Perang Narasi Sebabkan Keraguan Warga terhadap Transisi Energi

Sita Mellia Penulis

08 Juli 2025

total-read

18

3 Menit membaca

Perang Narasi Sebabkan Keraguan Warga terhadap Transisi Energi

Kredit foto: Greenpeace

 

Tahun 2024 menjadi tahun yang terpanas dalam sejarah, dengan suhu yang melampaui 1,5C sejak masa pra industri. Sektor energi menjadi kontributor utama kenaikan suhu ini lantaran paling banyak melepas emisi karbon dioksida.

 

Sayangnya, kesadaran masyarakat akan transisi energi belum masif, terutama di level masyarakat akar rumput. Studi CERAH di tahun 2024 menunjukkan, pembahasan soal transisi energi di ranah publik masih di level permukaan.

 

Masyarakat yang telah mengerti transisi energi juga dibuat tidak yakin dengan tujuan transisi energi sebagai penyelesaian iklim. Salah satu alasan kuat di balik rendahnya kepercayaan publik adalah maraknya gangguan informasi yang dilakukan oleh segelintir orang berkepentingan. 

 

Berdasarkan laporan International Panel on the Information Environment 2025, gangguan informasi dapat berupa misinformasi (informasi salah dengan tidak sengaja), disinformasi (informasi salah yang disebarkan dengan sengaja), dan berita palsu. Gangguan-gangguan ini dilakukan oleh pihak yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik—termasuk perusahaan dan partai politik. 

 

Temuan ini juga dibenarkan oleh peneliti Institute for Essential Services Reform (IESR) Pintoko Aji. Ia mengungkap bahwa ada arena pertarungan politik dalam transisi energi, narasi-narasi tandingan dimunculkan untuk menggagalkan kampanye transisi energi. 

 

Ia mengamati, ketika organisasi masyarakat sipil telah menyusun narasi tentang transisi energi dengan tujuan menyelamatkan iklim, ada pihak-pihak yang sebelumnya diuntungkan dari energi kotor akan mencoba untuk melakukan subversi, yaitu menggantikan pemaknaan dari transisi energi.  

 

“Misalnya, kemarin ada organisasi keagamaan yang mencoba mengidentitaskan masyarakat yang peduli lingkungan ini dengan istilah wahabi lingkungan,” kata Pintoko dalam webinar bertajuk ‘Menepis Ragu Transisi Energi’, 24 Juni 2025.

 

Untuk memenangkan pertarungan ini, menurut Pintoko Aji, organisasi masyarakat sipil dapat membuat identitas yang baik, sehingga bisa merangkul lebih banyak orang untuk ikut bertarung. 

 

Selain upaya membentuk identitas yang baik, organisasi masyarakat sipil juga dapat bekerja sama untuk mengupas suatu agenda guna menemukan maksud sebenarnya pemerintah. Salah satu contoh praktik baiknya adalah siniar Bocor Alus Politik. “Namun, kita harus menelanjanginya secara scientific atau ilmiah,ungkap dia. 

 

Agung Budiono, Direktur Eksekutif CERAH juga menilai pentingnya menjembatani keterputusan antara pemahaman masyarakat dan percakapan di kalangan pengambil kebijakan. Ia mengungkap, sejak percakapan tentang transisi energi mulai ramai pada 2017, percakapan tentang isu ini dalam tiga bulan terakhir masih bersifat teknokratik—membicarakan kebijakan, target investasi, dan teknologi.

 

Menurutnya, adanya kesenjangan antara apa yang disampaikan pemerintah atau organisasi masyarakat sipil dengan yang ingin diketahui masyarakat. Masyarakat cenderung lebih membutuhkan informasi-informasi praktis, seperti apakah transisi energi mampu menurunkan tagihan listrik, memberikan lapangan pekerjaan, serta menurunkan polusi udara. 

 

“Kesenjangan informasi inilah yang seharusnya dijembatani. Oleh karena itu, platform belajar yang memiliki target audiens yang lebih spesifik ini sangat penting”, ungkapnya.

 

Sementara itu, Ika Idris, Associate Professor Public Policy and Management Program Monash Climate Change Communication Research Hub, mengungkapkan bahwa selama ini narasi transisi energi yang berhasil dibangun adalah narasi ekonomi makro yang cenderung menguntungkan perusahaan, misalnya tentang investasi. Ia mengajak organisasi masyarakat sipil untuk mengubah narasi ekonomi ini menjadi narasi yang lebih bisa menggaet lebih banyak masyarakat.

 

“Kenapa kita tidak mengubah narasinya menjadi lebih berpusat pada narasi lingkungan, atau narasi penyelamatan bumi, atau narasi pemanasan global? Misalnya, kita bisa mengubah narasi yang sebelumnya ekonomi, menjadi narasi tentang lingkungan atau keadilan sosial,” tegas Ika.

 

Upaya meningkatkan pemahaman publik seputar transisi energi juga bisa menyasar masyarakat awam, termasuk remaja dan anak-anak. Salah satunya rubrik Menepis Ragu Transisi Energi yang digagas IESR. ubrik ini bertujuan untuk meluruskan informasi yang salah seputar transisi energi.

 

“Ada dua tujuan yang kami inginkan, yaitu yang pertama untuk meningkatkan integritas informasi dan interaksi publik, yang kedua untuk menjawab publik dengan pola komunikasi yang khusus,” ujar Kurniawati Hasjanah, Staf Komunikasi IESR.

Populer

Terbaru