Gembar-Gembor Hilirisasi Nikel Ternyata Bukan untuk Mobil Listrik

Cintya Faliana Penulis

11 Juni 2025

total-read

9

4 Menit membaca

Gembar-Gembor Hilirisasi Nikel Ternyata Bukan untuk Mobil Listrik

Beberapa waktu lalu, sejumlah aktivis memprotes aktivitas pertambangan dan hilirisasi nikel di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang menyebabkan penggundulan 500 hektare hutan serta dugaan pencemaran perairan di surga terumbu karang tersebut. Ini merupakan satu dari sekian banyak penolakan masyarakat terhadap aktivitas serupa yang terjadi di kawasan Indonesia timur seperti Morowali dan Halmahera Utara sejak bertahun-tahun lalu.

 

Dampak lingkungan ini merupakan buah ambisi hilirisasi nikel pemerintah yang menginginkan pengolahan barang tambang di dalam negeri sejak terbitnya Undang Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada 2009. Dalihnya adalah meningkatkan nilai jual ke pasar global.

 

Ungkapan hilirisasi semakin kencang saat pemerintah gencar mengampanyekan nikel olahan Indonesia untuk bahan baku baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia bahkan mengungkapkan telah tersedia dana investasi sebesar US$45 miliar. Tujuannya adalah mengembangkan ekosistem hilirisasi nikel untuk rantai pasok kendaraan listrik yang dianggap sebagai salah satu kunci transisi energi sektor transportasi

 

Namun demikian, benarkah nikel yang dikeruk dari berbagai daerah ini digunakan untuk kendaraan listrik?

 

Bukan untuk kendaraan listrik

Pada 2020, laporan Wood Mackenzie menampilkan mayoritas nikel di dunia masih digunakan untuk industri baja sebesar 71%. Baja digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti infrastruktur bangunan, perkakas rumah tangga, hingga infrastruktur panel surya maupun turbin angin.

 

Kondisi ini pun tercermin di Indonesia. Mayoritas smelter nikel (49 dari total 54 smelter) yang masif dibangun sejak 2010an merupakan fasilitas untuk memproduksi feronikel dan nickel pig iron—bahan baku baja.  

 

Sementara itu hanya 3% dari total pasokan nikel dunia yang digunakan kebutuhan untuk kendaraan listrik. Meskipun tren ini diprediksi meningkat pada 2040, kebutuhan untuk kendaraan listrik hanya akan berkisar di 30% saja dari total produksi dan pengolahan nikel.

Cadangan nikel Indonesia ‘terbesar’ di dunia

United States Geological Survey (USGS) mengungkapkan cadangan nikel Indonesia mencapai 55 juta ton atau 42% dari cadangan nikel di dunia. Secara akumulatif, total cadangan nikel di dunia mencapai 130 juta ton.

 

Dari sisi produksi, Indonesia mendominasi pasar nikel dengan memproduksi 59% dari total produksi global sebesar 3,7 juta ton pada 2024. Angka ini terus naik dari tahun ke tahun. Setahun sebelumnya, Indonesia hanya memproduksi 2,03 juta ton atau 54% dari total produksi global.

(Sumber: USGS & Goodstats, Infografis: Irene Esterlita)

 

Jumlah cadangan ini disusul oleh Australia, Brazil, Rusia, Kaledonia Baru, Filipina, China, Kanada, dan Amerika Serikat. 

 

Catatan Kementerian ESDM tahun 2023 memaparkan cadangan nikel tersebar di wilayah timur Indonesia, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Cadangan ini menyimpan bijih nikel dengan kadar yang bervariasi—secara umum terbagi dalam dua jenis: saprolit dan limonit.

 

Saprolit merupakan bijih berkadar nikel tinggi untuk bahan baku baja. Sementara limonit mengandung lebih sedikit kadar nikel. Namun, dengan teknologi high-pressure acid leach (HPAL), nikel jenis ini bisa menjadi bahan utama Mixed Hydroxide Precipitate (MHP)—salah satu bahan baku baterai EV.

 

Secara umum, total cadangan saprolit jauh lebih banyak daripada cadangan limonit. Meski begitu, total cadangan kedua jenis nikel ini mengalami peningkatan  dari tahun ke tahun karena masifnya aktivitas eksplorasi atau pencarian cadangan.

(Sumber: ESDM, Infografis: Irene Esterlita)

 

Nikel yang tidak bersih

Kampanye yang sering digaungkan oleh pemerintah bahwa nikel Indonesia merupakan bagian dari transisi menuju energi ‘yang lebih bersih’ tidak sepenuhnya tepat. 

 

Pasalnya, pertambangan dan pengolahan nikel telah terbukti mengakibatkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pendapatan daerah di kabupaten penghasil utama nikel di Indonesia nyatanya tidak kembali ke masyarakat. Pada 2022, penduduk Morowali hanya memperoleh 4,35% dan Morowali Utara hanya menyerap 15,89% dari total nilai PDRB masing-masing kabupaten. 

 

Sementara pada tahun yang sama, tingkat kemiskinan di kedua daerah tersebut masih tinggi. Masyarakat miskin di Morowali berada di angka 12,58% dan Morowali Utara sebanyak 12,97%, berada di atas rata-rata Sulawesi Tengah di level 12,33%. 

 

Belum lagi bencana alam yang diduga terjadi akibat maraknya penambangan tidak kunjung berhenti. Setidaknya telah terjadi banjir di Teluk Tomori dan longsor di Dusun Towi, Morowali Utara. Selain itu, banjir di Bahodopi, Morowali juga dipicu oleh deforestasi dan infrastruktur drainase yang tidak memadai akibat eksploitasi tambang nikel.

 

Pada akhirnya, pemerintah harus memperjelas tujuan hilirisasi nikel dan transparan dalam prosesnya. Beragam polemik yang disebabkan dalam proses hilirisasi nikel muncul akibat kegagalan pemerintah menunjukkan akuntabilitas dan integritasnya selama ini.

Populer

Terbaru