Peta jalan pensiun dini PLTU Indonesia: Bagaimana aturan baru bisa menjamin transisi berkeadilan

Sartika Nur Shalati, Agung Budiono Penulis

25 Juni 2025

total-read

32

7 Menit membaca

Peta jalan pensiun dini PLTU Indonesia: Bagaimana aturan baru bisa menjamin transisi berkeadilan

Foto: CERAH

Dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2025 pada 15 April lalu, pemerintah Indonesia menetapkan peta jalan untuk transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Tujuannya untuk mengurangi ketergantungan batu bara dan mencapai net zero emission pada 2060. 

Langkah ini bertepatan dengan komitmen Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk melakukan pensiun dini terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon 1 berkapasitas 660 megawatt (MW) dengan dukungan dana dari Asian Development Bank (ADB). Pembangkit tersebut akan ditutup tujuh tahun lebih awal dari kontrak operasi saat ini.

Sepintas, aturan ini seperti langkah ambisius yang memuat rencana-rencana yang patut diapresiasi seperti pensiun dini PLTU, pembangunan energi terbarukan, dan investasi teknologi rendah karbon. 

Namun, aturan ini belum menyentuh bagian penting dalam transisi energi, yaitu keadilan. Aspek "keadilan" seharusnya jangan menjadi embel-embel tambahan, tetapi justru menjadi fondasi utama. Tanpa keadilan, transisi energi hanya akan berakhir menjadi proyek elit, yang bebannya ditanggung oleh kelompok rentan seperti masyarakat lokal dan pekerja sektor energi fosil.

 

Minim Partisipasi Publik

 

Aturan ini masih terjebak dalam cara pandang teknokratis, berfokus pada indikator seperti kapasitas PLTU dan emisi yang harus dikurangi untuk mengukur keberhasilan. Permen ini pun belum menjawab permasalahan pekerja yang akan kehilangan pekerjaan saat PLTU ditutup, serta kurangnya mekanisme untuk memastikan partisipasi inklusif dari masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.

Transisi energi bukan hanya tentang menghentikan PLTU, melainkan juga bagaimana memitigasi risiko ekonomi dan sosial di dalam rantai nilainya. Pada 2024, data Kementerian ESDM menyebutkan terdapat lebih dari 267 ribu pekerja industri pertambangan batu bara, dan sekitar 32 ribu orang pekerja di PLTU. 

Risiko mereka kehilangan pekerjaan akibat transisi energi tentu harus dimitigasi, misalnya melalui skema pelatihan ulang dan jaminan sosial yang mestinya terintegrasi dalam permen ini. Agar program-program ini dapat secara akurat menjawab kebutuhan lokal, partisipasi publik secara bermakna perlu dilakukan sehingga menciptakan kebijakan transisi energi yang tepat sasaran.

Permen ini, sebagaimana ditetapkan di Pasal 14, mengamanatkan pembentukan Tim Kerja Gabungan untuk melakukan evaluasi atas pelaksanaan percepatan pengakhiran PLTU oleh PT PLN (Persero). Namun, keanggotaan tim ini hanya terbatas pada wakil kementerian dan lembaga pemerintahan lainnya, pemerintah daerah, akademisi, dan PT PLN (Persero). Permen ini tak satu pun menyebut organisasi masyarakat sipil, masyarakat lokal, maupun serikat pekerja—kelompok-kelompok yang justru paling terdampak oleh kebijakan ini. Kurangnya partisipasi menimbulkan kekhawatiran tentang transparansi dalam pengambilan keputusan.

Selain itu, permen ini tidak mengatur secara eksplisit mekanisme partisipasi publik yang akan menjadi ruang formal bagi masyarakat untuk terlibat dalam menentukan PLTU yang akan ditutup, bagaimana pelaksanaannya secara detail, dan sumber energi terbarukan pilihan mereka untuk menggantikan batu bara. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola demokratis yang menekankan transparansi, akuntabilitas, dan inklusi sosial.

