Berbagai upaya memperpanjang usia batu bara dalam RUPTL 2025
Robby Irfany Maqoma • Penulis
09 Juni 2025
64
• 7 Menit membaca

PT PLN akhirnya merilis Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Rencana ini menjadi dokumen yang terbaru setelah empat tahun berselang.
PLN bersama pemerintah mengklaim RUPTL kali ini menjadi versi yang terhijau. Melalui rencana penambahan 42,6 gigawatt (GW) pembangkit energi terbarukan, PLN menargetkan kontribusinya bisa mencapai 34% dari bauran energi nasional pada 2034. Penambahan kapasitas terbesar berasal dari pembangkit energi surya (17,1 GW), disusul air (11,7 GW), dan angin (7,2 GW).
Kendati begitu, semangat hijau RUPTL ini masih meragukan. PLN masih berniat membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru di tengah tren global dalam mengakhiri kontribusi energi fosil. Dalam sepuluh tahun ke depan, perseroan merencanakan tambahan kapasitas PLTU sebesar 6,3 GW.
Dalam RUPTL, PLN berdalih PLTU masih dibutuhkan karena sumber energi ini paling murah. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral juga menganggap PLTU masih bisa digunakan untuk membuat transisi energi “tidak kaku” karena negara maju di Eropa pun masih memakainya.
Namun, lantaran terbentur regulasi, PLN pun memakai sejumlah cara untuk memperpanjang penggunaan batu bara. Upaya ini menyimpan risiko besar bagi kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan, serta menghambat upaya transisi energi global.
Kejar setoran, bukan pengakhiran
RUPTL tidak menggambarkan rencana pengakhiran PLTU secara mendetail. Sebaliknya, lima tahun pertama RUPTL (2025-2030) justru mengebut tambahan kapasitas PLTU sebesar 4,1 GW dan pembangkit gas fosil 9,9 GW.
Rencana penambahan kapasitas listrik dalam RUPTL 2025 - 2034 (Sumber: PLN).
Pada waktu tersebut, rencana penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan masih sebesar 16,7 GW. Tambahan kapasitas energi terbarukan baru meningkat dalam periode lima tahun kedua RUPTL, yakni 2030-2034, sebesar 25,8 GW.
Tambahan kapasitas energi terbarukan yang berada di paruh kedua patut dipertanyakan. Sebab, pembangunan pembangkit energi terbarukan seperti surya dan angin justru lebih cepat dari PLTU. Pembangkit energi surya terbesar se-Asia Tenggara di Jawa Barat hanya dibangun dalam waktu tak sampai tiga tahun, sedangkan ladang energi angin di Sulawesi Selatan hanya 2,5 tahun.
Perencanaan yang mengebut pembangkit energi fosil seperti ini menciptakan risiko tersendiri: ketidakpastian pembangunan. Dengan regulasi investasi Indonesia yang diwarnai ketidakpastian, akan selalu ada risiko pergantian regulasi ataupun perubahan RUPTL sehingga membuat pengembangan pembangkit energi terbarukan molor bahkan batal.
Kontroversi PLTU ‘hybrid’
RUPTL 2025 mengenalkan skema baru bernama “PLTU hybrid” yakni PLTU yang direncanakan beroperasi dalam satu fasilitas pembangkitan di suatu area bersama pembangkit energi terbarukan seperti surya dan baterai penyimpan energi (battery energy storage system/BESS).
Dalam RUPTL, PLN menganggap pembangunan PLTU hybrid bertujuan untuk menyelaraskan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022. Pasal 3 ayat 4 Perpres ini membolehkan PLTU baru selama 1) kebutuhannya untuk hilirisasi industri, 2) ada komitmen mengurangi 35% emisi PLTU melalui penebusan karbon (carbon offset), penggunaan teknologi, dan energi terbarukan, 3) beroperasi hingga 2050. Selain terkait tiga kriteria ini, pembangunan PLTU baru dilarang.
Kontroversi tak berhenti sampai di situ. Upaya “mengawinkan” PLTU dan energi terbarukan ini direncanakan PLN di “mulut tambang”, yang berarti di sekitar tambang batu bara Sumatra dan Kalimantan. Misalnya, PLN berencana membangun PLTU hybrid Kaltelseng 4 di Kalimantan yang menempatkan PLTU mulut tambang 400 megawatt (MW), PLTS 40 MW, dan baterai 25 MW. Ada juga proyek serupa di Sumatra yang mengombinasikan PLTU mulut tambang 2x600 MW, PLTS 2x150 MW, dan baterai 2x75 MW. Keduanya akan dibangun oleh pengembang listrik swasta.
PLTU mulut tambang menjadi kontroversial karena PLN harus membangun jaringan transmisi yang sebagian besar bertujuan untuk mengalirkan listrik dari batu bara. Biaya pembangunannya juga sangat mahal. Berkaca dari kasus Sumatra, PLN harus mengeluarkan duit tambahan hingga Rp4,4 triliun untuk membangun transmisi lebih dari 700 kilometer sirkuit demi mengalirkan listrik dari 4 PLTU mulut tambang.
PLTU mulut tambang juga acap menggunakan teknologi subkritikal dan superkritikal yang memiliki efisiensi rendah. Teknologi ini biasanya membakar batu bara berkalori rendah sehingga material buangannya lebih besar dibandingkan energi yang dihasilkan. Alhasil, studi menyatakan dua teknologi ini menyumbangkan emisi lebih tinggi, sekitar 16-23% dibandingkan teknologi ultrasuperkritikal yang dianggap lebih efisien.
