Mengenal Blended Finance untuk Mempercepat Transisi Energi Indonesia
Cintya Faliana • Penulis
23 Februari 2025
2
• 5 Menit membaca

Menteri Keuangan Sri Mulyani berulang kali menyebutkan “blended finance” setiap kali menyinggung upaya pendanaan transisi energi di Indonesia. Dalam forum Conference of the Parties (COP) ke-28 Uni Emirat Arab (UAE) 2023 lalu, Sri Mulyani juga menyebutkan hal ini:
“Di Indonesia, kita punya (proyek pembangkit listrik) 35 ribu megawatt, 60% berbasis batu bara. Peran blended finance, dalam hal ini filantropi, swasta, multilateral development bank (MDB), termasuk dengan uang negara dan BUMN menjadi sangat penting untuk dapat mewujudkan komitmen ini.”
Apa blended finance yang dimaksud dan bagaimana cara kerjanya?
Apa itu blended finance?
Oxfam Policy & Practice menjelaskan blended finance secara umum berarti menggabungkan dana bantuan pembangunan resmi (Official Development Assistance/ODA) dengan sumber daya publik atau swasta untuk menarik lebih banyak pendanaan pembangunan. ODA yang dimaksud adalah bantuan keuangan atau teknis dari pemerintah negara maju ataupun lembaga pendanaan multilateral kepada negara berkembang seperti World Bank, USAID, IMF, dan lainnya.
Definisi serupa digunakan oleh Climate Policy Initiatives (CPI) yaitu penggunaan dana publik/filantropi untuk memobilisasi sejumlah besar modal swasta tambahan. Pada hakikatnya, blended finance adalah gabungan pendanaan dari sektor publik, swasta, dan filantropi.
Bagaimana cara kerja blended finance?
Bentuk blended finance bisa sangat beragam. Tiga elemen yang sudah disebutkan yaitu publik, swasta, dan filantropi memiliki peran berbeda.
Dana publik terutama adalah pemerintah yang menyediakan modal awal untuk menarik investasi swasta. Pendanaan ini biasanya dilakukan melalui kas negara. Selain itu, pendanaan swasta dilakukan oleh perbankan, modal ventura, atau perusahaan swasta lain yang akan menambahkan modal. Sementara filantropi atau organisasi nirlaba sering berperan sebagai penyedia hibah atau bantuan teknis untuk meningkatkan kelayakan proyek.
Di Indonesia contohnya adalah PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) yang mengelola platform SDG Indonesia One. Platform ini memfasilitasi mobilisasi modal swasta dan publik dalam kerangka blended finance untuk proyek infrastruktur hijau
Ada beberapa cara yang digunakan untuk menarik investasi swasta adalah lewat instrumen mengurangi risiko.
Pertama, jaminan dan asuransi risiko. Pemerintah atau negara-negara multilateral biasanya memberikan jaminan terhadap sebagian risiko kerugian proyek. Jaminan ini menjadi nilai lebih untuk swasta yang ingin berinvestasi. Contohnya, program kemitraan Inggris-Indonesia, MENTARI, menyediakan dana hibah sebesar Rp21 miliar kepada PT Brantas Energi. Tujuannya adalah meningkatkan kelayakan finansial untuk pembangunan tiga pembangkit listrik tenaga air di Lombok, Bali, dan Sumatra Barat.
Kedua, first-lost capital atau dana publik menanggung kerugian awal jika terjadi sesuatu. Tujuannya adalah memberikan perlindungan bagi investor swasta.
Ketiga, pinjaman berbunga rendah alias pinjaman lunak. Pemerintah atau bank pembangunan menawarkan pinjaman dengan bunga rendah dengan tenor panjang (misalnya 15 tahun) untuk meningkatkan kelayakan finansial proyek. Skema pinjaman ini juga acap disebut dengan pinjaman konsesi (concessional loan) yang berfokus pada program ataupun proyek dengan dampak besar tapi minim keuntungan ekonomi. Misalnya adalah pembangunan jaringan distribusi dan transmisi listrik, sanitasi, hingga distribusi vaksin.
