Ambisi Presiden Prabowo Manfaatkan Nuklir, Benarkah Jadi Energi Paling Bersih?

Cintya Faliana Penulis

07 Maret 2025

total-read

1

7 Menit membaca

Ambisi Presiden Prabowo Manfaatkan Nuklir, Benarkah Jadi Energi Paling Bersih?

Presiden Prabowo Subianto kembali menegaskan ambisinya untuk memanfaatkan energi nuklir sebagai sumber pembangkit listrik, lantaran dinilai sebagai energi paling bersih. 

“Nuklir bukan hanya untuk senjata. Nuklir untuk kesehatan, nuklir untuk benih-benih padi dan nuklir untuk energi. Energi terbarukan dan energi paling bersih di antaranya nuklir,” ungkap Prabowo di Kongres Partai Demokrat akhir Februari lalu. 

Ketika negara-negara di Eropa seperti Jerman mulai meninggalkan tenaga nuklir, Indonesia justru masih gigih menggapai cita-cita ini. Benarkah klaim Prabowo bahwa nuklir adalah energi paling bersih dan bisa menjadi solusi untuk Indonesia? 

Ilusi nuklir rendah emisi

Para promotor nuklir kerap mengklaim pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) menghasilkan CO2 yang rendah. Namun, perhitungan sebenarnya tidaklah sesederhana itu. PLTN memiliki daur hidup yang panjang mulai dari penambangan, pemrosesan, konversi dan pengayaan  uranium, serta pembuatan dan pengangkutan bahan bakar, konstruksi, hingga pembongkaran. 

Laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC)—yang merangkum puluhan ribu studi di seluruh dunia—memperkirakan emisi dari daur hidup PLTN rata-rata mencapai 125 gram CO2 per kilowatt jam (kwh) tergantung dari proses ataupun teknologi yang digunakan. Emisi ini sedikit lebih besar dibandingkan energi surya fotovoltaik sebesar 124 gCO2/kwh, tapi jauh melampaui energi surya terkonsentrasi (yang diproduksi melalui jajaran cermin bukan panel surya)sekitar  42 gCO2/kwh, dan energi air 28 gCO2/kwh.

Tidak berhenti di situ, studi Warner dan Heath (2012) turut menekankan agar emisi dari biaya peluang (opportunity cost emissions) PLTN juga diperhitungkan. Emisi ini timbul akibat pembakaran energi fosil untuk menjaga kelangsungan listrik saat PLTN masih dalam pembangunan. Pasalnya, pembangunan PLTN membutuhkan waktu yang lama—sekitar 7-11 tahun

Biaya peluang ini sebenarnya dapat diredam signifikan apabila suatu negara mengembangkan pembangkit energi terbarukan yang lebih cepat beroperasi. Misalnya, pembangunan PLTS terbesar di Indonesia, PLTS Cirata di Jawa Barat, hanya memakan waktu tak sampai tiga tahun, sedangkan ladang energi angin di Sidrap, Sulawesi Selatan, sekitar 2,5 tahun.  

Karena waktu yang hilang inilah, studi Warner dan Heath menyebutkan emisi PLTN sebenarnya bisa lebih besar lagi. Angkanya bisa mencapai 180 gCO2/kwh. 

Jejak nuklir di dunia 

Setidaknya ada dua kejadian fatal terkait PLTN yang mengguncang dunia yaitu Chernobyl dan Fukushima. Insiden pertama, ledakan salah satu reaktor nuklir di Chernobyl, Ukraina (dulunya Uni Soviet) terjadi pada 1986. Penyebabnya adalah kesalahan desain reaktor dan tim operasional yang mematikan beberapa sistem keamanan mengakibatkan reaktor tidak stabil. 

Dampak dari ledakan ini adalah dua pekerja yang tewas di lokasi, disusul 28 orang lain yang terpapar oleh radioaktif beberapa pekan kemudian. Selain itu, setidaknya 5% dari material reaktor terlepas ke udara dan menyebar ke sejumlah bagian Eropa hingga 350 ribu orang harus dievakuasi.

