Pekerja PLTU pasca-Transisi Energi: Terjepit Ketidakpastian, Minim Perlindungan

Grita Anindarini, Sita Mellia Penulis

01 Juli 2025

total-read

7

7 Menit membaca

Pekerja PLTU pasca-Transisi Energi: Terjepit Ketidakpastian, Minim Perlindungan

Kredit foto: PT PLN

 

Presiden Prabowo Subianto berjanji mengakhiri penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam 15 tahun mendatang. Sayangnya, rencana ambisius ini masih luput memikirkan masa depan pekerja PLTU maupun tambang batu bara yang berisiko menganggur akibat transisi energi.

 

Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2025 tentang peta jalan transisi energi di sektor kelistrikan, misalnya, belum mempertimbangkan hak warga terdampak—khususnya pekerja PLTU Cirebon I yang akan tutup pada 2035 dan PLTU Pelabuhan Ratu pada 2037.

 

Sektor energi memang menjadi penyumbang emisi karbon terbanyak, tetapi di sisi lain juga menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit. Pada 2024, lebih dari 267 ribu orang bekerja di sektor industri pertambangan batu bara dan sekitar 32 ribu orang bekerja di PLTU. Sementara itu, ESDM tengah menyiapkan pensiun dini 13 PLTU sebelum 2030. Rencana ini membuat hampir 300 ribu orang berhadapan dengan ketidakpastian kelangsungan sumber penghidupan mereka.

 

Jika pemerintah tidak segera melibatkan pekerja sektor energi fosil dalam agenda mengurangi emisi, maka pemerintah hanya sedang menambah kerentanan kelompok pekerja sekaligus menjerumuskan mereka ke dalam kelompok prekariat—kadang bekerja, kadang tidak. Ujung-ujungnya transisi energi menjadi tidak berkeadilan.

 

Transisi energi jangan sampai menambah kerentanan

 

Sebelum transisi energi ramai diperbincangkan, sejumlah pekerja PLTU sudah lama berada dalam kondisi rentan karena menjadi pekerja alih daya (outsourcing)— yang minim perlindungan sosial. 

 

Kerentanan kian bertambah sejak Undang Undang Cipta Kerja terbit. UU ini membuat kontrak kerja mereka diperbarui setiap bulan—membuat mereka hidup dalam ketidakpastian. 

 

Setelah desas-desus penutupan PLTU menyebar di kalangan pekerja, ketakutan mereka bertambah lantaran ketersediaan lapangan kerja tak bisa diandalkan. Inilah yang dialami Rusli, salah satu pekerja PLTU Suralaya di Banten, yang rencananya akan dipensiunkan pemerintah

 

Cerita senada juga ditemukan dalam studi Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) bersama LBH Bandung dan Salam Institute pada 2024 yang meneliti kasus pensiun dini PLTU Cirebon I. Studi menemukan, lebih dari 200 pekerja lokal di PLTU Cirebon I berstatus outsourcing meskipun mereka sudah bekerja selama bertahun-tahun. Status ini membuat perlindungan hukum dan kepastian kerja mereka masih lemah. 

 

Dalam hal melindungi pekerja, perusahaan utama dan perusahaan outsourcing saling melempar tanggung jawab. PT Cirebon Electric Power (CEP), selaku perusahaan utama, menyerahkan urusan kepada perusahaan outsourcing. Pun perusahaan outsourcing yang seharusnya melindungi lebih memilih untuk melempar tanggung jawab kepada perusahaan utama.

 

Sebelum PLTU pensiun, pemerintah sebenarnya dapat mempersiapkan perlindungan sosial buat pekerja terdampak. Kementerian Ketenagakerjaan telah memiliki Wajib Lapor Ketenagakerjaan Perusahaan yang bisa menampung data atau memprediksi tentang berapa pekerja yang akan di-PHK pada tahun-tahun pemberhentian PLTU. 

 

Sayangnya, riset ICEL, LBH Bandung, dan Salam Institute lagi-lagi menemukan perusahaan masih belum memberi data soal angka pekerja yang akan terdampak pensiun dini PLTU kepada Kementerian Ketenagakerjaan maupun dinas ketenagakerjaan di kabupaten atau kota. Padahal, data ini krusial, terutama karena adanya pekerja perempuan sebagai kelompok rentan yang akan terdampak.

 

Sejauh mana jaminan sosial saat ini dapat diandalkan?

 

Pemerintah sebenarnya memiliki mekanisme perlindungan bagi pekerja yang tiba-tiba menganggur, seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Meski begitu, warga hanya bisa mengakses manfaat uang tunai paling lama enam bulan setelah pemutusan hubungan kerja. Sementara ketersediaan lapangan kerja belum tentu siap menyerap mereka setelah bantuan uang tunai habis.

 

Selain perlindungan sosial, hal dasar lainnya yang masih diabaikan pemerintah dalam transisi energi ialah keadilan prosedural (procedural justice). Keadilan ini dapat tercermin dalam penyusunan kebijakan pengakhiran PLTU yang melibatkan pekerja dan kelompok rentan secara bermakna. Sayangnya selama ini, identitas dan hak pekerja masih minim pengakuan, termasuk pelibatan pekerja dalam upaya transisi, baik pekerja formal maupun pekerja informal.