Selain itu, ada juga pinjaman non-konsesi, yakni pembiayaan berbunga lebih tinggi—meski belum tentu setara dengan pinjaman komersial—dengan tenor pengembalian yang lebih panjang. Proyek yang mendapatkan pinjaman ini biasanya memiliki risiko politik yang lebih besar.
Adakah tantangan dalam blended finance?
Bukannya tanpa kekurangan, blended finance punya beberapa catatan. Misalnya ketimpangan risiko dan keuntungan bagi sektor publik atau swasta. Dana publik cenderung menanggung risiko lebih besar dibanding swasta.
Ini pun belum termasuk risiko salah pengelolaan bahkan fraud yang lebih tinggi. Banyak proyek yang menggunakan skema blended finance kurang memiliki laporan yang jelas terkait dampak sosial dan lingkungannya. Oleh karena itu, aspek transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam penyelenggaraan blended finance.
Bagaimana contoh praktik blended finance?
Salah satu contoh sukses blended finance adalah Proyek Solar Farm di Thailand. Awalnya proyek ini tidak diminati oleh investor karena risiko yang cukup tinggi pada 2008. Namun, International Finance Corporation (IFC) dan Clean Technology Fund (CTF) menyediakan pinjaman senilai US$12 juta pada 2010 untuk mendukung proyek tersebut.
Setelah pilot phase sukses, proyek tersebut berhasil menarik minat swasta hingga terkumpul investasi swasta senilai lebih dari US$800 juta dalam bentuk pinjaman yang didapatkan dari berbagai bank komersial.
Lewat investasi tersebut, Proyek Solar Farm tersebut mampu menyediakan daya listrik hingga 250 MW. Angka ini melampaui target awal yang diperkirakan hanya mampu menyediakan daya listrik 204 MW. Dengan besarnya daya listrik yang dihasilkan dari proyek ini turut berkontribusi pada upaya penurunan emisi karbon di Thailand.
Indonesia, Vietnam, dan Afrika Selatan juga memanfaatkan blended finance lewat program yang sama yaitu Just Energy Transition Partnership (JETP). Masing-masing dengan nilai US$21,6 miliar, US$15,5 miliar, dan US$8,5 miliar.
JETP menggabungkan hibah, pinjaman lunak, dan investasi swasta. Dana ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada batu bara dan mempercepat investasi di energi terbarukan.
Mempercepat transisi energi lewat blended finance
Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk transisi energi di Indonesia mencapai US$25-30 miliar sampai 2030. Secara spesifik, di sektor ketenagalistrikan, PLN membutuhkan Rp4.000 triliun hingga 2040 untuk mewujudkan transisi energi.
Besarnya biaya ini tidak bisa ditanggung oleh pemerintah masing-masing negara. Tanggung jawab untuk mendorong transisi energi harus dilakukan oleh berbagai pihak, terutama negara-negara dengan penghasil emisi terbesar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sampai detik ini, Amerika Serikat menempati posisi pertama dengan 400 miliar ton CO2 atau 25% dan disusul oleh Uni Eropa dengan 22% dari total emisi global.
Terutama dengan mempertimbangan ketimpangan produksi karbon selama ini, negara-negara Global North perlu membuktikan tanggung jawab melalui mekanisme kompensasi dengan skema blended finance. Global North berutang kompensasi sebesar US$192 triliun terhadap negara-negara di belahan bumi selatan atau US$940 per kapita tiap tahun hingga 2050.
Laporan IRID juga mengungkapkan aliran dana dari filantropi ke proyek perpanjangan penggunaan bahan bakar fosil masih sangat besar mencapai US$45 miliar. Sedangkan, dana yang mengalir untuk upaya pengurangan emisi GRK sepanjang 2015-2021 hanya US$3,5 miliar.
Blended finance bisa menjadi instrumen yang efektif menarik investasi ke sektor energi hijau. Meski demikian, proyek dengan mekanisme blended finance harus didukung dengan regulasi yang jelas dan tegas dari pemerintah.
Editor: Robby Irfany Maqoma