Jebakan Krisis Iklim dan Kemiskinan Struktural akibat Gas Fosil
Sita Mellia • Penulis
16 Juni 2025
13
• 7 Menit membaca

PT PLN dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 menambah kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar gas fosil (PLTG/PLTGU) sekitar 6,3 gigawatt (GW) sebagai upaya transisi energi.
Gas fosil ini dinarasikan sebagai jembatan peralihan menuju lingkungan yang lebih bersih sebelum beralih ke energi terbarukan. Pemerintah terus mengklaim bahwa gas fosil lebih bersih dari batu bara karena lebih sedikit melepas CO2 serta lebih murah dibanding langsung beralih ke energi terbarukan.
Namun, di balik narasi hijau ini, ada bahaya besar yang tidak disampaikan kepada masyarakat. Kandungan sebagian gas fosil adalah metana (CH4), gas rumah kaca yang menangkap panas di atmosfer 28 kali lebih kuat dibandingkan CO2. Belum lagi risiko kebocoran metana yang sering kali tidak terdeteksi di fasilitas gas.
Penambahan kapasitas pembangkit gas dalam RUPTL semakin menyulitkan Indonesia dari jeratan energi fosil. Pasalnya, investasi pembangkit gas fosil akan diikuti pembangunan infrastruktur pendukung seperti pipa dan terminal gas cair (LNG) dengan kontrak jangka panjang.
Pelepasan gas metana selama bertahun-tahun berisiko menaikkan suhu bumi dengan signifikan, yang rentan melahirkan ketimpangan baru.
Bumi makin panas karena gas
Gas fosil bukanlah jembatan ke energi bersih, melainkan jebakan yang memperparah krisis iklim. Center of Economic and Law Studies (Celios) bersama Greenpeace di tahun 2025 menghitung, pembangkit gas fosil dengan skenario 2,68 GW saja akan meningkatkan CO₂ hingga 5,97 juta ton per tahunnya dan metana (CH₄) sebanyak 5.332 ton per tahun. Sementara itu, dalam skenario penggunaan gas fosil untuk listrik hingga 22 GW, emisi CO₂ akan melonjak hingga 49,02 juta ton per tahun dan metana (CH₄) hingga 43.768 ton per tahun.
Penelitian Howarth memperlihatkan, jika ada kebocoran metana sekitar 3% saja, pembangkit gas fosil berpotensi menciptakan potensi pemanasan global atau global warming potential (GWP) yang lebih tinggi daripada batu bara selama 20 tahun. Ini menandakan meskipun pembangkit gas fosil menghasilkan lebih sedikit CO₂, dampak iklim dari metana yang bocor membuat gas fosil berpotensi lebih merusak dalam jangka pendek jika tidak dikendalikan secara ketat.
Sementara kebocoran metana masih sering terjadi di dunia. Studi Hureau et al pada 2025 mencatat bahwa jaringan transmisi dan distribusi gas global masih mengalami “unaccounted for gas” dengan kebocoran metana di dunia masih tinggi, yakni rata-rata 1,7% dengan disparitas yang signifikan antar wilayah, berkisar antara 0,01% hingga 15%.
Untuk mengurangi risiko kebocoran, negara pun harus menyiapkan biaya paling murah sebesar US$ 100 miliar (Rp1.500 triliun) dalam lima tahun ke depan. Angka ini mencakup belanja untuk teknologi deteksi kebocoran, program perbaikan, dan peningkatan peralatan yang bocor.
Sementara itu, rencana kelistrikan pemerintah maupun PLN tidak menjelaskan titik-titik risiko kebocoran tersebut serta upaya meredamnya di seluruh rencana pembangunan pembangkit gas maupun infrastrukturnya di seluruh Indonesia.
Memperpanjang rantai kemiskinan
Selain memperparah perubahan iklim, gas fosil menciptakan dampak kesehatan dan kemiskinan struktural pada warga di sekitar kawasan pembangkit gas.
Dampak kesehatan muncul karena pembangkit gas fosil melepaskan tiga polutan berbahaya—partikel debu berukuran 10 mikron (PM 10), sulfur dioksida (SO₂), dan nitrogen oksida (NO)—yang menyerang sistem pernapasan dan jantung, penyakit kulit, hingga meningkatkan potensi asma pada anak-anak dan angka kelahiran bayi prematur.
Kerugian kesehatan membuat warga harus merogoh uang lebih banyak untuk biaya kesehatan maupun iuran wajib apabila menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS kesehatan). Menurut hitungan CELIOS, akan ada potensi beban kesehatan yang ditanggung BPJS sebesar Rp1.462,6 triliun hingga Rp1.473,9 triliun—dengan skenario pembangunan pembangkit gas fosil berkapasitas 2,68 GW. Beban kesehatan ini berisiko naik apabila seluruh pembangkit gas fosil baru dalam RUPTL benar-benar beroperasi dalam sepuluh tahun ke depan.
Selain bertambahnya biaya kesehatan, pembangkit gas berisiko menurunkan pendapatan pekerja masing-masing sebesar Rp379,7 triliun dan Rp128,4 triliun. Penurunan pendapatan berasal dari risiko pembangkit gas fosil mencemari tanah dan laut. Hal ini membuat nelayan dan petani semakin tidak produktif karena tempat mereka mencari nafkah tercemar.
Gangguan mata pencaharian berisiko menjerumuskan petani dan nelayan ke dalam kelompok prekariat—kadang bekerja, kadang tidak. Risiko tersebut dapat terus membuat angka populasi yang setengah menganggur (mereka yang bekerja kurang dari jam kerja normal, masih mencari pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan).
