Bahaya Besar di Balik Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional
Robby Irfany Maqoma • Penulis
21 Februari 2025
13
• 6 Menit membaca

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral menerbitkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060 pada November lalu. Dokumen ini memuat pokok-pokok skenario pengembangan ketenagalistrikan nasional sesuai dengan sejumlah target yang ingin dicapai pemerintah, seperti target nol emisi bersih (net zero emission) melalui transisi energi pada 2060.
Dokumen ini sepintas cukup ambisius untuk mencapai transisi energi terbarukan. Misalnya, RUKN mengamanatkan sumbangan energi baru dan terbarukan dalam bauran energi pembangkit listrik nasional pada 2044 mencapai 52%, dan selanjutnya meningkat hingga 73,6% pada 2060.
Kendati demikian, apabila kita telaah lebih mendalam, dokumen RUKN—yang berfungsi sebagai dasar penyusunan rencana kelistrikan PT PLN—justru berlawanan target-target krusial terkait transisi energi yang telah disusun pemerintah sebelumnya. RUKN juga dapat menciptakan masalah baru, tak hanya terkait emisi dan polusi—melainkan juga deforestasi hingga kehilangan biodiversitas.
Target emisi jauh panggang dari api
RUKN tak sesuai dengan target pembatasan suhu Bumi sebesar 1,5°C dalam Perjanjian Paris. Berdasarkan jalur transisi energi skenario 1,5°C, Indonesia seharusnya sudah memasuki puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun ini sebesar 382 juta ton CO2. Harapannya, dengan berbagai intervensi yang agresif, emisi dari sektor ketenagalistrikan dapat terus menurun hingga ke titik terendah pada 2050.
Laju transisi energi yang cepat dan konstan secara global—termasuk Indonesia—amat dibutuhkan guna mencegah dampak terburuk perubahan iklim akibat pelepasan emisi yang tak terkendali.
Di lain pihak, RUKN menaksir emisi sektor ketenagalistrikan akan terus naik hingga mencapai puncaknya pada 12 tahun mendatang, sebesar 598 MTCO2, naik dari level emisi tahun 2024 sebesar 395 MTCO2. Pada 2045 bahkan, emisi sektor ini masih berada di angka 469 MTCO2 hingga seterusnya mencapai nol pada 2060.
Dengan skenario emisi tersebut, RUKN bahkan tidak sanggup untuk selaras dengan komitmen iklim Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) Indonesia tahun 2022. ENDC merencanakan puncak emisi akan terjadi pada lima tahun mendatang.
Panjang umur batu bara
RUKN pun menghindari istilah coal phase-out, atau pengakhiran kontribusi batu bara dalam sektor energi. Istilah tersebut turut diserukan Panel antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dalam laporannya tahun 2022 sebagai syarat utama transisi energi yang ramah iklim.
Alih-alih menggunakan istilah tersebut, RUKN lebih memilih menggunakan coal phase-down atau penurunan kontribusi batu bara secara bertahap. Hal ini tergambarkan dalam skenario RUKN yang masih membolehkan peningkatan produksi listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) hingga 2035. Inilah yang menjadi sumber perkara meningkatnya emisi sektor ketenagalistrikan Indonesia sehingga memuncak pada 2037.
Skenario bauran energi baru terbarukan (EBT) dengan energi fosil untuk pembangkit listrik versi RUKN. EBT turut mencakup pilihan energi seperti nuklir dan biomassa. Energi fosil juga meliputi gas alam dan bahan bakar minyak, meski kebanyakan berasal dari batu bara. (Sumber: RUKN, Infografis: Irene Meriska Esterlita)
Peningkatan tersebut disumbang oleh ekspansi PLTU captive, yang berlokasi di terutama di sentra pengolahan mineral. Angkanya tak tanggung-tanggung, yakni sebesar 20 gigawatt (GW) alias setara dengan hampir dua kali lipat kapasitas PLTU captive Indonesia pada 2023, yakni 11,2 GW. Rencana tersebut, berdasarkan analisis organisasi think-tank, EMBER, berisiko membuat kapasitas PLTU captive di tanah air setara dengan total kapasitas PLTU di Polandia sebesar 31,54 GW.
Pun, rencana ekspansi PLTU captive Indonesia secara terang-terangan bertentangan dengan skenario pembangunan berkelanjutan dalam komitmen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2022. Dokumen LTS-LCCR menegaskan bahwa fasilitas pengolahan mineral (smelter) menggunakan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) terdekat.
Penggunaan PLTU captive yang kelewat besar ini berisiko meningkatkan persoalan lingkungan. Pasalnya, pengelola PLTU captive tak perlu memenuhi kewajibannya melaporkan emisi, sekaligus lolos dari keharusan mengikuti mekanisme perdagangan emisi sektor ketenagalistrikan.
Selain itu, opsi PLTU yang dipilih untuk menyalakan tungku-tungku peleburan mineral tersebut justru lebih berat di ongkos dibandingkan energi terbarukan. Biaya pembangkitan listrik PLTU captive mencapai US$7,71 sen per kilowatt jam (kWh), sedangkan energi surya di antara US$5,5-5,8 sen per kWh.
