#TanyaAhlinya: Bagaimana Mengatasi Hambatan Pendanaan Transisi Energi?

Cintya Faliana Penulis

30 Juni 2025

total-read

6

5 Menit membaca

#TanyaAhlinya: Bagaimana Mengatasi Hambatan Pendanaan Transisi Energi?

Kredit foto: Pixabay

 

Biaya yang dibutuhkan untuk transisi energi di Indonesia sangat besar. Sejumlah riset menyebutkan kebutuhan hingga US$25-30 miliar atau sekitar Rp407-489 triliun (estimasi kurs Rp16.310) untuk periode 2023-2030. Secara spesifik, di sektor ketenagalistrikan, PLN membutuhkan Rp4 ribu triliun hingga 2040 untuk mewujudkan transisi energi.

 

Namun, dalam lima tahun terakhir, rata-rata belanja iklim dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya Rp89,6 triliun atau 3,9% saja per tahun. Artikel keempat edisi #TanyaAhlinya kali ini memuat perbincangan kami bersama Putra Adhiguna, salah satu Panel Ahli Bidang Pendanaan di Transisienergiberkeadilan.id sekaligus Managing Director Energy Shift Institute. 

Selama ini pembiayaan APBN untuk transisi energi itu sangat kecil, kenapa dan bagaimana mengatasinya?

Pada dasarnya pendanaan masih sangat kecil karena transisi energi belum dianggap sebagai kebutuhan mendesak oleh pemerintah. Terutama kalau melihat daftar panjang persoalan nasional. Mulai dari kemiskinan, korupsi, sampai infrastruktur dasar yang belum merata. Sehingga transisi energi mungkin akan masuk ke prioritas ke-137 lah.

Jadi ya jujur saja sulit membayangkan pemerintah mau mengalokasikan belasan atau puluhan triliun rupiah untuk, misalnya, memensiunkan PLTU lebih cepat. Sementara di sisi lain masih banyak jalan rusak dan sekolah hampir roboh yang harus diperbaiki. Pemerintah akan selalu memilih kebutuhan yang lebih langsung terasa oleh masyarakat luas.

Di sinilah pentingnya memahami bahwa untuk negara berkembang seperti Indonesia, transisi energi butuh dukungan dari luar, terutama dari negara-negara global north yang secara historis telah menghasilkan emisi besar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Apalagi sekarang mereka mendorong negara-negara seperti Indonesia untuk lebih bersih. 

Konsep ini bukan soal meminta-minta bantuan, tapi tentang berbagi tanggung jawab secara proporsional. Kalau negara maju mau Indonesia mempercepat transisinya, mereka juga harus siap ikut menanggung bebannya. Pendekatan ini yang kemudian melahirkan inisiatif seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), walaupun bentuk dan efektivitasnya masih bisa diperdebatkan.

Tapi intinya tetap sama, APBN Indonesia tidak akan, dan mungkin memang tidak bisa, menanggung beban transisi ini sendirian. Maka salah satu solusi yang bisa didorong adalah memperkuat kerja sama internasional dan memastikan bahwa semua bentuk dukungan dari luar tidak hanya berbentuk utang komersial, tapi juga benar-benar bertujuan untuk mitigasi krisis iklim. 

Dengan terbatasnya dana transisi energi, mana yang harus diprioritaskan: pensiun dini PLTU dan pembangunan infrastruktur energi terbarukan?

Keduanya tentu penting dan kita berusaha mendorong untuk keduanya berjalan paralel. Pensiun dini PLTU penting secara simbolik dan strategis, tetapi skalanya kecil dan prosesnya mahal serta kompleks. Jadi kalau harus memilih dalam situasi keterbatasan dana dan kapasitas institusi, maka prioritas pertama harus diberikan pada pembangunan infrastruktur energi terbarukan. 

Alasannya sederhana, pembangunan energi bersih butuh waktu. Prosesnya panjang sekali, mulai dari perencanaan, pengadaan, konstruksi, hingga integrasi ke sistem jaringan listrik. Nah, ini semua enggak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.

