Mengurut Benang Kusut Sulitnya EBT Tumbuh di Indonesia

Michelle Clysia Penulis

22 Januari 2024

total-read

6

3 Menit membaca

Mengurut Benang Kusut Sulitnya EBT Tumbuh di Indonesia

Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mencapai target nol emisi bersih (Net Zero Emissions/ NZE) tahun 2060 atau lebih cepat, melalui pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT). Pasalnya, dari laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bauran EBT di Indonesia pada semester  I tahun 2023 baru mencapai 12,5 persen.

Persentase tersebut masih kurang 5,4 persen dari target yang ditentukan untuk tahun 2023, yaitu 17,9 persen. Artinya, langkah Indonesia memenuhi bauran EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025 masih berat. 

Salah satu hambatan dalam pengembangan EBT adalah faktor non finansial, yakni berupa dukungan kebijakan dan persyaratan yang harus dipenuhi. Kondisi itu mengakibatkan investor ragu untuk berinvestasi EBT di Indonesia.

Mengutip Kompas, investor-investor mengeluhkan belum adanya undang-undang yang mengatur pemanfaatan EBT. Baru ada satu beleid yang mengatur, yakni Peraturan Presiden 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Mereka mengaku, pengaturan setingkat Peraturan Presiden 112 tahun 2022 dinilai belum cukup untuk mencegah risiko dan kerugian di masa depan dengan nilai yang mereka keluarkan.

Investor melihat, dalam kebijakan tersebut, ditemukan banyak faktor yang menghambat investasi EBT di Indonesia. Mulai dari infrastruktur, dukungan pemerintah, kapasitas, hingga harga pembelian listrik. Belum lagi soal jaminan kepastian bagi investor.

Ketua Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES), Surya Darma mengatakan, Perpres 112 tahun 2022 belum bisa menunjang keekonomian proyek EBT di Indonesia. Salah satunya pada investasi pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang memiliki resiko eksplorasi tinggi dan penyediaan infrastruktur. 

“Selain menyelesaikan aspek bisnis, pemerintah juga semestinya memberikan kepastian hukum dalam berusaha, menghilangkan pola negosiasi harga yang berkepanjangan sehingga tidak memberikan kepastian waktu,” ujar Surya dikutip dari Kontan, Selasa 12 Desember 2023. 

Surya menyontohkan, harga listrik dari pembangkit panas bumi jika mempertimbangkan skala kapasitas, infrastruktur, dan dukungan pemerintah, tarifnya bisa di atas $10 cent per kilowatt (kWh). 

Sedangkan Perpres 112 tahun 2022 menyaratkan, tarif listrik panas bumi hanya di bawah $10 cent per kWh. Gambarannya terlihat dari harga patokan tertinggi pembangkit listrik tenaga panas bumi di tahun pertama hingga 10 tahun ke depan. Yakni, untuk kapasitas yang mencapai 10 MW harganya $9,76 cent per KWh, sedangkan di atas 100 MW seharga $ 7,65 cent per KWh.

Surya menganggap angka tersebut tidak realistis mengingat kondisi Indonesia saat ini tengah mengalami oversupply dalam beberapa tahun belakang. Katadata menuliskan, dalam 9 tahun terakhir, PLN mengalami oversupply, di mana jumlah yang disediakan melebihi jumlah yang terjual ke pelanggan.

Sementara itu, Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo mengatakan, polemik harga listrik dikarenakan perhitungannya yang mendasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2015 yang mencapai 6,1 persen. Lalu, PLN merancang penambahan atau ekspansi pembangkit listrik yang dipatok hingga angka 380 terawatt hour (TWh) pada tahun 2023. Pada kenyataannya, hingga akhir tahun 2022, penjualan listrik PLN baru mencapai 270,82 TWh. 

“Jadi ada 100 TWh di bawah dari yang direncanakan, itu lah bahwa pada waktu itu apakah asumsinya itu sudah sesuai dengan harapan ternyata bergeser,” kata Darmawan dikutip Bisnis

Perhitungan yang meleset itu membuat posisi pasokan listrik oversupply makin melebar hingga awal tahun. 

Seperti diketahui, selama tahun 2022, oversupply listrik mencapai 6 Gigawatt (GW). Hal itu disebabkan adanya penambahan kapasitas sebesar 7 GW. Padahal, peningkatan konsumsi listrik hanya 1,2–1,3 GW. 

Untuk diketahui, setiap kelebihan 1 GW, PLN harus menanggung beban senilai Rp 3 triliun. 

Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetiyo menilai, oversupply listrik berdampak terhadap investasi EBT. Ia mengamati, tidak ada ruang untuk pengembangan EBT lebih lanjut jika masih terus menggunakan listrik berbahan bakar fosil. 

“Dalam kondisi oversupply ini, pemerintah mau tak mau lebih menghitung kalkulasi bisnis, pasti akan memprioritaskan PLTU yang sudah kontrak take or pay, karena terpakai tak terpakai energi yang dihasilkan tetap harus dibayar,” ujarnya dikutip Kompas.

Bagi Andri, dalam pengembangan EBT harus ada regulasi yang berkompetisi dengan bahan bakar fosil.  

Populer

Terbaru