Co-firing: Andalan yang meragukan
Secara umum, strategi coal-phase down di RUKN pun dijalankan nyaris tanpa intervensi atau hampir secara business as usual. Sebab, kebanyakan PLTU di wilayah usaha PLN akan berakhir pada 2045. Pemerintah secara tegas tidak memilih pensiun dini PLTU, kecuali “tersedia bantuan internasional, tidak menaikkan biaya pokok penyediaan tenaga listrik, dan tidak mengganggu keandalan sistem tenaga listrik.”
Berakhirnya operasi PLTU dalam jaringan PLN, terutama yang berteknologi subcritical (dengan efisiensi pembakaran yang rendah), dibarengi dengan masuknya energi baru dan terbarukan, memang diperkirakan bakal mengurangi emisi Indonesia hingga 83% pada 2050. Namun, patut dicatat bahwa penurunan emisi juga didukung oleh rencana meredam emisi melalui penggunaan bahan bakar pendamping (co-firing) batu bara dengan biomassa untuk PLTU yang masih menyala. Proporsi biomassa untuk skema co-firing akan bervariasi, mulai dari 15-100% tergantung pada jenis tungku perebusan air (boiler) hingga jarak pembangkit dengan sumber daya biomassa.
Mengandalkan co-firing sebagai salah satu solusi mengurangi emisi amatlah berbahaya. Pasalnya, sumber biomassa sebagai bahan baku kemungkinan akan berasal dari kebun kayu dari konsesi hutan tanaman energi (HTE).
Studi TrendAsia pada 2022 menyatakan, apabila semua PLTU milik PLN menerapkan skema ini, kebutuhan lahan untuk menumbuhkan biomassa (dalam hal ini pelet kayu) akan mencapai 11 juta ha. Ini merupakan area yang sangat besar, mendekati luas Pulau Jawa, sehingga berisiko menciptakan masalah baru seperti deforestasi, persoalan terkait air, kehilangan biodiversitas, hingga konflik lahan.
Pembukaan lahan untuk memasok biomassa juga dapat meningkatkan emisi terutama apabila dilakukan di lahan gambut. Sebab, penggunaan kawasan gambut untuk perkebunan kayu dapat melepaskan emisi yang sangat besar dari penguraian material organik yang selama ini tersimpan di dalam tanah selama puluhan ribu tahun.
Penangkapan karbon dan amonia yang kontradiktif
Selain co-firing, pengurangan emisi PLTU dalam RUKN juga turut bertumpu dari pemakaian teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon capture and storage/CCS). RUKN mengambil asumsi bahwa CCS dapat mengurangi 90% emisi PLTU—sebuah klaim bernuansa promosi dari penjual teknologi CCS—tanpa dilandasi bukti lapangan dan studi ilmiah yang valid.
Studi dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan bahwa proyek-proyek CCS di seluruh dunia hanya bisa menangkap tak sampai 80% dari total emisi. Proyek ini pun sarat masalah, mulai dari penggunaan air yang berlebihan, hingga risiko kebocoran yang mengakibatkan pencemaran dan pelepasan karbon ke atmosfer.
Untuk menambal emisi yang masih ada dari PLTU dengan teknologi CCS, RUKN berusaha mencoba alternatif lainnya yakni penggunaan amonia sebagai bahan bakar pendamping setidaknya sejak 2045. Padahal, produksi amonia menyumbang emisi yang sangat besar, yakni sekitar 500 juta ton CO2 atau sekitar 1,8% dari keseluruhan emisi CO2 di dunia. Emisi ini tak lain timbul dari bahan baku amonia yang masih berasal dari bahan bakar fosil, terutama minyak dan gas bumi.
Pembakaran amonia mungkin tak melepaskan emisi CO2. Namun, pembakaran material ini justru melepaskan nitrogen oksida (N2O) yang memiliki kekuatan memerangkap panas 298 kali lebih besar dari CO2. Para ahli menganggap amonia bertanggung jawab atas paparan nitrogen yang mencapai dua kali lipat dari batas aman untuk kehidupan Bumi.
Tinggalkan opsi-opsi berisiko
Masih bercokolnya batu bara dalam perencanaan kelistrikan Indonesia hingga 2060 berlawanan dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto yang ingin menyuntik mati pembangkit tersebut pada 2040. RUKN juga dapat kontradiktif dengan Kebijakan Energi Nasional yang, berdasarkan draf terakhir, menargetkan pengurangan energi batu bara ke angka 7,8-11% dari total bauran energi nasional.
Oleh karena itu, opsi-opsi yang melanggengkan penggunaan batu bara harus ditinjau ulang. Pemerintah harus menyusun rencana transisi energi yang mengutamakan penetrasi energi terbarukan seluas-luasnya ke dalam jaringan listrik nasional.
Publik—terutama organisasi masyarakat sipil juga perlu mencermati berbagai detail-detail dalam RUKN yang berisiko menjauhkan pemerintah dari kewajibannya memenuhi hak atas lingkungan hidup dan aksi iklim dunia. Sebagai referensi, kita bisa melihat tren meningkatnya litigasi iklim dari masyarakat sipil di tingkat global sebagai salah satu bentuk pengawalan dan advokasi yang efektif.
Berbagai studi telah menghitung bahwa penggunaan energi terbarukan secara massif, tanpa diganggu oleh energi fosil, sangatlah memungkinkan di Indonesia. Ini tinggal tergantung bagaimana pengelolaan sistem pembangkitan, pengaturan pasokan listrik berikut distribusinya secara merata dan berkeadilan, yang sepatutnya dijelaskan secara lebih komprehensif dalam RUKN.