Kesadaran Transisi Energi Negara-negara di Asia Tenggara Rendah

Michelle Clysia Penulis

17 Agustus 2023

total-read

7

2 Menit membaca

Kesadaran Transisi Energi Negara-negara di Asia Tenggara Rendah

Makin ekstrem cuaca akhir-akhir ini menjadi alarm negara-negara di Asia Tenggara. Mereka harus mengantisipasi dampak krisis iklim yang makin nyata terasa dan terlihat.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, krisis iklim menjadi salah satu ancaman serius bagi negara-negara ASEAN. Sebab, selama dua dekade atau 20 tahun terakhir, terdapat kenaikan intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem. Antara lain fenomena gelombang panas (heat wave), kekeringan, banjir, dan badai tropis di beberapa negara kawasan tersebut.

“Kalau tidak ada upaya serius untuk memangkas emisi Global dan mengurangi dampak perubahan iklim, kawasan ASEAN akan terdampak lebih besar lagi. Sejumlah kajian menunjukkan dampak yang dirasakan oleh negara-negara di Asia Tenggara itu lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata Global,” katanya disiarkan VOA Indonesia, Rabu (16/08/2023).

Penurunan emisi gas rumah kaca menjadi hal krusial dan penting dilakukan untuk mencegah dampak krisis iklim yang lebih buruk. Bagi Fabby, hak itu seharusnya menjadi agenda Global yang mutlak harus diprioritaskan dan diutamakan oleh negara-negara ASEAN.

Meski demikian, penanganan krisis iklim juga harus sejalan dengan program ketahanan pangan, ketahanan energi, serta pembangunan di kawasan Asia Tenggara.

Sayang, kesadaran para negara-negara di Asia Tenggara untuk bertransisi energi dengan meninggalkan energi berbahan bakar fosil (batu bara) masih jauh dari realisasi.

Dilihat dari rencana saat ini, lanjut Fabby, negara para anggota ASEAN masih memilih untuk makin meningkat produksi energi. Bahkan dari catatannya, delapan dari sepuluh negara ASEAN sudah memiliki target nol bersih emisi (Net Zero Emission/ NZE) paling cepat tahun 2050 dan paling lambat 2065.

“Pada tahun 2030 harus ada penurunan 64 persen penggunaan batu bara dan 75 persen di 2050. Cara lainnya, paling penggunaan gas alam dan pengaturan konsumsi yang sudah harus ditakar untuk pembangkit listrik, 30–40 persen untuk industri, dan sisanya untuk penggunaan lain. Namun, ASEAN terancam impor gas pada 2035 dan ini bisa mengancam ketahanan energi di Asia Tenggara,” ujarnya. 

Populer

Terbaru