Menggenjot transisi energi, merawat kekayaan hayati tanah air
Robby Irfany Maqoma • Penulis
07 Mei 2025
21
• 6 Menit membaca

Selain krisis iklim, Bumi juga menghadapi krisis lainnya, yakni laju kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang sangat cepat.
Asesmen terakhir Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) mendapati kelimpahan spesies di daratan sudah berkurang 20% sejak 1900. Salah satu sebab utamanya adalah ekosistem alami yang berkurang sekitar 47% dibandingkan pengukuran awal (sekitar 1970an), hingga mendorong 25% dari total spesies menuju jurang kepunahan.
Berkurangnya populasi ataupun kepunahan tumbuhan ataupun satwa akan berdampak pada kehidupan manusia. Sebagai contoh, berkurangnya populasi harimau sumatra menyebabkan berkurangnya jumlah pemangsa babi hutan. Akibatnya, populasi babi hutan menjadi tidak terkontrol sehingga mereka semakin berisiko masuk ke area pertanian dan rumah warga di sekitar hutan.
Untuk meredam krisis, seluruh dunia termasuk Indonesia menyepakati target penambahan kawasan lindung hingga 30% dari luas daratan dan lautan di negara masing-masing pada 2030. Per 2021, kawasan lindung di daratan Indonesia baru mencakup 12,2% dari total luasannya, sedangkan laut baru sekitar 3,1%.
Namun, di tengah sempitnya waktu pemenuhan target, upaya Indonesia melindungi biodiversitas juga memiliki batu sandungan utama: ekstraksi sumber daya fosil seperti batu bara yang kebanyakan berlokasi di area berhutan. Kajian terbaru dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat di Kalimantan Timur menyoroti bagaimana 435 ribu hektare/ha (29%) dari total luas konsesi batu bara di provinsi ini tumpang tindih dengan kawasan hutan. Dari angka itu, sekitar 19,8% diantaranya merupakan area biodiversitas kunci (key biodiversity area/KBA) yang menyimpan begitu banyak keragaman spesies endemik yang krusial bagi keutuhan alam Kalimantan Timur.
Kajian AEER menambah daftar panjang alasan kita untuk secepat mungkin melakukan transisi energi. Dengan menggunakan lebih banyak energi terbarukan dan mengakhiri energi fosil, Indonesia setidaknya dapat meredam krisis iklim dan krisis biodiversitas yang membahayakan kelangsungan Bumi.
Kawasan biodiversitas dalam ancaman
Setidaknya ada enam KBA di Kalimantan Timur, yaitu Lahan Basah Mahakam Tengah, Long Bangun, Sangkulirang, Delta Mahakam, Gunung Beratus, dan Hutan Samarinda-Balikpapan. Semuanya menyimpan fungsi penting bagi kelangsungan spesies. Tengok saja KBA Delta Mahakam yang menjadi rumah bagi bekantan (Nasalis larvatus), primata endemik yang berstatus Terancam. Ada juga KBA Kutai yang menjadi rumah bagi orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) maupun pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) yang jarang ditemukan di tempat lain.
Foto bekantan (kiri) dan orangutan kalimantan (kanan). (Sumber: KLHK)
Sayangnya, lima dari enam KBA tersebut belum masuk kawasan konservasi sehingga secara hukum tidak terlindungi. Bahkan, menurut kajian AEER, sekitar 54,6 ribu ha di antaranya justru masuk dalam konsesi batu bara.
Sebaran tumpang tindih area biodiversitas kunci (KBA) dengan konsesi batu bara di Kalimantan Timur (Infografis: Irene Esterlita).
Tumpang tindih ini amat membahayakan kelangsungan KBA karena semakin meluasnya tambang batu bara. Jika dibandingkan 2009, produksi batu bara di provinsi ini sudah meningkat 132% per 2023. Peningkatan produksi secara langsung membabat berbagai area berhutan, termasuk KBA, yang tumpang tindih dengan konsesi. Selain menumbangkan pohon-pohon berumur ratusan tahun, pembukaan area juga mengurangi ruang hidup berbagai spesies.
Tren produksi batu bara yang rata-rata terus meningkat setiap tahun (Infografis: Irene Esterlita)
Dalam kasus orangutan, misalnya, pada 2025 saja sudah ada sekitar 37 individu yang ‘keluar’ dari habitatnya dan masuk ke area-area produksi seperti pertambangan dan perkebunan di Kalimantan Timur. Mereka kehilangan ruang jelajah dan sumber makanan sehingga mencari penghidupan di tempat-tempat yang sudah terjamah manusia.
Masuknya satwa liar karena hutan yang menyempit meningkatkan risiko munculnya penyebaran penyakit baru di permukiman manusia. Contohnya adalah infeksi virus Ebola dan Marburg yang merebak di Uganda. Virus ini menyebar karena kera yang semakin banyak mendatangi perkampungan warga.