Tragedi berikutnya terjadi di Fukushima, Jepang pada 2011 ketika gempa dan tsunami yang mengakibatkan kebocoran nuklir (nuclear meltdown) dan sejumlah ledakan hidrogenMeski tidak ada korban jiwa secara langsung, 16 pekerja terluka dalam ledakan. 

PLTN juga mengalami sejumlah ledakan zat kimia yang merusak bangunan. Materi radioaktif mulai bocor ke atmosfer dan Samudera Pasifik, mendorong evakuasi dan terus meluasnya zona terlarang.

Dari 20 penelitian terkait insiden fatal nuklir di Chernobyl dan Fukushima, 14 di antaranya menunjukkan dampak negatif. Misalnya, gangguan pada sistem pertumbuhan hingga kematian berbagai jenis tanaman di kedua wilayah tersebut.

Kemudian, terdapat pula dampak jangka panjang untuk manusia seperti potensi kanker dan keharusan migrasi akibat zona tinggi radiasi. Penyebaran radiasi nuklir yang menyebar di atmosfer juga mengakibatkan kontaminasi hingga ke daerah di luararea kecelakaan. 

Area laut di sekitar PLTN Fukushima juga ikut mencemarkan satu juta metrik ton air, atau setara dengan kebutuhan air untuk 500 kolam renang berukuran Olimpiade.  Artinya, baik tanah, udara, dan laut ikut terdampak di area di sekitar Chernobyl maupun Fukushima. Sektor perikanan juga terpukul karena bencana ini dengan nilai hasil tangkapan yang menurun hingga 75% dalam waktu tujuh tahun.

Di masa depan, bukan tidak mungkin hal yang sama terjadi. Sebuah riset memproyeksikan dengan ambisi negara-negara untuk membangun PLTN, setidaknya akan ada satu kecelakaan besar dengan skala Fukushima terjadi. Probabilitas kecelakaan ini terjadi adalah 50% setiap 60-150 tahun dengan potensi kerugian US$20 juta.

Prabowo: Kita tidak punya uang

Ambisi untuk membangun PLTN harus dipertimbangkan kembali bukan hanya karena alasan keamanan dan dampak lingkungan, tetapi juga beban fiskal. Target pembiayaan PLTN dengan kapasitas 2.400 Megawatt adalah US$12,65 juta atau Rp197 triliun (asumsi kurs Rp15.598).

Sedangkan, beberapa negara sudah membuktikan pembangunan PLTN selalu membutuhkan dana yang lebih besar dan jangka waktu yang lebih lama dibandingkan rencana awal.

Dikutip dari riset Nuclear Agency Energy dan OECD, teknologi nuklir terbaru yang akan digunakan di Indonesia yaitu reaktor modular kecil (SMR) berpotensi menghadapi tantangan serupa dengan teknologi sebelumnya seperti  First-of-a-Kind (FOAK). Saat ini, terdapat lima proyek FOAK yang mengalami keterlambatan konstruksi dan pembengkakan biaya hingga 2,3 kali lipat dari biaya awal. 

IESR juga mengungkapkan rencana PLTN pada 2032 mendatang punya berbagai risiko yang tinggi. Pertama, belum ada pihak yang berkomitmen untuk membeli listrik dari PLTN terbangun. Kedua, ada kemungkinan PLTN tidak bisa beroperasi sesuai jadwal hingga menyebabkan pembengkakan biaya. Ketiga, saat ini belum ada regulasi yang jelas mengatur perizinan, operasional, dan keamanan PLTN. Ketidakpastian regulasi dan risiko-risiko lain akan diperhitungkan oleh investor sebelum mendanai proyek ini dan menyebabkan biaya PLTN semakin besar. 

Selain itu, komponen biaya pembangunan PLTN dianggap tidak fleksibel karena terdiri dari hanya 15% biaya variabel, sedangkan sisanya adalah biaya tetap. PLTN juga dinilai menawarkan sedikit keuntungan, dengan risiko kerugian atau pembengkakan biaya yang besar. Dengan demikian, jika BUMN terlibat dalam investasi pembangunan PLTN, besar kemungkinan akan menanggung akibat kerugian yang terjadi.

