Modal Kuat Indonesia Pensiun Dini PLTU Batu Bara, kecuali Kemauan Politik
Sita Mellia • Penulis
05 Maret 2025
1
• 3 Menit membaca

Indonesia memiliki peluang besar untuk segera beralih dari energi berbasis batu bara menuju energi terbarukan. Sejumlah regulasi dan skema pembiayaan telah disiapkan, termasuk skema pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Namun, hingga kini, transisi energi masih terhambat oleh ketidakkonsistenan kebijakan dan minimnya langkah konkret dari pemerintah.
Dalam diskusi yang digelar oleh CERAH bertajuk CERAH Expert Panel: “Masa Depan Pensiun Dini PLTU di Bawah Pemerintahan Presiden Prabowo” di Jakarta (7/2/2025), para ahli menyoroti bahwa pemerintah sebenarnya memiliki modal hukum dan ekonomi yang kuat untuk mempercepat penghentian PLTU.
Muhamad Saleh, Peneliti Hukum dari Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), menyebut bahwa Peraturan Presiden No. 112/2022 telah mengatur jenis dan kriteria PLTU yang harus dihentikan.“Regulasi ini seharusnya sudah cukup menjadi dasar bagi pemerintah untuk bertindak. Namun, hingga saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum juga mengeluarkan peta jalan rinci untuk pensiun dini PLTU. Ini yang menjadi hambatan utama,” ujar Saleh.
Dari sisi ekonomi, transisi energi juga bukan hal yang mustahil. Tata Mustasya, Direktur Eksekutif SUSTAIN, mengungkapkan bahwa Indonesia bisa memperoleh dana hingga 170% dari kebutuhan pembiayaan transisi energi sebesar US$96,1 miliar atau setara 96,1 triliun jika pemerintah menerapkan skema pungutan progresif terhadap produksi batu bara.
Bahkan, dalam skenario pungutan paling kecil, Indonesia bisa mendapatkan dana 35% dari kebutuhan JETP. Angka yang cukup untuk membiayai pembangunan jaringan listrik dan pensiun dini PLTU batu bara.
“Kalau pemerintah punya kemauan politik untuk meningkatkan pungutan batu bara, Indonesia sebenarnya bisa membiayai transisi energi tanpa harus bergantung pada pinjaman asing,” kata Tata.
Selain pungutan batu bara, pemerintah juga dapat menerapkan pajak karbon bagi PLTU, yang akan membuat bisnis batu bara semakin tidak menguntungkan. Pajak ini diharapkan bisa mengurangi margin keuntungan industri batu bara dan mendorong pemilik PLTU untuk beralih ke energi terbarukan.
Meski skema pembiayaan tersedia, transisi energi masih menghadapi banyak hambatan. Martha Maulidia, Peneliti Kebijakan Energi dari International Institute for Sustainable Development (IISD), menyebut bahwa masih banyak fasilitas dan subsidi yang diberikan kepada sektor energi fosil. “Kita saat ini berada dalam kondisi carbon lock-in, di mana terlalu banyak investasi yang sudah dikucurkan ke PLTU sehingga pemerintah enggan menghentikannya. Kalau ini dibiarkan, kita malah terus membakar uang ke sektor batu bara,” jelas Martha.
Data menunjukkan bahwa pada 2022, subsidi dan kompensasi listrik di Indonesia mencapai lebih dari Rp500 triliun. Jika dana sebesar itu dialihkan ke energi terbarukan, percepatan transisi bisa lebih optimal.
Selain itu, pemerintah juga dinilai memberikan sinyal yang tidak konsisten terhadap investor energi terbarukan. Beberapa kebijakan yang mendukung transisi energi sering kali dibarengi dengan keputusan yang justru memperpanjang usia PLTU.
Para pakar menekankan bahwa jika Indonesia ingin benar-benar keluar dari ketergantungan pada batu bara, beberapa langkah konkrit harus segera diambil:
- Menetapkan peta jalan pensiun dini PLTU yang jelas dan memiliki target waktu spesifik sesuai mandat Perpres No. 112 Tahun 2022.
- Menghapus atau mengurangi subsidi batu bara dan energi fosil, lalu mengalokasikannya untuk pengembangan energi terbarukan.
- Menerapkan pajak karbon dengan harga yang efektif, sehingga industri batu bara menjadi kurang kompetitif.
- Mendorong investasi sektor swasta dan komunitas dalam energi terbarukan, agar transisi energi lebih inklusif dan tidak bergantung sepenuhnya pada negara.
Tanpa langkah konkret dari pemerintah, target penghentian batu bara dalam 15 tahun ke depan hanya akan menjadi wacana. Meski regulasi dan skema pembiayaan untuk pensiun dini PLTU sudah memadai, nasib transisi energi masih ditentukan oleh keberanian politik para pengambil kebijakan—apakah akan terus bergantung pada batu bara atau benar-benar beralih ke energi terbarukan.
Editor: Robby Irfany Maqoma