Per Februari 2025, warga Indonesia yang termasuk kelompok ini mencapai 49 juta orang. Naiknya kelompok setengah menganggur berpotensi menambah jumlah rumah tangga sasaran dalam program sosial seperti bantuan sosial, bantuan subsidi upah, bantuan tarif listrik dan sebagainya.
Potensi naiknya pengangguran dan hilangnya akses mata pencaharian juga memicu masalah sosial. Di kawasan pantai utara Jawa (Pantura), misalnya, kesulitan nelayan dalam mencari ikan memicu naiknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang terpaksa bekerja untuk membantu orang tuanya.
Kemiskinan meningkatkan kerentanan masyarakat
Sebagai negara yang rentan mengalami dampak krisis iklim seperti kenaikan permukaan air laut, kebakaran hutan, dan cuaca ekstrem, Indonesia sebaiknya tidak menambah masalah baru yang memperlemah kekuatan kita menghadapi Bumi yang berubah.
Penelitian Newman dan Noy di tahun 2023 menghitung, negara-negara berpendapatan rendah rata-rata menanggung biaya kerugian akibat bencana iklim sebanyak 0,5-0,6% dari PDB per tahun—lebih besar dibanding negara kaya yang hanya memakan 0,2% dari PDB. Ini karena pemerintah negara tersebut belum mampu memberikan peringatan dini dan mekanisme cara bertahan hidup kepada warga tentang perubahan iklim, sehingga memperbanyak korban bahkan angka kematian.
Gelar ‘negara berpendapatan menengah ke atas’ yang didapat dari World Bank sejak 2021 juga tak boleh membuat Indonesia terlena. Sebab, kesiapan warga untuk menghadapi perubahan iklim masih lemah.
Hal ini tercermin dari jumlah korban jiwa 480 orang dan 11 ribuan korban luka maupun sakit dari 2.107 bencana di Indonesia. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 98% dari total bencana tersebut tergolong bencana hidrometeorologi (seperti banjir dan tanah longsor) yang disebabkan oleh perubahan iklim. Kerugian ini belum termasuk hampir 70 ribu rumah serta fasilitas publik yang rusak.
Pengalaman bencana kekeringan yang melanda Indonesia di tahun 2015 juga telah mengakibatkan kerugian ekonomi nasional sebesar $16 miliar. Kebakaran hutan dan lahan gambut yang parah pada tahun 2015 menyebabkan hilangnya produktivitas warga akibat hilangnya lahan penghidupan, serta asap yang mengakibatkan sekitar 90.600 kematian.
Selain abainya negara, lemahnya kesiapan kita menghadapi perubahan iklim juga dipengaruhi kondisi kemiskinan. Sebab, masyarakat yang berpendapatan rendah akan mengeluarkan bujet lebih kecil untuk meningkatkan ketangguhan bencana mereka (misalnya dengan merenovasi rumah ataupun membangun tanggul sederhana). Bisa dibayangkan bagaimana kesiapan iklim warga tersebut semakin menurun apabila 6,3 GW pembangkit gas fosil dalam RUPTL benar-benar beroperasi.
Di sisi lain, Indonesia juga masih kekurangan anggaran sekitar Rp247 triliun per tahun untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Kas negara hanya mampu mendanai Rp80,3 triliun atau 30% dari total kebutuhan dana adaptasi sekitar Rp327 triliun selama 2016 - 2030.
Nah, keberadaan pembangkit gas fosil akan memperburuk masalah defisit ini. Sebab, berdasarkan studi CELIOS, pembangkit gas fosil berisiko mengurangi penerimaan pajak bersih sebesar Rp2,8 triliun dan 0,6 triliun selama 16 tahun. Berkurangnya pajak berasal dari akses mata pencaharian yang berkurang maupun hilang akibat polusi dari pembakaran gas fosil.
Risiko pengurangan pajak bersih dalam pembangkit gas fosil berbasis turbin dibandingkan energi terbarukan yang justru menambah penerimaan negara (Sumber: CELIOS)
Bukan kemajuan, tapi kemunduran transisi
Negara sebaiknya menimbang kembali untuk menambahkan kapasitas gas fosil dalam RUPTL. Alih-alih mencapai net zero, menambah kapasitas gas fosil sama saja dengan berjalan mundur dalam upaya transisi energi.
Melanggengkan gas fosil berarti mengingkari komitmen Indonesia sendiri yang telah menandatangani Global Methane Pledge untuk mengurangi emisi metana antropogenik (dari aktivitas manusia) global sebesar 30% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2020. Komitmen ini diikuti Indonesia bersama dengan Komisi Eropa dan 158 negara lainnya pada Konferensi Para Pihak ke-26 (COP26) di tahun 2021.
Berbagai studi pun telah mengingatkan bahwa mengurangi emisi metana dari industri fosil lebih murah dan lebih cepat untuk mencapai emisi bersih.
Di tengah seretnya kas negara dan beratnya utang jatuh tempo, peralihan ke energi terbarukan justru menjadi solusi yang relevan. Dalam waktu 16 tahun ke depan, energi terbarukan berbasis komunitas—melibatkan partisipasi warga—mampu berkontribusi terhadap penerimaan pajak bersih sebesar Rp 27,1 triliun. Pengembangan energi komunitas juga bisa meningkatkan taraf hidup warga, yang berpeluang meningkatkan ketangguhan komunitas menghadapi krisis iklim.