Memahami Biodiesel dan Implementasinya di Indonesia
Site Mellia • Penulis
30 Januari 2025
6
• 4 Menit membaca

Pada penghujung 2024, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan akan memulai program B50 atau biodiesel 50% pada tahun ini dalam rangka mewujudkan swasembada energi yang dia klaim ramah lingkungan. Sebulan setelahnya, di hadapan pimpinan kementerian dan lembaga, ia kemudian meminta penanaman kelapa sawit diperluas.
Apa itu biodiesel? Bagaimana hubungannya dengan perluasan lahan sawit? Apa urgensi keduanya untuk swasembada energi Indonesia?
Pengertian biodiesel
Biodiesel adalah bagian dari biofuel atau bahan bakar hayati. International Energy Agency (IEA) mendefinisikan biofuel sebagai bahan bakar cair yang berasal dari biomassa, dan digunakan sebagai alternatif terhadap bahan bakar cair berbasis fosil seperti bensin, solar, diesel, dan avturbahan bakar penerbangan.
Biodiesel diperoleh dari proses kimia yang disebut transesterifikasi, yakni mengubah bahan baku berupa minyak nabati, lemak hewani, minyak goreng bekas, dan lipid mikroba atau minyak sel tunggal menjadi produk bahan bakar.
Biodiesel di berbagai belahan dunia
Indonesia bukan satu-satunya negara yang memanfaatkan biodiesel. Pada 1970-an, Brasil merealisasikan program biofuel terbesar di dunia, “Proálcool”, yang memproduksi etanol dari tebu untuk menggantikan bensin.
Selain Brasil, Amerika Serikat juga telah mengembangkan industri biodiesel dengan memanfaatkan minyak kedelai sebagai bahan baku utama. Uni Eropa, khususnya Jerman dan Prancis, menggunakan biodiesel yang berasal dari minyak rapeseed sebagai bagian dari upaya mereka mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menurunkan emisi karbon.
Di Asia, Cina dan India mulai meningkatkan produksi biodiesel dengan memanfaatkan minyak nabati dan limbah minyak goreng untuk mendukung sektor transportasi dan industri. Sementara itu, Australia juga menerapkan kebijakan pencampuran biodiesel dalam bahan bakar kendaraan.
Sejarah biodiesel Indonesia
Kebijakan biodiesel di Indonesia dimulai pada 2006 melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2006. Tujuannya untuk mendorong penggunaan bahan bakar nabati sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Kenaikan harga minyak dunia kemudian mendorong pemerintah untuk menetapkan pencampuran biodiesel 1% dalam seliter solar bersubsidi atau B1, sektor industri dan komersial 2,5% atau B2,5 dan sektor pembangkit listrik 0,1% atau B0,1. Peraturan ini mengalami beberapa perubahan, dimulai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 25/2013 untuk menaikkan kewajiban pencampuran menjadi 10% (B10).
Pengembangan biodiesel di Indonesia bertambah pesat setelah pemerintah membentuk membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada 2015. Badan ini mengumpulkan pungutan ekspor dari perusahaan sawit kemudian menyalurkannya ke produsen biodiesel untuk menurunkan biaya produksi. Per Desember 2024, harga indeks pasar (HIP) biodiesel saja sudah mencapai Rp14 ribu per liter—di luar ongkos angkut. Bandingkan dengan harga jual solar subsidi saat ini Rp6.800 per liter.
Gencarnya penggunaan biodiesel juga mendorong pemerintah untuk memasukkan program ini sebagai upaya meredam perubahan iklim global. Dalam dokumen komitmen iklim Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) 2022, Indonesia menetapkan program B40 sebagai salah satu langkah mengurangi emisi sebesar 31,8-43,2% hingga 2030.
Apa Itu B35 dan B50?
Angka dalam kode tersebut menunjukkan persentase biodiesel dalam campurannya. B35 menunjukkan campuran yang terdiri dari 35% biodiesel dan 65% solar. Sementara B50 terdiri dari 50% biodiesel dan 50% solar.
Secara perlahan, kewajiban pencampuran biodiesel Indonesia terus bertambah. Pada 2015, program B15 yang diterapkan pemerintah turut menaikkan penggunaan biodiesel ke 910 ribu kiloliter (KL) dibandingkan 2009 sebesar 115 ribu KL.
Pada Januari 2025, pemerintah memberlakukan program B40. Program ini bisa meningkatkan penggunaan biodiesel nasional hingga 15,6 juta KL. Tren ini dapat terus meningkat apabila Prabowo benar-benar merealisasikan program B100.
Tantangan implementasi B100
Meski sepintas terlihat menguntungkan, penggunaan biodiesel 100% (B100) menyimpan sejumlah tantangan. Tantangan pertama adalah sifat higroskopis biodiesel yang menyerap air yang lebih tinggi dari solar.
Artikel ilmiah dari hasil telaah oleh Wirawan et al. (2024) menunjukkan, kadar air ini dapat memengaruhi efisiensi pembakaran mesin diesel sehingga biodiesel lebih boros 0,5-6,7% dibandingkan solar konvensional. Semakin banyak campuran biodiesel, risiko pemborosannya bisa lebih besar.
Selain itu, kadar air juga menciptakan kerak sehingga dapat mengganggu kinerja mesin.
Penggunaan biodiesel 100% juga berisiko mengulangi—bahkan memperparah—kelangkaan minyak goreng yang pernah terjadi pada 2022. Ini terjadi karena biodiesel dan minyak goreng berasal dari bahan baku yang sama, yakni minyak sawit mentah (crude palm oil).
Program biodiesel dari sawit pun belum menjadi transisi energi yang adil. Sebab, penggunaan minyak sawit yang massif dapat melahirkan persoalan baru mulai dari konflik agraria, deforestasi, pembakaran lahan yang memperparah krisis iklim, hingga banjir.
Maraknya persoalan yang timbul akibat biodiesel membuat banyak pihak menganggap program biodiesel sebagai solusi palsu transisi energi.