Di Balik Penangkap Karbon: Memperpanjang Umur Batu Bara, Membahayakan Warga

Sita Mellia Penulis

10 Juni 2025

total-read

22

6 Menit membaca

Di Balik Penangkap Karbon: Memperpanjang Umur Batu Bara, Membahayakan Warga

Di tengah krisis iklim, pemerintah memilih jalan yang sekilas tampak hijau tetapi sebetulnya merupakan solusi palsu: memasang teknologi penangkap karbon atau carbon capture storage (CCS) pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. 

Alih-alih meninggalkan ketergantungan pada energi fosil, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bahkan terang-terangan menyatakan bahwa CCS ditujukan untuk “menyelamatkan” PLTU batu bara dari pemensiunan dini.

Langkah ini tertuang jelas dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2025-2034. Targetnya, implementasi pilot project CCS pada PLTU batubara dengan kapasitas mencapai 1 gigawatt (GW) pada 2030. Hingga 2060, pemerintah merencanakan pembangkit listrik (batu bara maupun gas) berkapasitas 36,6 GW bisa menggunakan CCS.

Solusi ini, sayangnya, tetap dipilih meski kemampuan CCS dalam menangkap karbon masih jauh dari memuaskan. Proyek CCS dari PLTU Boundary Dam 3 di Kanada, misalnya, gagal memenuhi target penangkapan 1 juta ton karbon. Proyek yang dimulai sejak 2015 ini bahkan hanya menangkap 44% CO2 pada tahun keenam operasinya. IEEFA sendiri menyebut CCS sebagai ‘teknologi yang mahal dan belum terbukti’.

Selain diragukan efektivitasnya, dampak lingkungan CCS juga tak main-main. Risiko seperti kebocoran pipa karbon berpotensi mengancam pasokan air minum warga. Ini berkaca dari proyek CCS di Amerika Serikat yang mengalami kebocoran 8 ribu ton karbon cair akibat korosi baja di sumur penyerapan karbon. CO2 yang bocor kemudian mencemari sumber air warga sekitar dengan kontaminasi logam berat, sehingga menjadi tidak layak minum.

Solusi palsu di balik jargon ‘transisi energi’ ini rawan menjadi praktik greenwashing—narasi hijau pemerintah untuk menyembunyikan niat yang sebenarnya, yaitu agar terus dapat memakai bahan bakar fosil demi kepentingan segelintir orang di lingkar kekuasaan. 

Alih-alih mencapai emisi bersih, memasang teknologi penangkap karbon berpotensi menciptakan persoalan baru seperti beban fiskal dan membahayakan kelangsungan hidup warga. Ini berlawanan dengan prinsip nobody is left behind (tidak ada pihak yang merugi dan tertinggal) yang diadopsi dalam RUPTL. 

Risiko mangkrak ongkos membengkak

Berbagai studi dan pengalaman global sejak lama menunjukkan bahwa CCS bukanlah solusi yang tepat. 

Studi Global CCS Institute di tahun 2023, salah satunya, mengungkap bahwa estimasi  biaya penangkapan karbon dari PLTU konvensional bisa mencapai $60–$110 per ton CO. Biaya ini belum termasuk biaya transportasi dan penyimpanan karbon yang memerlukan infrastruktur tersendiri, seperti jaringan pipa dan tempat penyimpanan di bawah tanah. International Renewable Energy Agency di tahun 2021 juga mengungkapkan hal senada, estimasi biaya CCS berkisar antara US$94 hingga US$232 per ton CO₂.

Beban biaya ini membuat pembangunan pembangkit listrik paling mahal di Amerika Serikat—proyek CCS Kemper—mangkrak.  Proyek yang semula diperkirakan memakan biaya sebesar US$ 3 miliar, membengkak menjadi US$ 7,5 miliar. Pembangunan proyek ini juga sering tertunda karena berbagai macam ketidakpastian—mulai dari aspek teknologi, keuangan, hingga manajerial. 

Akibat mempertaruhkan kas negara, pemerintah AS dihadapkan kemarahan warga yang telah bersusah payah membayar pajak. Sejak itu pula narasi ‘clean coal’ atau ‘batu bara bersih’ yang digaungkan di era Obama dinilai hanya menjadi jalan keluar semu untuk perubahan iklim.

Belajar dari proyek Kemper, rencana penggunaan CCS juga berisiko tinggi meningkatkan kegagalan proyek. Jika dilakukan oleh perusahaan pelat merah, kegagalan berisiko membebani kas negara—selain terbuangnya waktu dan upaya yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk membangun energi terbarukan. 

Kalaupun proyek CCS beroperasi, negara juga akan berhadapan dengan mahalnya biaya CCS pada akhirnya dapat meningkatkan biaya pembangkitan listrik. Pun ketika ingin memberikan subsidi listrik, pemerintah perlu menyiapkan alokasi APBN yang tak sedikit.

