Ironi Sawit dalam Solusi Palsu Transisi Energi
Sita Mellia • Penulis
29 Januari 2025
4
• 5 Menit membaca

Pada akhir tahun 2024, di hadapan para pimpinan kementerian dan lembaga, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia perlu terus menanam kelapa sawit. Dia menolak tuduhan bahwa perluasan lahan sawit menyebabkan deforestasi dengan dalih tanaman tersebut adalah pohon yang berdaun dan menyerap karbon dioksida.
Pernyataan Prabowo menjadi kontroversi. Sejumlah riset telah memaparkan hubungan antara perluasan perkebunan sawit dengan deforestasi. Perusahaan-perusahaan sawit juga dianggap bertanggung jawab atas terbakarnya lahan gambut selama 2015-2019 yang menyebabkan pelepasan 435,7 juta ton emisi gas rumah kaca sehingga memperparah krisis iklim.
Walau begitu, pemerintah tetap menempatkan sawit sebagai komoditas strategis sekaligus pendorong transisi energi Indonesia. Dalam dokumen komitmen iklim Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) 2022, Indonesia secara terang-terangan menempatkan program B40 sebagai salah satu langkah mengurangi emisi sebesar 31,8-43,2% hingga 2030. B40 adalah program pencampuran bahan bakar nabati dari sawit sebesar 40% dalam seliter solar. Prabowo pun menginginkan program B100 alias 100% penggunaan sawit sebagai bahan bakar bisa diterapkan di Indonesia.
Strategi pengurangan emisi melalui energi terbarukan dalam ENDC. Target BaU (business as usual), CM1 (dengan usaha sendiri), CM2 (dengan bantuan internasional). Wilus (wilayah usaha/dalam jaringan PLN), off-grid RE (energi terbarukan di luar jaringan PLN). (Infografis: Irene Meriska Esterlita)
Memaksakan penggunaan sawit sebagai solusi transisi energi memiliki risiko besar bagi Indonesia. Apalagi, rencana ini disertai sinyal kuat pembukaan lahan baru untuk perkebunan, yang melahirkan banyak persoalan, alih-alih membentengi krisis iklim.
Paradoks biodiesel
Kajian Traction Energy Asia pada 2022 justru menunjukkan bahwa emisi yang dihasilkan dari proses produksi biodiesel berbahan baku minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) enam kali lipat lebih banyak dibanding emisi dari energi fosil.
Salah satu penyebabnya adalah sawit membutuhkan lahan kering untuk tumbuh subur. Alhasil, pengelola perkebunan sawit di lahan gambut akan mengeringkan lahannya untuk menanam komoditas tersebut. Pengeringan secara sengaja akan melepaskan emisi gas rumah kaca akibat penguraian komponen organik dalam gambut.
Selain pengeringan, pembukaan lahan dengan cara membakar lahan bahkan masih dilakukan oleh pemilik konsesi yang telah mengantongi sertifikasi keberlanjutan. Hal ini juga ditemukan pada studi Pantau Gambut di tahun 2024, yang mencatat bahwa 91% dari 155 titik kebakaran lahan berubah menjadi lahan sawit.
Kerusakan lingkungan ini berisiko terus terjadi. Studi WWF (2023) menunjukkan tren penggunaan biodiesel dalam kurun 2019-2023 terus meningkat, hingga total kebutuhan biodiesel nasional di tahun 2023 mencapai 13,15 juta kiloliter (KL).
Sementara untuk merealisasikan program B50 (dalam skenario jika diberlakukan sejak 2021), dibutuhkan lahan sawit baru seluas 9,29 juta hektare (ha) hingga tahun 2025. Kebutuhan ini merupakan hasil perhitungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) bersama Greenpeace Indonesia dalam studi mereka pada 2020.
Kebutuhan Lahan Sawit Baru atas Berbagai Skenario Kebijakan Mandatori Biodiesel (Akumulasi Tahunan Hingga 2025). (Infografis: Irene Meriska Esterlita)
Kebutuhan lahan sawit yang akan terus bertambah berisiko mengancam kawasan hutan alam yang per 2023 mencapai 96 juta ha. Selama 2000-2017, Kalimantan telah kehilangan 3,74 juta ha tutupan hutan karena berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp. Deforestasi akan memangkas kemampuan Indonesia menyerap emisi, bahkan berkontribusi melepaskannya kembali ke atmosfer.
Pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan sawit di Provinsi Jambi, Sumatera, juga telah mendatangkan banjir yang merugikan petani. Riset pada 2020 menunjukkan bahwa deforestasi di Jambi erat kaitannya dengan banjir. Pasalnya, mengubah hutan menjadi perkebunan sawit monokultur berdampak pada penurunan kemampuan tanah menyerap air, sehingga rentan menyebabkan banjir.
Rawan ketidakadilan
Selain kerusakan lingkungan, peningkatan penggunaan biodiesel juga berisiko menjauhkan Indonesia dari transisi energi yang berkeadilan. Ekspansi lahan sawit selama ini lekat dengan konflik agraria akibat perampasan lahan warga oleh perusahaan.
Berdasarkan laporan Satya Bumi, dari 150 konflik lahan sawit, 99 diantaranya merupakan perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan. Dari 150 konflik lahan itu pula, terdapat 30 demonstrasi warga yang direspon dengan kekerasan aparat setempat, termasuk TNI dan polisi. Di sisi lain, YLBHI juga mencatat adanya 190 kriminalisasi dalam tiga tahun terakhir, yang melibatkan intimidasi serta penangkapan terhadap warga lokal pemilik lahan.
Gijik, pria pemilik kebun sawit seluas 12 ha di Seruyan, Kalimantan Tengah, harus tewas tertembak peluru aparat di tengah memperjuangkan lahan dari PT Hamparan Masawit Bangun Persada. Peluru menembus dada dan punggung pria berumur 35 tahun itu ketika menghindar dari tembakan gas air mata di tengah demonstrasi warga menuntut perusahaan menunaikan janji dari skema kemitraan masyarakat bersama perusahaan sawit (plasma).
Sawit mendunia, buruh merugi
Buruh perkebunan sawit yang berkontribusi banyak pada penghasilan perusahaan dan pendapatan negara justru masih jauh dari sejahtera. Mereka, berdasarkan laporan Forest Peoples Programme (2022), masih terjerat perbudakan modern, pengupahan rendah, target yang tidak masuk akal, pelanggaran hak asasi pekerja, dan kekerasan terhadap perempuan.
Dalam investigasi yang dilakukan oleh Project Multatuli, terungkap bahwa perusahaan perkebunan sawit di Sumatera Utara dengan semena-mena mengubah kebijakan terkait target harian berat tandan buah segar (TBS) tanpa berdialog dengan buruh. Dari yang semula Berat Janjang Rata-rata (BJR) mereka 450-900 kg per hari, diubah menjadi 1.100 kg per hari. Buruh diharuskan bekerja 7 jam per hari dengan target BJR harian 1 ton.
Akibat praktik tersebut, buruh merugi karena sebagian besar upah bergantung pada hasil panen harian. Target yang mengabaikan kesehatan fisik buruh dan tidak disertai dengan upah yang layak semakin memperburuk ketimpangan dan ketidakadilan.
Di tengah kerugian masyarakat, program biodiesel nyatanya selama ini hanya dinikmati segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan atau PEP (politically exposed person). Laporan Satya Bumi menemukan adanya 17 orang pejabat perusahaan biodiesel yang terindikasi sebagai PEP. Lima orang di antaranya juga merupakan anggota tim pemenangan calon presiden pada pemilu 2019 dan 2024.
Butuh aksi korektif
Prabowo perlu mengkaji ulang rencana penggunaan biodiesel secara besar-besaran dan dukungannya terhadap ekspansi lahan sawit. Melanjutkan kedua rencana itu akan melahirkan persoalan lingkungan dan ketimpangan baru, yang berlawanan dengan upayanya melestarikan lingkungan dan mengentaskan kemiskinan. Transisi energi yang berkeadilan seharusnya berpihak pada kesejahteraan kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan, buruh, dan petani.
Upaya korektif ini dapat dimulai Prabowo dengan mengeluarkan ekspansi biodiesel dari sawit dalam Second Nationally Determined Contribution (SNDC). Sebagai gantinya, pemerintah dapat menggenjot target transisi ke energi terbarukan yang minim dampak lingkungan serta dapat melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga lebih berkeadilan.
Patut dicatat bahwa Indonesia tengah menjalani proses untuk bergabung Organization for Economic Cooperation atau OECD, yang memiliki panduan keadilan transisi yang ketat. Memaksakan rencana perluasan kebun sawit dengan pendekatan yang tidak berkeadilan dapat menjadi catatan merah sehingga berisiko memengaruhi proses tersebut.
Editor: Robby Irfany Maqoma