100 hari Prabowo-Gibran: Rencana Swasembada Energi Belum Menyentuh Masyarakat Adat dan Desa

Robby Irfany Maqoma Penulis

27 Januari 2025

total-read

34

5 Menit membaca

100 hari Prabowo-Gibran: Rencana Swasembada Energi Belum Menyentuh Masyarakat Adat dan Desa

28 Januari menjadi pertanda genapnya 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden. Dalam waktu tersebut, pemerintahan Prabowo telah menciptakan sejumlah letupan momentum yang berpotensi memengaruhi arah transisi energi Indonesia dalam jangka pendek maupun panjang. 

Misalnya, dalam rangka swasembada energi, Prabowo telah berulang kali menyatakan target pemerintahannya untuk mengembangkan biodiesel dari kelapa sawit hingga 100% atau B100. Rencana tersebut sudah dilontarkan Prabowo sejak berkampanye dalam Pemilihan Presiden 2024. 

Rencana terbaru dari pemerintahan Prabowo adalah mengembangkan energi terbarukan hingga 75 gigawatt (GW) hingga 15 tahun mendatang. Pada pertengahan 2024, kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan Indonesia baru mencapai 13,8 GW atau 0,3% dari total potensi energi bersih Indonesia sebesar 3.687 GW.

Kendati demikian, dari sejumlah rencana tersebut, tidak ada pernyataan bahwa Prabowo mendukung transisi energi terbarukan bagi masyarakat desa maupun masyarakat adat. Pun, Prabowo belum pernah menyatakan komitmennya untuk mengubah fokus pengembangan energi yang masih berkutat pada proyek-proyek berskala besar dan direncanakan secara terpusat.

Dalam kerangka transisi energi berkeadilan, masyarakat desa dan masyarakat adat seharusnya  menjadi aktor utama yang harus dimintai aspirasi sebelum memulai pengembangan energi terbarukan. 

Perencanaan listrik yang terpusat terbukti tidak sejalan dengan rencana transisi energi terbarukan yang berkeadilan dan inklusif. Selain itu, secara teknis, ketergantungan Indonesia terhadap perluasan jaringan listrik yang dilakukan PT PLN juga membuat penyaluran listrik menjadi tidak efisien.

Dampak pengabaian 

Kentalnya nuansa sentralisasi dalam penyusunan target transisi energi tak lepas dari kebijakan energi Indonesia yang berbasiskan energi fossil. Pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara, misalnya, lebih ekonomis jika dibangun dengan kapasitas yang sangat besar. 

Paradigma ini, sayangnya, dipertahankan oleh pemerintah ketika mengembangkan pembangkit listrik energi terbarukan. Alhasil, warga desa dan masyarakat adat rentan menjadi korban proyek energi nonfossil. Sebagai contoh, warga Wadas di Jawa Tengah menghadapi penggusuran ruang hidup karena lahan mereka menjadi lokasi penambangan andesit untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 6 MW.

Ada juga kasus serupa yang menuai protes besar-besaran dari warga Rempang, Kepulauan Riau. Warga menolak proyek Rempang Ecocity—kawasan industri terintegrasi yang turut memuat pabrik komponen pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).  

Kasus terbaru adalah proyek strategis nasional (PSN) di Merauke yang berisiko memakan lahan melebihi dua juta hektare. Lahan tersebut salah satunya diperuntukkan bagi pembangunan pabrik bioetanol—sumber energi dari tanaman yang menjadi salah satu program unggulan Prabowo. Empat masyarakat adat di Merauke menolak proyek ini karena tumpang tindih dengan empat wilayah adat mereka.

Seratus hari pemerintahan prabowo seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah untuk lebih menggenjot transisi energi yang berkeadilan, terutama masyarakat adat dan desa.

Menyadari peluang besar

Pemerintahan Prabowo semestinya memperhatikan pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat desa maupun masyarakat adat. Indonesia memiliki banyak sumber energi terbarukan yang tersebar hingga ke daerah-daerah terpencil, misalnya dari energi angin sekitar 154,9 GW, energi surya sebesar 112 GWp, dan energi air berskala mini/mikro sebesar 770 megawatt (MW).