AEER memang mencatat sebagian besar (178 dari total 310 konsesi dengan total luas sekitar 530 ribu ha) akan kedaluwarsa pada 2030. Namun, berkaca pada kasus pemberian konsesi tambang eks PT Kaltim Prima Coal ke Nahdlatul Ulama, selalu ada risiko pemerintah memperpanjang aktivitas pengerukan. Apalagi Kalimantan Timur memiliki cadangan batu bara sekitar 11,59 miliar ton.
Bahaya batu bara: tinjauan nasional
Kalimantan Timur menjadi potret buram seputar bahaya batu bara terhadap biodiversitas. Studi Cabernard dan Pfister (2022) mendapati bahwa Indonesia menyumbangkan 14% dari dampak pertambangan terhadap biodiversitas secara global. Sekitar 50% di antaranya bahkan disumbang dari batu bara.
Besarnya dampak ini terjadi karena karakter sumber daya batu bara Indonesia banyak terletak di hutan. Akibatnya, pembukaan lahan untuk pertambangan mengganggu kelangsungan alam setempat. Karakter ini berbeda dengan sejumlah area kaya batu bara di Australia yang terletak di savana ataupun dataran luas dengan vegetasi jarang.
Diagram sankey yang memvisualisasikan dampak rantai nilai komoditas pertambangan terhadap biodiversitas global. Ketebalan suatu warna mengindikasikan keparahan dampaknya bagi kehidupan hayati. (Cabernard dan Pfister, 2022)
Selain itu, karena sebagian besar batu bara digunakan untuk menyalakan listrik, dampak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) terhadap biodiversitas juga semakin besar. Masifnya pembabatan hutan untuk batu bara membuat jejak kehilangan biodiversitas akibat PLTU juga tidak main-main: 10 kali lipat lebih besar dibandingkan energi terbarukan seperti surya dan angin.
Besarnya dampak ini, sebagaimana dijelaskan oleh Cabernard dan Pfister (2022), merembet ke jejak kehilangan biodiversitas akibat pembangkitan listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang sangat besar. Porsinya sekitar 95% dibandingkan untuk penggunaan lain (seperti produksi semen dan baja). Jumlah itu sepuluh kali lipat lebih tinggi dibandingkan energi terbarukan seperti surya dan angin—apabila dihitung berdasarkan satuan energi yang digunakan.
Selain terkait biodiversitas, pertambangan batu bara juga sudah lama menjadi biang keladi begitu banyak masalah seperti kemiskinan kronis karena lingkungan yang tercemar, emisi metana dan CO2, konflik lahan, hingga persoalan sosial di daerah-daerah penghasil.
Transisi energi menyeluruh
Biodiversitas bukanlah aspek “lainnya”, melainkan integral dalam kehidupan manusia. Rusaknya keutuhan biodiversitas juga berarti ancaman bagi kelangsungan hidup kita. Pemerintah perlu memegang teguh paradigma tersebut dengan sepenuh hati melindungi biodiversitas.
Salah satu langkah yang perlu segera diambil adalah menetapkan KBA di Kalimantan Timur dan juga wilayah lainnya sebagai kawasan konservasi. Ini menciptakan kepastian hukum agar negara bisa mendayagunakan aparat serta menerbitkan kebijakan untuk menjaga biodiversitas.
Penetapan status kemudian perlu diiringi evaluasi besar-besaran konsesi yang tumpang tindih dengan kawasan berhutan dan KBA. Untuk menjaga biodiversitas, kawasan ini tidak boleh ditambang sehingga area konsesi yang tumpang tindih perlu dibatalkan.
Bagi KBA yang terlanjur dikeruk, pemerintah harus memastikan pemegang konsesi menaati kewajiban reklamasi dan pascatambang. Reklamasi tidak bisa hanya dalam bentuk penanaman kembali, melainkan pemulihan kondisi lahan dan biodiversitas seperti semula.
Pemerintah juga perlu mengkaji ulang pemberian begitu banyak konsesi yang berujung penambangan besar-besaran. Selain berdampak bagi lingkungan, pertambangan yang eksploitatif juga berisiko mengganggu keamanan energi dalam jangka panjang.
Alih-alih mengumbar konsesi pertambangan, pemerintah justru bisa menggenjot pengelolaan hutan bersama masyarakat setempat. Pengelolaan oleh masyarakat, terutama masyarakat adat, terbukti lebih menjamin kelangsungan hutan dan menjaga sumber penghidupan mereka.
Pengembangan energi terbarukan yang masif juga bisa menekan kebutuhan Indonesia terhadap batu bara. Bahkan, dalam kondisi tertentu, pengembangan energi surya bisa meningkatkan keberagaman hayati.
Sembari mengembangkan energi terbarukan, pemerintah juga perlu mengawasi jalannya program terkait transisi energi—seperti pertambangan mineral kritis dan mobil listrik yang terbukti berdampak negatif bagi masyarakat di Indonesia timur. Harapannya, berakhirnya era energi fosil tidak menciptakan masalah pertambangan baru di kemudian hari.