Membayangkan Rp193 Triliun Korupsi Pertamina untuk Dana Transisi Energi

Cintya Faliana Penulis

03 Maret 2025

total-read

1

4 Menit membaca

Membayangkan Rp193 Triliun Korupsi Pertamina untuk Dana Transisi Energi

Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi yang melibatkan PT Pertamina (Persero) mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun pada 2023. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar menyebutkan jika modus dan skema yang digunakan serupa, maka kerugian negara dalam lima tahun dapat mencapai Rp980 triliun

Kasus korupsi di sektor pertambangan bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, dugaan kasus korupsi pengolahan timah merugikan negara hingga Rp300 triliun. Kerugian ini dihitung karena kerusakan ekosistem akibat penambangan ilegal.

Besarnya kerugian negara dalam satu tahun di kasus Pertamina ini sangat disayangkan. Apalagi, kerugian negara terbesar berasal dari pemberian kompensasi dan subsidi untuk aktivitas terkait energi fosil. Ini senada dengan riset Tax Justice Network mengungkapkan subsidi untuk bahan bakar fosil ditambah dengan lemahnya penegakan hukum cenderung meningkatkan potensi korupsi sekaligus untuk mencari keuntungan pribadi.

Uang ratusan triliun, apabila korupsi dapat dihindari, dapat digunakan untuk memenuhi beraneka kebutuhan Indonesia yang mendesak, salah satunya adalah transisi energi untuk menangkal perubahan iklim. 

113 PLTS Terapung

Indonesia memiliki pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terbesar yakni PLTS Terapung Cirata di Bandung, Jawa Barat. Kapasitasnya mencapai 192 MWp dan mulai beroperasi sejak November 2023.

Pembangunan PLTS Cirata berlokasi di area seluas 200 hektare dengan lebih dari 340 ribu panel surya. Setiap tahunnya, PLTS ini mampu memproduksi 245 juta KWh energi bersih. Artinya, lebih dari 50 ribu rumah akan mendapat aliran listrik bersih dan menekan emisi lebih dari 200 ribu ton CO2 tiap tahun. Secara tidak langsung, pembangunan PLTS Cirata mampu menyerap 1.400 tenaga kerja.

Dengan nilai investasi Rp1,7 triliun untuk pembangunan PLTS Cirata, kerugian negara sebesar Rp197 triliun dalam satu tahun saja bisa membangun lebih dari 13 GW PLTS atau 113 PLTS Cirata tersebar di seluruh Indonesia. Ratusan PLTS tersebut—apabila dibangun dengan kapasitas serupa—akan menyumbangkan kapasitas listrik energi surya secara signifikan, hingga 21,6 GW.

107 PLTB Lombok

Masih menurut riset IESR, dana yang dibutuhkan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dengan kapasitas 28 GW sebesar US$38,3 miliar. Jika dirupiahkan, pemerintah membutuhkan dana Rp635 triliun. 

Kerugian negara dalam kasus korupsi Pertamina selama lima tahun sudah bisa menutup kebutuhan pembiayaan ini. Nilai kapasitas 28 GW tersebut bahkan setara dengan kapasitas ideal energi angin yang dibutuhkan di Indonesia hingga 2040 mendatang, versi studi dari organisasi think-tank, EMBER.

Salah satu PLTB yang sedang dijajaki saat ini berlokasi di Sekotong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) berkapasitas 120 MW. Nilai investasi yang akan digelontorkan mencapai US$121 juta atau lebih dari Rp1,8 triliun. Setidaknya, uang Rp193 triliun dapat digunakan pemerintah untuk mendanai sekitar 107 proyek PLTB serupa.

Per 2021, PLTU batu bara yang dimiliki oleh PT PLN (Persero) di seluruh Jawa berkapasitas 15.830 MW dan di luar Jawa 4.422 MW. Dengan asumsi masing-masing proyek PLTB berkapasitas 120 MW, 107 proyek energi angin tersebut dapat menggantikan sekitar 81% kapasitas listrik PLTU di seluruh Jawa. 

3.800 PLTMH di seluruh Indonesia

Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dengan kapasitas 1,5 MW sedang dibangun di Banyumas, Jawa Tengah. Nilai investasi yang dibutuhkan sejak 2017 lalu mencapai US$3,1 juta atau setara Rp49 miliar. 

Dengan kapasitas ini, kerugian negara dari kasus Pertamina dapat setara dengan membangun lebih dari 3.880 PLTMH. Ribuan pembangkit tersebut, apabila dibangun dengan kapasitas yang sama dan berjalan sesuai rencana, dapat menambah kapasitas energi terbarukan sekitar 5,82 GW. 

Pensiun dini PLTU

Salah satu alasan lesunya pengembangan energi terbarukan di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, karena sumbangan listrik PLTU yang sangat besar. Porsinya mencapai lebih dari 60% dari kapasitas listrik nasional.

Di lain pihak, upaya mengakhiri PLTU saat ini terganjal oleh besarnya kebutuhan pendanaan, yakni sekitar Rp444 triliun untuk setidaknya 19 PLTU. Sementara hingga saat ini pemerintah mengklaim belum ada sumber pendanaan yang pasti untuk pensiun dini PLTU.

Seandainya korupsi impor minyak Pertamina selama 2018-2023 bisa dihindari, Indonesia akan memiliki bujet yang cukup untuk mengakhiri 19 PLTU tersebut—bahkan lebih. Dua di antaranya adalah pembangkit terbesar di Indonesia, yakni PLTU Suralaya di Banten dan PLTU Paiton di Jawa Timur.

Mengembangan energi terbarukan, memberantas korupsi

Dengan angka bauran energi terbarukan yang masih jauh dari target, pemerintah harus memaksimalkan berbagai potensi yang ada. IESR menghitung potensi energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik lewat dua skenario.

Pertama, mendorong penggunaan PLTS berkapasitas 7.714 GW, PLTMH 28 GW, PLTB 88-106 GW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) hingga 30 GW. Kedua, pemerintah bisa membangun PLTS dengan kapasitas 6.700 GW, PLTMH 6,3 GW, PLTB hanya 19-25 GW, dan PLTBm 30 GW. Khusus untuk PLTBm, pemerintah perlu membatasi pasokan bahan bakar hanya dari limbah kayu agar pengembangan energi ini tidak mendorong deforestasi lanjutan.

Dua skenario pengembangan energi terbarukan Indonesia (Sumber: IESR).

Melihat potensi sebesar ini, pemerintah punya peluang besar mengganti energi fosil seperti batu bara dan minyak bumi dengan energi terbarukan. Kini, hanya political will atau kemauan dan komitmen pemerintah untuk mengurangi kerugian negara akibat korupsi sekaligus mengalihkannya untuk pembiayaan energi terbarukan.

Editor: Robby Irfany Maqoma

#dekarbonisasi#energi-fosil#transisi-energi#subsidi-bbm#pertamina

Populer

Terbaru