Rawan kekeringan dan bencana

 

Air, sumber penghidupan dan hak dasar warga, sayangnya harus direnggut untuk agenda mengurangi emisi melalui solusi palsu. Sebab, CCS membutuhkan banyak sekali air untuk memberikan uap panas saat menangkap CO₂. 

 

Air pendingin tambahan juga diperlukan akibat meningkatnya kebutuhan pendinginan mesin. Proyek CCS di Amerika Serikat, misalnya, kebutuhan air di PLTU mereka meningkat 20-60%

 

Di Indonesia, studi telah menghitung bahwa PLN—dengan asumsi 34% pasokan listrik tahun 2022 berasal dari PLTU dengan CCS—akan membutuhkan air sekitar 357 miliar liter (357 juta m3) untuk kebutuhan pendinginan basah. Jumlah ini setara dengan 22 kali lipat kebutuhan air warga Jakarta di tahun 2019.

 

Selain kebutuhan air yang membengkak, teknologi CCS juga menyimpan risiko kebocoran CO₂—baik dari pipa maupun sumur injeksi—yang bisa mencemari air tanah dan membahayakan kesehatan warga sekitar. Studi menunjukkan bahwa karbon dioksida bereaksi dengan air dan bebatuan bawah tanah membentuk asam karbonat, berpotensi melarutkan logam berat ke dalam air minum.

 

Negara yang seyogianya menghadirkan air minum yang layak untuk warganya pun masih mengambil risiko ini di tengah tidak meratanya akses air minum layak.

 

Papua, misalnya, wilayah dengan akses air minum layak paling rendah, ditargetkan menjadi lokasi dengan penyimpanan CO₂ terbesar dan jangka panjang, yakni Lapangan Tangguh LNG, dengan kapasitas penyimpanan 1,8 gigaton CO₂ per tahun. Proyek CCS berskala besar di Lapangan Tangguh akan membawa risiko dan beban baru bagi masyarakat Papua yang bahkan hingga hari ini belum sepenuhnya menikmati air minum layak. 

 

Sebaran lokasi pilot project penyimpanan karbon atau lokasi proyek CCS/CCUS di Indonesia. Sumber: Asia CCUS Network, 2022 dalam Yayasan Indonesia Cerah, 2023

Negara seharusnya tidak melupakan konsep water-energy-climate nexus atau nexus air-energi-iklim. Artinya: air, energi, dan iklim adalah elemen yang saling berkaitan erat. Mengintervensi salah satunya akan berdampak pada dua lainnya.

Dalam konteks ini, mengonsumsi banyak air untuk proyek CCS di sektor energi justru dapat memperburuk krisis iklim dan memperlemah upaya adaptasi iklim masyarakat saat kemarau ekstrem melanda. 

Tidak hanya soal air, risiko bencana juga menyelimuti proyek ini. Injeksi CO₂ skala besar bisa memicu gempa mikro hingga moderat akibat tekanan pori dan redistribusi stress di bawah tanah. Penelitian Zoback dan Gorelick mengungkap bahwa volume injeksi yang besar tanpa diimbangi manajemen tekanan pori berpotensi menimbulkan patahan bawah tanah. 

Studi Yayasan Indonesia Cerah di tahun 2023 juga memperkirakan, CCS berisiko merusak tatanan ekologi, sosial, serta memiskinkan warga. Ini menjadi potret bagaimana upaya transisi energi justru mencederai cita-cita keadilan iklim.

Lekas melepas batu bara

 

Dengan segala risiko di atas, memaksakan teknologi CCS untuk menyelamatkan PLTU batu bara bukan hanya menghamburkan anggaran, tetapi juga mempertaruhkan masa depan lingkungan dan melahirkan ketimpangan baru.

Pemerintah seharusnya mengalokasikan waktu untuk berfokus membangun energi terbarukan sebanyak-banyaknya. Diketahui, Perjanjian Paris—yang juga disepakati Indonesia—mematok tahun 2050 sebagai batas akhir bagi negara-negara di dunia untuk mencapai emisi bersih.

IEEFA dan IPCC sejak tahun 2022 sebetulnya telah mengingatkan bahwa menurunkan emisi lewat elektrifikasi seperti kendaraan listrik dan mengurangi emisi metana dari industri fosil lebih murah dan lebih cepat, dibanding membangun infrastruktur CCS. Apalagi, semakin hari biaya pembangkit listrik energi terbarukan (terutama surya dan angin) terus menurun, bahkan lebih murah dibandingkan penangkapan karbon.

Sudah saatnya pemerintah harus meninggalkan kepentingan jangka pendek yang membuat Indonesia sulit melepas batu bara. Transisi energi adalah sesuatu yang tidak dapat terhindarkan, melainkan perlu dipersiapkan.

Populer

Terbaru