Kontroversi lainnya terkait PLTU hybrid terkait dengan bagaimana sumbangan energi terbarukan dari PLTS bisa selaras dengan pengecualian larangan PLTU baru dalam Perpres 112/2022. Dalam RUPTL, PLN sama sekali tak menjelaskan sejauh mana kompensasi yang diberikan PLTS terhadap operasional PLTU. Dokumen ini hanya menjelaskan bahwa keduanya merupakan bagian yang terintegrasi satu sama lain. Padahal, PLTS dan PLTU merupakan unit pembangkit listrik yang terpisah—dengan jejak emisi karbon yang jauh berbeda satu sama lain.
Teknologi superkritikal belum tentu andal
PLN masih ingin menggunakan batu bara dengan penggunaan teknologi ultra-supercritical di PLTU berskala besar di Sumatra maupun Jawa. Alasannya, teknologi ini tergolong memiliki efisiensi tinggi dan emisi yang lebih rendah.
Ketergantungan PLN terhadap teknologi untuk mengurangi emisi PLTU patut dikritik. Pasalnya, teknologi ultrasuperkritikal pun menyimpan banyak masalah, seperti mesin yang lebih sering rusak dan membutuhkan banyak perbaikan.
Kerusakan kemudian mengganggu stabilitas listrik di Australia, sehingga otoritas listrik setempat harus mengompensasi kehilangan sumber listrik batu bara dari energi lainnya. Alhasil, upaya tersebut menimbulkan lonjakan tarif listrik di Australia selama 2018-2019.
‘Co-firing’ yang berbahaya
Untuk mengurangi emisi, PLN juga berencana mempertahankan strategi co-firing atau pengurangan batu bara dengan bahan bakar pengganti yakni biomassa. RUPTL menargetkan strategi co-firing hingga 20% dari total kebutuhan bahan bakar PLTU.
Strategi co-firing 20% jauh meningkat dibandingkan pelaksanaan co-firing saat ini sebesar 5%. Peningkatan tersebut berimbas pada naiknya kebutuhan biomassa kayu pada 2030 hingga 10 juta ton per tahun, melampaui dua kali lipat dari co-firing saat ini yakni 4 juta ton.
Kebutuhan biomassa kayu yang sangat besar menciptakan risiko deforestasi. Studi TrendAsia pada 2022 menyatakan, apabila semua PLTU milik PLN menerapkan skema ini, kebutuhan lahan untuk menumbuhkan biomassa (dalam hal ini pelet kayu) akan mencapai 11 juta ha. Ini merupakan area yang sangat besar, mendekati luas Pulau Jawa.
Pembukaan lahan untuk memasok biomassa juga dapat meningkatkan emisi terutama apabila dilakukan di lahan gambut. Sebab, penggunaan kawasan gambut untuk perkebunan kayu dapat melepaskan emisi yang sangat besar dari penguraian material organik yang selama ini tersimpan di dalam tanah selama puluhan ribu tahun.
Perencanaan PLTU baru layak dibatalkan
PLN dan pemerintah seharusnya tak berpikir dua kali untuk mengakhiri kontribusi PLTU dalam RUPTL. Alih-alih mencari celah untuk memperpanjang, RUPTL semestinya menjadi perencanaan teknis bagi Indonesia untuk mengakhiri PLTU secara agresif.
Pensiun dini PLTU merupakan upaya terbaik untuk menghindari 182 ribu kasus kematian akibat polusi dan biaya kesehatan sebesar US$130 miliar di masa depan. Emisi berlebih akibat PLTU juga bisa dikurangi sehingga mencegah risiko krisis iklim yang dapat menyebabkan defisit beras bagi 26,6 juta orang di akhir abad mendatang.
Pengakhiran PLTU juga dapat memangkas biaya subsidi listrik dan batu bara. Angka penghematannya bisa mencapai $34,8 miliar (Rp547 triliun) hingga akhir operasi PLTU. Uang tersebut bisa digunakan untuk mendanai pembangunan PLTS hingga 36,9 GW—dengan asumsi ongkos pembangunan sebesar US$0,9 juta per MW.
Berakhirnya PLTU juga akan mengurangi pelepasan emisi Indonesia secara signifikan. Per 2022, pembangkitan listrik menghasilkan 40% emisi (296 juta ton setara CO2/MTCO2e) dari total emisi sektor energi sebesar 727 MTCO2e. Pengakhiran PLTU dapat memangkas 61% emisi sektor pembangkitan listrik menjadi 115 MTCO2e pada 2040.
Sebaliknya, upaya pemerintah membangun PLTU baru—selain menciptakan risiko lingkungan dan sosial—juga berpotensi menghambat upaya penambahan kapasitas listrik nasional. Hambatan ini kemungkinan besar berasal dari pendanaan karena lembaga pembiayaan multinasional semakin enggan mendanai proyek-proyek energi kotor.
Dengan demikian, RUPTL semestinya berfokus pada tren global saat ini: investasi energi terbarukan. Penambahan kapasitas energi terbarukan yang dibarengi dengan rencana pengakhiran PLTU secara agresif akan memperjelas arah transisi energi Indonesia di mata investor. Pada akhirnya, langkah ini dapat mengundang penanaman modal untuk industri hijau yang saat ini banyak digembar-gemborkan pemerintah.