Ditinggalkan dunia, diimpikan Indonesia

Jerman adalah satu dari sedikit negara yang bergantung pada keberadaan nuklir sebagai pembangkit listrik. Setelah enam dekade beroperasi, Jerman menutup tiga pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) terakhir pada 2023. 

Rencana pemensiunan PLTN ini sudah berlangsung sejak 20 tahun sebelumnya, tapi terus terhambat. Alasannya, kekhawatiran Pemerintah Jerman terhadap sumber energi pengganti nuklir. Namun demikian, setelah tragedi Fukushima terjadi pada 2011, Kanselir Angela Merkel berkomitmen untuk mempercepat penghapusan nuklir dimulai dari pembangkit yang paling tua beroperasi. 

Selain Jerman, ada Italia, Portugal, Belgia, Swiss, dan Austria yang mulai meninggalkan era energi nuklir. Senada, Spanyol juga memasang target penutupan PLTN pada 2035 mendatang, langkah awal penutupan ini rencananya dimulai awal 2027. Sementara Swiss sudah berkomitmen untuk menutup PLTN dan beralih ke energi hidro berdasarkan Strategi Energi 2050.

Energi terbarukan lebih menguntungkan 

Secara umum, tren investasi global lebih berminat pada energi terbarukan. Pada 2023 saja, total investasi untuk pembangkit listrik bernilai US$623 miliar atau 27 kali lipat investasi untuk PLTN.

Kapasitas tenaga surya dan angin tumbuh masing-masing sebesar 73% dan 51% hingga menghasilkan gabungan kapasitas baru sebesar 460 GW. Berbanding terbalik, kapasitas tenaga nuklir justru turun sebesar 1 GW. 

Penyebab utamanya adalah biaya pembangunan nuklir yang terus meningkat di seluruh dunia. Contohnya, untuk membangun reaktor modern di Amerika Serikat (AS), dibutuhkan biaya hingga US$5-10 miliar per reaktor. Padahal, pada 1960-an, PLTN adalah salah satu sumber energi termurah di AS, dengan harga pembangunan hanya seperenam dari saat ini.

Ditambah dengan Levelized Cost of Electricity (LCoE) energi terbarukan yang terbukti lebih rendah dan menguntungkan. Studi OECD-IEA menyimpulkan LCoE tenaga surya bahkan lebih kompetitif ketimbang batu bara di India. Lebih lagi, biaya tenaga surya dan penyimpanannya sudah lebih rendah ketimbang nuklir di pasar global. 

Ketika menghitung LCoE nuklir berdasarkan harga karbon di AS, tenaga nuklir jauh lebih mahal dengan rentang US$142-222/MWh, sedangkan, tenaga surya hanya US$29-92/MWh dan angin US$27-US$73/MWh.

Belum lagi cadangan uranium sebagai bahan bakar PLTN di Indonesia yang sangat terbatas. CERAH mengungkapkan, cadangan uranium terukur di Indonesia hanya 1.608 ton atau cukup untuk PLTN berkapasitas 1 GW selama 6-7 tahun saja. Artinya, pemerintah harus mengimpor uranium hingga akhir usia PLTN yang mencapai 30-40 tahun. Risiko ini berpotensi membebani keuangan negara.

Gambaran skenario impor nuklir saat PLTN beroperasi (Infografis: Irene Meriska Esterlita).

Fokuslah ke energi terbarukan

Ini saatnya pemerintah melakukan perhitungan dengan cermat. Semangat efisiensi yang dimiliki pemerintahan Presiden Prabowo harus diimplementasikan ketika melihat pembangunan PLTN. Potensi energi terbarukan yang sangat melimpah di Indonesia bisa dimanfaatkan tanpa perlu melakukan eksplorasi tenaga nuklir dari awal yang berbiaya mahal. 

Alih-alih memaksakan ‘impian’ pribadi tanpa menghitung pengorbanan masyarakat Indonesia, ini momen krusial pemerintah melaksanakan transisi energi yang adil dan inklusif.

Editor: Robby Irfany Maqoma

#energi-nuklir#nuklir#pltn#prabowo#transisi-energi

Populer

Terbaru