesuai rekomendasi ahli dan konsultasi bersama masyarakat.

 

Terlepas dari potensi dampaknya, pengembangan energi terbarukan merupakan keharusan untuk mengakhiri ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil. Namun, transisi energi ini juga perlu disertai perbaikan perencanaan dan pengembangan agar masalah sosial maupun lingkungan akibat energi fosil tidak terulang. 

Populer

Terbaru