 

Hal ini terlihat dari belum adanya aturan yang mewajibkan perusahaan memberi informasi kepada pekerja soal penutupan PLTU. Di Kabupaten Sukabumi, misalnya, pemerintah daerah belum menerima informasi soal rencana penutupan PLTU Pelabuhan Ratu. Akibatnya, Pemda tidak dapat menyiapkan jaminan perlindungan materil kepada pekerja lokal yang terdampak. Selain itu, masih banyak pekerja PLTU Cirebon I, baik pekerja tetap maupun pekerja outsourcing yang tidak terpapar informasi serupa. 

 

Hak atas akses informasi ini sebenarnya dapat diintegrasikan dalam UU Ketenagakerjaan. Tujuannya, agar warga terdampak yang terimbas penutupan PLTU, berhak terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga aturan perlindungan terhadap pekerja terdampak transisi energi dapat termuat secara jelas.

 

Masih terkait procedural justice, pemerintah juga belum memasukkan kemungkinan jenis pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat transisi energi di dalam UU Ketenagakerjaan. Selama ini, jenis-jenis PHK di dalam UU Ketenagakerjaan masih sebatas: PHK demi hukum, PHK karena pelanggaran perjanjian kerja, PHK sepihak, dan PHK akibat force majeure. 

 

Pekerja sebagai aktor transisi energi, bukan korban

 

Dengan kondisi pekerja yang rentan dan sistem jaminan sosial belum andal, pemerintah seharusnya melahirkan paradigma baru. Energi semestinya bukan lagi sekadar sumber pertumbuhan ekonomi, melainkan salah satu dasar kontrak sosial antara negara dan warganya. 

 

Artinya, transisi energi tidak hanya hasil dari kesepakatan antara negara dengan swasta dan investor, tetapi juga kesepakatan yang melibatkan pekerja dan warga. Hal ini bertujuan agar negara, perusahaan, dan masyarakat bisa menyepakati pembagian manfaat dan tanggung jawab yang adil. 

 

Apalagi, pekerja dan masyarakat—terutama di daerah PLTU dan tambang batu bara—menjadi kelompok paling terdampak dari krisis iklim. 

 

Mengadopsi pendekatan kontrak sosial ala Louise de Fontenelle dalam The Power of Energy Justice and the Social Contract, energi harus dimiliki oleh daerah dan masyarakat yang tinggal di sana. Warga lokal—termasuk pekerja—perlu dilibatkan secara aktif dalam merancang, mengawasi, dan menikmati manfaat dari transisi energi di wilayah mereka. 

 

Lebih jelasnya, kontrak sosial menjamin pelibatan pekerja yang merupakan warga lokal dalam rencana penutupan PLTU—memberikan akses pelatihan pekerjaan hijau, serta memberi ruang untuk menentukan energi sesuai kebutuhan warga. Namun, ini dengan tetap menghormati aspirasi, budaya, dan adat istiadat mereka. Dengan begitu, negara tak lagi abai terhadap hak pekerja dan warga terdampak transisi energi.

 

Maka, berangkat dari konsep Fontenelle, keputusan transisi energi haruslah deliberatif dan inklusif. Artinya, pekerja PLTU bukan hanya dilihat sebagai tenaga murah, melainkan diakui sebagai aktor transisi.

 

Dengan menjadi aktor dalam transisi energi, negara menyediakan perlindungan sosial bagi pekerja seperti skema pensiun dari dana transisi, pelatihan ulang (reskilling dan upskilling), dan jaminan kemudahan mengakses pekerjaan hijau atau green jobs. Ini semua dapat tercantum dalam kontrak sosial tiga pihak di atas. Apalagi Bappenas telah menyusun Peta Jalan Pengembangan Tenaga Kerja Hijau, dan Kementerian Ketenagakerjaan menyelenggarakan pelatihan vokasi (TVET) dan platform pelatihan kerja. Keduanya perlu memainkan peran strategis dalam memastikan transisi energi berjalan adil dan inklusif. 

 

Di Jerman, misalnya, ada Komisi Batu Bara (Commission on Growth, Structural Change and Employment/Coal Commission) yang bertugas menyiapkan rencana untuk pensiun dini PLTU batu bara secara demokratis. Coal Commission terdiri dari organisasi masyarakat sipil atau LSM lingkungan, serikat pekerja batu bara, perwakilan industri, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta akademisi. 

 

Dengan suntikan dana €40 miliar dari APBN Jerman sejak 2018, Coal Commission menargetkan perlindungan sosial kepada 32.800 pekerja di industri batu bara yang akan terdampak pemensiunan dini PLTU di tahun 2038. Anggaran ini mencakup dana pensiun dan pelatihan ulang. 

 

Meski studi menilai Coal Commission masih memiliki sejumlah catatan yang mesti diperbaiki—belum terlalu inklusif—tata cara perencanaan dan pengambilan keputusan dalam Coal Commission tetap layak diadopsi dalam transisi energi Indonesia.  

 

Batu bara pada akhirnya akan habis. Alhasil, pekerjanya yang sangat banyak harus segera bertransisi menjadi pekerja di sektor energi terbarukan. Jika tidak, Indonesia akan berhadapan dengan risiko bertambahnya angka pengangguran sebanyak 14.022 orang serta turunnya produk domestik bruto sebesar Rp 3,96 triliun.

 

-

 

Grita Anindarini merupakan Senior Strategist di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Sita Mellia merupakan penulis Transisienergiberkeadilan.id.

Populer

Terbaru