Negara-negara lain telah menunjukkan bahwa transisi energi dapat dilakukan secara terstruktur dan inklusif. Penghentian penggunaan batu bara di Jerman yang dimulai pada 2018 telah melibatkan masyarakat, organisasi masyarakat sipil, dan serikat pekerja dalam negosiasi nasional melalui pembentukan Coal Commission oleh pemerintah federal. 

Contoh lain adalah Afrika Selatan, yang membentuk Komisi Iklim Presiden (Presidential Climate Commission/PCC) untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan (pemerintah, serikat pekerja, bisnis, akademisi, dan masyarakat sipil) dalam mengawasi dan memfasilitasi transisi energi yang adil dan merata menuju ekonomi rendah karbon.

Sementara itu, Indonesia tampak masih terpaku pada pendekatan top-down: Kementerian ESDM menyusun peta jalan tanpa melibatkan kelompok terdampak dan berharap semuanya berjalan mulus di lapangan.

Teknologi Problematik Memperparah Ketidakadilan Lingkungan

Di samping itu, permen ini juga memasukkan teknologi co-firing, penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS), dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagai bagian dari strategi transisi energi. Semuanya memiliki dampak ekonomi dan sosial-ekologi yang negatif. 

Agar co-firing biomassa beroperasi dalam skala besar, bahan bakunya perlu dipasok dari hutan tanaman industri, sehingga berisiko memindahkan krisis dari polusi ke deforestasi. 

Begitu pula dengan efektivitas teknologi (CCS) yang masih dipertanyakan, terutama untuk pembangkit yang sudah menua. Biaya teknologi yang sangat mahal berpotensi memengaruhi biaya produksi listrik dan berisiko manaikkan tarif listrik. Oleh karena itu, baik co-firing maupun CCS pada akhirnya melanggengkan ketergantungan pada batu bara, bukannya mengurangi.

Permen ini juga merencanakan pembangunan PLTN berkapasitas 35 gigawatt (GW) pada 2060.  Konstruksi pembangkit nuklir mahal dan bisa mencapai lebih dari 10 tahun. 

Pembangkit nuklir juga rentan terhadap gempa bumi di negara dengan aktivitas seismik tinggi seperti Indonesia, dan limbah radioaktifnya yang berbahaya juga berisiko tinggi. Oleh karena itu, tenaga nuklir juga bukan solusi realistis untuk transisi energi Indonesia.

Menerapkan Keadilan

Transisi energi yang adil tidak cukup mengandalkan perhitungan kalkulasi teknis, melainkan juga memerlukan pendekatan yang demokratis. Sebagai proyek pensiun dini pertama, PLTU Cirebon 1 harus memberi contoh dengan menempatkan rakyat sebagai pusat perubahan. 

Sayangnya, kehadiran permen ini belum cukup mengakomodasi hal tersebut. Untuk mewujudkan transisi energi yang benar-benar berkeadilan, pemerintah perlu mengikuti lima rekomendasi utama, yang berlaku untuk aturan saat ini maupun di masa mendatang.

Pertama, aturan ini perlu memastikan adanya mekanisme partisipasi publik yang inklusif. Negara perlu melaksanakan keadilan rekognitif dengan mengakui bahwa masyarakat terdampak, serikat pekerja, perempuan, masyarakat adat, dan komunitas rentan lainnya memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kepentingan yang sah untuk berkontribusi dalam proses transisi energi, dari perencanaan penghentian batu bara hingga pengembangan energi terbarukan. 

Permen ini harus menyertakan perwakilan masyarakat lokal dan kelompok rentan ke dalam struktur Tim Kerja Gabungan. Mereka harus menjadi aktor deliberatif yang setara, bukan sebagai pelengkap simbolik. Pendekatan bottom-up ini memungkinkan pengalaman hidup masyarakat turut membentuk transisi energi di masa depan.

