Belajar dari ‘blackout’ listrik Spanyol: Transisi Energi harus Diikuti Penguatan Jaringan
Cintya Faliana • Penulis
04 Juni 2025
17
• 6 Menit membaca

Akhir April lalu, sejumlah negara di Eropa dilanda pemadaman listrik selama hampir 18 jam. Portugal, Spanyol, dan barat daya Prancis sempat lumpuh total. Jerman, Italia, dan Andorra ikut terdampak sebagian. Berbagai fasilitas kritis seperti lampu lalu lintas, perbankan, dan transportasi tidak berfungsi sama sekali. Rumah sakit pun bergantung pada genset untuk operasional.
Operator listrik Spanyol Red Eléctrica de España (REE) mengungkapkan kemungkinan penyebabnya adalah pemadaman dua pembangkit listrik akibat naik-turunnya pasokan energi terbarukan. Selain itu, jaringan transmisi Spanyol yang terhubung ke Eropa hanya 3%, jauh dari rekomendasi Uni Eropa (EU) di angka 15%. Akibatnya, ketika terjadi gangguan, pasokan listrik di Spanyol tidak bisa didukung oleh jaringan listrik negara lainnya.
Sumber energi terbarukan di Spanyol memang didominasi dari surya, angin, dan air. Bahkan, 66% dari kapasitas listrik terpasang bersumber dari energi terbarukan, yang menghasilkan 59% dari total kebutuhan listrik Spanyol pada 2024. Sementara porsi energi terbarukan di Portugal lebih tinggi lagi mencapai 71% dengan bauran hidro (28%), angin (27%), surya (10%), dan biomassa (6%).\
Kejadian gangguan listrik di Eropa tersebut semakin menguatkan bahwa transisi energi harus dilakukan bersamaan dengan penguatan sistem kelistrikan. Transisi energi tidak hanya terkait membangun pembangkit listrik energi terbarukan sebanyak-banyaknya. Belajar dari kasus Spanyol dan Portugal, pembangkit juga perlu didukung oleh jaringan (grid) yang andal agar berfungsi sebagai “jalan tol” untuk memuluskan penyediaan listrik.
Memahami kondisi jaringan listrik di Indonesia
Secara umum, grid dibagi menjadi dua jenis yaitu jaringan transmisi dan jaringan distribusi. Jaringan transmisi menghantarkan listrik dari sumber pembangkit menuju gardu induk, sementara jaringan distribusi mengalirkan listrik dari gardu induk ke konsumen langsung.
Saat ini kedua jaringan yang beroperasi di Indonesia mayoritas dimiliki oleh PT PLN. Pada 2022, panjang jaringan transmisi sebesar 69.107,07 kilometer sirkuit (kms) dan jaringan distribusi sebesar 1.033.763,04 kms.
Sayangnya, tidak semua jaringan ini terintegrasi antar-pulau dan daerah. Akibatnya, jika terjadi kelebihan produksi di suatu daerah tidak bisa didistribusikan ke daerah lain yang membutuhkan. Misalnya, ketika terjadi oversupply (kelebihan pasokan listrik) di Jawa-Bali, PLN tidak bisa menyalurkan listrik ke daerah lain seperti Sumatera, NTT, NTB, atau Papua kelima daerah ini tidak terhubung.
Selain jaringan yang terpisah, dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif 2023 Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia juga menyoroti kapasitas jaringan Indonesia yang lemah. Di sistem Jawa-Madura-Bali, misalnya, masih dianggap lemah karena sebagian besar masih mengandalkan jaringan 150 kilovolt (kv)—bukan 220 atau 275 kv yang memiliki kapasitas penyaluran lebih besar. Padahal, sistem ini memenuhi 70% permintaan listrik nasional. Problem serupa juga terjadi di sistem lainnya seperti di pulau Kalimantan ataupun Sulawesi.
Jaringan yang lemah turut berkontribusi pada tingginya angka susut jaringan alias kehilangan listrik saat penyaluran. Pada 2022, Indonesia mengalami susut jaringan yang masih tinggi sekitar 7-9%, di atas Malaysia (6%) dan Singapura (0%). Tingginya susut jaringan menambah listrik yang mubazir alias terbuang.
Grafik susut jaringan Indonesia (Sumber: Bank Dunia).
Kestabilan jaringan listrik Indonesia juga masih bergantung pada tenaga uap yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil—seperti batu bara dan gas—penyuplai lebih dari 70% pasokan listrik di Indonesia (2023). Melalui mekanisme bernama inersia, turbin yang memutar generator pembangkit ini turut berfungsi menstabilkan sistem listrik.
Modernisasi jaringan jadi keharusan
Transisi energi terbarukan bertujuan untuk mengurangi pasokan listrik batu bara dan energi fosil lainnya, bahkan ke titik nol. Oleh karena itu, peremajaan dan penguatan jaringan listrik yang sesuai dengan karakter pembangkit listrik energi terbarukan juga menjadi kebutuhan penting.
Berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), penambahan energi terbarukan Indonesia pada 2060 akan signifikan, yakni surya 267 gigawatt (GW) dan angin 73,2 GW. Keduanya bersifat intermitten atau tidak stabil, sehingga kita membutuhkan grid yang andal sekaligus fleksibel agar cepat merespons perubahan pasokan.
Oleh karena itu, alih-alih meninjau ulang transisi energi, pemadaman listrik di Eropa seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera melakukan penguatan dan peremajaan jaringan listrik. Indonesia perlu memperluas jaringan transmisi dan distribusi serta menambah kapasitas penyaluran listrik. Selain itu, penyambungan antarsistem juga perlu menjadi prioritas agar membuat penyaluran listrik lebih efisien.
Selain itu, pemanfaatan smart grid (jaringan pintar) dapat membuat jaringan lebih fleksibel dan tanggap dalam mengatasi gangguan. Smart grid adalah teknologi memungkinkan komunikasi dua arah dan kontrol otomatis lewat sensor canggih, meteran digital, dan baterai penyimpanan energi. Sistem ini membantu PLN menjaga stabilitas jaringan dan memulihkan gangguan secara otomatis sambil memberi informasi lebih akurat kepada konsumen.
Jaringan model ini pun bermanfaat untuk menekan emisi karbon lewat efisiensi energi. Oleh karena itu, jika beralih menggunakan energi terbarukan, implementasi smart grid bukan lagi sebatas pilihan, melainkan keharusan.
Beberapa tahun terakhir, pemerintah sudah mengeluarkan janji transisi menuju smart grid, yang hingga kini masih dalam tahap pengembangan. Penelitian dari EMBER menyoroti enam pilar yang bisa menjadi fondasi perluasan jaringan listrik di Indonesia.
Pertama, smart grid modernisation seperti yang telah direncanakan oleh pemerintah. Aspek ini meliputi penerapan sensor, digitalisasi, dan otomatisasi yang membuat sumber energi lebih efisien. Kedua, memperluas jaringan listrik ke daerah sumber energi terbarukan.
Ketiga, menciptakan sistem yang fleksibel dan resilien untuk menangani gangguan dan beban puncak secara otomatis. Keempat, interkoneksi dan integrasi jaringan listrik lintas pulau dan lintas negara. EMBER mendorong integrasi jaringan listrik di ASEAN yang memiliki potensi besar di energi terbarukan.
Kelima, reformasi kebijakan dan pasar yang mendorong akses terbuka untuk produsen energi, termasuk mereformasi harga listrik. Selama ini, harga listrik di Indonesia masih sangat bergantung pada subsidi pemerintah yang sangat besar, mencapai Rp75 triliun pada 2024.
Terakhir adalah, memastikan sumber pendanaan jangka panjang untuk peningkatan jaringan dan infrastruktur baru, termasuk lewat kemitraan publik dan swasta.
Hanya manis di bibir
Pernyataan pemerintah berkali-kali terkait peremajaan jaringan nyatanya belum sungguh-sungguh ditampilkan dalam kebijakan. Peraturan Menteri ESDM 10/2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan, misalnya, tidak merinci dengan jelas target smart grid yang dibutuhkan pemerintah.
PLN memang telah mengumumkan rencana pengembangan smart grid terbaru, termasuk pembangunan jaringan transmisi dan distribusi dalam RUPTL 2025-2034.
Namun, perencanaan ini tidak dilengkapi dengan upaya pencarian sumber dana yang memadai, termasuk dari pemerintah. Padahal, pengembangan smart grid hingga 2034 berpotensi menelan dana hingga US$5,5 miliar(Rp89,8 triliun), sedangkan jaringan transmisi-distribusi jauh lebih besar: US$35 miliar(Rp571 triliun).
Di sisi lain, struktur monopoli dan sistem listrik yang terintegrasi (dari pembangkitan sampai distribusi) membuat pengembangan jaringan listrik tidak memiliki angka pengembalian modal yang tinggi. Sejauh ini PLN hanya bergantung pada ekuitasnya (termasuk kas negara), dan pendanaan dari institusi keuangan multilateral, seperti Asian Development Bank, untuk mendanai proyek tersebut.
Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada ‘bantuan’ internasional untuk mempercepat transisi energi dan modernisasi jaringan. Pemerintah perlu kreatif mencari sumber dana jika memang benar-benar berkomitmen pada transisi energi yang berkeadilan. Keseriusan transisi energi pemerintah harus dibuktikan tak hanya demi membangun lebih banyak pembangkit, melainkan juga untuk memperkuat dan meremajakan jaringan transmisi.