Ironi, Pembangunan PLTU Captive Jalan Terus untuk Industri Kendaraan Listrik
Novaeny Wulandari • Penulis
22 Januari 2024
4
• 3 Menit membaca

Sebanyak 58 persen kapasitas batu bara saat ini diproyeksikan untuk mendukung pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive. Pembangkit tersebut diperuntukkan untuk industri seperti pemrosesan nikel dan kobalt dalam negeri.
PLTU captive atau pembangkit listrik berjenis off-grid merupakan pembangkit listrik berbahan baku batu bara yang dioperasikan dan digunakan (pemasoknya) di luar jaringan listrik publik atau pemerintah. Adapun, operasional dan kepemilikan pembangkitan tersebut dilakukan adalah sektor swasta atau pelaku industri.
Pembangunan PLTU captive menggunakan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri (IUPTLS), atau untuk wilayah usaha yang ditentukan (Wilayah Usaha, WU) dari perusahaan-perusahaan Penyedia Listrik Swasta (Private Power Utility/ PPU) yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, untuk penyediaan pendistribusian tenaga listrik.
Keberadaan PLTU captive rentan menghambat aksi transisi energi, melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang mendorong pensiun dini PLTU. Pasalnya, secara tidak langsung meningkatkan produksi batu bara.
Hal tersebut tak bisa tidak bisa terhindarkan. Pemerintah justru mengeluarkan izin dukungan PLTU batu bara captive melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan kalau pemerintah perlu membatasi pembangunan PLTU captive setelah 2025 dan memberikan mandat untuk mengoptimalisasi pemanfaatan energi terbarukan di Tanah Air sehingga emisi karbon dari operasional PLTU dapat ditekan.
“Perlu adanya kesamaan visi transisi energi yang hemat biaya (cost effective) oleh Presiden Joko Widodo dan pembuat kebijakan kunci di Indonesia. Kesamaan visi akan menentukan keberlanjutan komitmen politik dan peta jalan yang optimal,” katanya sebagaimana dilansir laman IESR pada Rabu, 3 Januari 2024
Laporan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM) menyebutkan, selama 10 tahun terakhir atau sejak 2013–2023, kapasitas PLTU captive di Indonesia meningkat hampir delapan kali lipat. Awalnya dari 1,4 gigawatt (GW) menjadi 10,8 GW.
Ironinya, sebanyak 7.273 MW atau 67,21 persen atau lebih dari separuh PLTU captive yang ada menyuplai smelter nikel, yang menjadi salah satu komponen penting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik, yang juga digadang-gadang menjadi jalan dekarbonisasi di sektor transportasi Indonesia.
Manajer Proyek Global Energy Monitor, Flora Champenois mengkhawatirkan, apabila kondisi terus masih terjadi, dana sebesar $20 miliar dari skema JETP untuk melakukan pensiun dini PLTU bisa tergerus.
Saat ini, Indonesia masih membangun PLTU captive dengan kapasitas total mencapai 18,8 GW. Dari jumlah itu, sebanyak 7 GW sudah masuk tahap prakonstruksi.
“Sekitar 58 persen kapasitas yang sedang dibangun dan prakonstruksi itu untuk industri yang dikecualikan di bawah JETP. Artinya, negara tersebut mungkin masih jauh dari penghentian PLTU Batu bara,” pungkas Flora dikutip Validnews.id, Kamis 21 Desember 2023.
Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Wanhar mengatakan, pihaknya terus mendorong penurunan emisi pembangkit listrik dalam program transisi energi.
“Selama ini pembahasan transisi energi hanya terbatas pada kontribusi PLN dalam upaya memenuhi komitmen penurunan emisi sektor pembangkit. Untuk itu, Pemerintah mendorong kontribusi penurunan emisi ini juga dapat dilakukan oleh captive power,” ungkapnya dikutip laman Kementerian ESDM, 9 Januari 2024.
Terkait dengan dana JETP, muncul kekhawatiran jebakan utang dalam JETP. Salah satunya disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Rachmat Kaimuddin. Ia menyebutkan, pemerintah terus menjaga supaya tidak ada paksaan untuk melakukan sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh Indonesia.
”(Sementara) pembangkitan listrik ini kan penting dan sesuai dengan kebutuhan energi, kebutuhan industri (dalam negeri) kita. Kalau butuh energi, pasti butuh pembangkit listrik. Kalau butuh pembangkit, pasti butuh investasi. Selama kebutuhannya produktif, menghasilkan nilai tambah, tidak apa-apa pakai utang. Tapi, kalau tidak (produktif), ya jangan,” aku Rachmat dikutip Kompas.id, 9 Januari 2024.