Sementara itu, kelebihan kapasitas listrik yang sering dijadikan alasan untuk menunda pembangunan energi bersih, bisa jadi hanya akan berlangsung lima sampai tujuh tahun. Dalam dunia kelistrikan, itu bukan waktu yang lama. Jika pembangunan pembangkit energi terbarukan tidak dimulai sekarang, maka kita akan kembali menghadapi kekurangan pasokan justru saat PLTU lama mulai dipensiunkan atau tak lagi efisien. So, we better start today.

Karena itu, kalau semakin menunda pembangunan infrastruktur energi terbarukan justru berisiko membuka ruang masuknya solusi palsu seperti gas. Kita lihat di RUPTL terbaru bahkan sudah mencantumkan rencana pembangunan pembangkit gas sebesar 6,3 gigawatt (GW) dalam lima tahun ke depan. Artinya, jika pembangunan energi bersih tidak segera dipercepat, ruang kosong dalam sistem energi Indonesia justru diisi oleh bahan bakar fosil lainnya yang sama-sama menimbulkan emisi besar.

Sekarang sudah banyak inisiatif pendanaan iklim untuk transisi energi, tapi mana sih yang paling efektif?

Indonesia sebenarnya sudah mencoba hampir semua inisiatif pendanaan iklim untuk mendukung transisi energi. Istilah-istilah seperti green bond, blended finance, JETP, sampai jual-beli karbon bukan jadi hal baru. Semua inisiatif ini adalah “alat” dan telah, atau sedang, dicoba diterapkan.

Tapi walaupun instrumennya ada, dampaknya belum terasa secara nyata. Persoalannya bukan karena tidak ada uang, justru karena enggak ada proyek yang siap untuk didanai. Banyak investor dari Singapura, Hong Kong, atau Eropa sudah menyatakan kesiapannya mengucurkan investasi ratusan juta dolar, bahkan dalam waktu dekat, kalau proyeknya ada. 

Masalah utamanya bukan kekurangan dana, tetapi ketidaksiapan struktural dari sisi kebijakan dan perencanaan proyek. PLN, sebagai pemain utama dalam sektor kelistrikan, belum secara terbuka menyediakan mekanisme tender dan procurement (pengadaan) yang transparan. Belum lagi harga listrik dari batu bara terus ditekan melalui kebijakan harga khusus (sehingga lebih murah), membuat proyek energi terbarukan kehilangan daya saing.

Jadi, apa yang harus diperbaiki dari PLN yang bisa jadi selama ini menjadi sumbatan transisi energi kita?

Hambatan utamanya terletak pada tidak adanya proyek yang siap dijalankan. Pemerintah menerbitkan RUPTL ‘hijau’ dengan berbagai target energi bersih, tapi realisasi di lapangan tidak pernah menyusul. Enggak ada tender yang diumumkan, enggak ada eksekusi proyek, dan enggak ada kepastian bagi investor. Kalau diperhatikan, investasi di sektor energi terbarukan justru turun terus selama tujuh tahun berturut-turut.

Padahal minat investor sebenarnya tinggi. Tetapi ketika ditanya, “proyek mana yang akan dibangun dalam 12 bulan ke depan?” jawabannya tidak tersedia. Kesenjangan inilah yang membuat banyak inisiatif pembiayaan transisi energi di Indonesia gagal mengalir.

PLN sendiri berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, perusahaan ini rugi triliunan tiap tahun. Tapi di sisi lain, ketika ada pihak swasta yang ingin masuk untuk membangun energi bersih, justru dianggap mengganggu wilayah usahanya. 

Reformasi paling mendesak yang dibutuhkan saat ini adalah transparansi rencana pengadaan energi bersih dari PLN dalam waktu dekat. Anggaplah dalam 12 bulan ke depan, bukan 10 tahun. Masyarakat harus bisa tahu proyek apa yang akan ditenderkan, siapa yang bisa masuk, dan kapan akan mulai dibangun. 

Tanpa kejelasan itu, semua skema pendanaan sebaik apa pun akan sulit bekerja. Jadi pintu utamanya adalah memastikan PLN punya procurement plan (rencana pengadaan) dalam 12 bulan ke depan, yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.

 

Populer

Terbaru