Kedua, pemerintah harus memasukkan perlindungan sosial dan pelatihan ulang pekerja ke dalam permen ini. Keadilan distributif menuntut pembagian manfaat dan beban transisi energi secara adil. Pensiun dini PLTU tak boleh dimaknai sebagai sekadar penghapusan unit pembangkit, tetapi harus diiringi dengan program perlindungan sosial bagi pekerja terdampak: pelatihan ulang, jaminan pendapatan sementara, jaminan sosial, serta pembukaan akses pekerjaan baru di sektor energi bersih. Pemerintah harus melihat ini sebagai investasi sosial yang membangun energi terbarukan di atas fondasi keadilan, bukan PHK massal.

Ketiga, alih-alih mendorong transisi energi yang bersifat top-down, pemerintah sebaiknya memprioritaskan desentralisasi dan kedaulatan energi berbasis komunitas dengan mendukung proyek-proyek energi terbarukan. Permen ini juga bisa diperkuat dengan memberikan insentif untuk komunitas yang mengelola energi terbarukan. Model ini dapat memperkuat kemandirian desa, memperluas akses energi, dan menciptakan lapangan kerja lokal tanpa menambah ketimpangan.

Keempat, pemerintah harus menghentikan ketergantungan pada teknologi problematik yang memperpanjang penggunaan energi fosil, seperti proyek co-firing, CCS, hingga PLTN. Teknologi tersebut biayanya mahal, berisiko tinggi, dan pembangunannya membutuhkan waktu lama. 

Pemerintah harus berfokus pada energi terbarukan yang lebih aman, terjangkau, dan mudah diakses, seperti tenaga surya, angin dan air. Dengan begitu, transisi energi akan mengurangi potensi penolakan dan konflik sosial.

Kelima, permen yang menyajikan peta jalan ini mestinya menyinggung elemen finasial seperti kerangka pembiayaan dan mekanisme pengawasan (yang masih belum ada). Transisi energi yang berkeadilan membutuhkan dukungan keuangan yang kuat. Namun, pada saat yang sama, pengelolaannya tidak boleh membebani masyarakat. 

Skema yang sudah ada seperti pajak karbon, royalti batu bara, dan penerimaan fiskal dari sektor energi fosil bisa diarahkan menjadi sumber utama pembiayaan. Prinsip “polluter pays” (pencemar membayar) harus diterapkan agar pelaku industri energi fosil ikut bertanggung jawab terhadap peralihan menuju sistem energi bersih.

Kesimpulan

Secara teknis, aturan baru ini belum memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil, lembaga non-pemerintah, atau serikat pekerja dalam proses pengawasan dan implementasi kebijakan.

Sebagai peta jalan transisi energi, permen ini harus direvisi untuk memastikan adanya keterlibatan publik yang bermakna, transparansi dalam tata kelola, serta pengambilan keputusan yang inklusif. Contohnya, pemilihan teknologi dan sumber energi terbarukan harus mempertimbangkan dampak sosial dan ekologi untuk memastikan transisi yang adil dan berkelanjutan tanpa menimbulkan konflik atau ketimpangan baru di Indonesia.

Pensiun dini PLTU Cirebon 1 harus menjadi contoh keberhasilan awal transisi energi yang bukan hanya efektif secara teknis dan finansial, tetapi juga adil secara sosial. Proyek percontohan ini berpotensi membawa keadilan melalui partisipasi inklusif dari masyarakat dan kelompok terdampak serta perlindungan hak-hak pekerja.

-

 

Sartika Nur Shalati adalah Ahli Kebijakan Energi dan Agung Budiono adalah Direktur Eksekutif di CERAH, sebuah organisasi nirlaba Indonesia yang bekerja untuk memajukan kebijakan transisi energi. Tulisan ini dipublikasikan bersama oleh Just Energy Transition in Coal Regions Knowledge Hub sebagai bagian dari Proyek IKI JET (versi Bahasa Inggris). 

Populer

Terbaru