Potensi energi terbarukan di Indonesia (Infografis: Irene Meriska Esterlita).

Di sisi lain, Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas memiliki banyak daerah yang belum terjangkau akses listrik. Sekitar 6.700 desa belum berlistrik—terutama di daerah terpencil. Perluasan akses listrik ke desa-desa tersebut akan memakan biaya sangat besar, sekitar Rp48 triliun

Studi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional menggarisbawahi bagaimana desa dapat menjadi ujung tombak pengembangan energi terbarukan Indonesia. Begitu pula masyarakat adat—yang jumlahnya mencapai sekitar 20 juta jiwa. Mereka, secara mandiri dapat berdaya untuk mengelola listrik energi terbarukan di luar jaringan PT PLN untuk memenuhi kebutuhan.

Kita dapat menengok praktik masyarakat adat Moa di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, yang membuat sepuluh turbin bertenaga dinamo untuk menghasilkan listrik dari aliran sungai. Setrum dari peralatan sederhana itu dapat menyalakan lampu dan alat elektronik lainnya untuk setidaknya 700 rumah.

Ada juga masyarakat Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat yang sudah menggunakan listrik dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) sejak 1997 dan PLTS. Mereka kemudian memanfaatkan listrik untuk berbagai kebutuhan, dari urusan sehari-hari hingga untuk menyalakan wifi.

Listrik bagi warga desa juga tak hanya berfaidah untuk penerangan, tapi juga untuk mengungkit perekonomian setempat. Warga di Gunung Sawur, Lumajang, Jawa Timur, memanfaatkan PLTMH untuk memproduksi kripik salak yang kemudian dipasarkan ke berbagai daerah.

Potensi menggeliatnya perekonomian akibat transisi energi berbasis desa tak main-main. Lembaga think-tank Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memaparkan bahwa dalam 25 tahun ke depan, energi terbarukan berbasis komunitas menghasilkan dampak ekonomi hingga Rp18,6 ribu triliun dan mengangkat 16 juta penduduk dari kemiskinan. 

Adapun potensi tersebut dihitung berdasarkan sejumlah skenario yang berpeluang timbul akibat penetrasi energi terbarukan di desa-desa. Beberapa di antaranya seperti penyerapan tenaga kerja untuk pemasangan dan perawatan fasilitas pembangkit listrik, hasil produksi industri lokal, hingga sektor manufaktur kecil hingga menengah. 

Ekonomi yang menggeliat menciptakan kontribusi yang signifikan bagi produk domestik bruto. Studi yang sama turut menggarisbawahi potensi besar tambahan PDB dari kontribusi energi terbarukan berbasis komunitas hingga Rp1.599 triliun pada tahun ke-25. 

Pertumbuhan ini pun terjadi secara merata. Bahkan, kawasan Indonesia timur berpeluang menikmati pertumbuhan PDB sangat tinggi. Misalnya di Gorontalo (37%), Nusa Tenggara Timur (35%), dan Papua (33%) 

Kontribusi energi terbarukan berbasis komunitas terhadap PDB. (Sumber: CELIOS, infografis: Irene Meriska Esterlita).

Untuk memenuhi potensi ini, pemerintah dapat mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan alternatif—tak harus dari kas negara yang terbatas. Studi CELIOS telah memetakan potensi sumber dana, mulai dari kredit bank umum, pembiayaan koperasi, dana desa, hingga pengenaan pajak produksi batu bara. Upaya tersebut tentu saja perlu menggaet pemerintah daerah, pemerintah desa, hingga koperasi di tingkat lokal. 

Memastikan pelaksanaannya juga memerlukan dasar hukum yang kuat. Oleh karena itu, pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas perlu tertuang sebagai amanat dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD), berikut rencana pembangunan jangka menengah dan panjang di daerah-daerah hingga desa. Terlebih lagi, pengembangan energi terbarukan di luar jaringan PLN menjadi salah satu aksi iklim sektor energi Indonesia—sebagaimana tercantum dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) 2022. 

Terakhir, langkah pemerintah juga perlu diperkuat melalui pengakhiran operasional PLTU yang terus membebani keuangan negara dan PLN serta terus mendorong pengembangan listrik berbasis komunitas yang terdesentralisasi. 

Populer

Terbaru