Penggunaan 10 Persen EBT Kurangi 1,6 Persen Emisi Karbon
Michelle Clysia • Penulis
24 Januari 2024
7
• 3 Menit membaca

Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi pengganti ideal dari energi fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. EBT dapat membantu menurunkan emisi karbon (CO2). Hal itu dikarenakan keluaran emisi karbon dari EBT rendah.
Sebagai perbandingan, pembangkit listrik dari EBT–energi surya, panas bumi, tenaga air–hanya menghasilkan emisi karbon 24–48 gram CO2 per kilowatt jam (kWh).
Bandingkan dengan pembangkit dari energi fosil. Seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) PLTU minyak, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTGU), dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), rata-rata emisi karbonnya di atas 450 gram gram CO2 kWh. Malah, untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara, emisi karbonnya mencapai 800 gram CO2 kWh.
Kondisi tersebut membuat Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/ UNFCCC) bersikap. Mereka meminta negara-negara di seluruh Dunia dapat segera beralih untuk penggunaan energinya, dari energi fosil ke EBT yang ramah lingkungan.
Rongrong Li dan tim dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Universitas Perminyakan Tiongkok (China University of Petroleum) meneliti efektivitas EBT di 130 negara dari tahun 1992–2019. Dalam penelitian itu, mereka menganalisis bagaimana penggunaan EBT dapat mengurangi tekanan terhadap lingkungan berdasarkan pendapatan per kapita negara.
Adapun, kategori atau klasifikasi pendapatan negara berdasarkan Bank Dunia per 1 Juli 2023 adalah:
- Negara berpendapatan tinggi (jumlah per kapita di atas $13.845)
- Negara berpendapatan menengah atas (jumlah per kapita $4.466–13.845)
- Negara berpendapatan menengah rendah (jumlah per kapita $1.146–4.466)
- Negara berpendapatan rendah (jumlah per kapita di bawah $1.146).
Rongrong Li dan tim menemukan adanya hubungan antara pemanfaatan EBT di suatu negara–berpendapatan tinggi, menengah, atau rendah–berhubungan dengan emisi karbon dan jejak ekologis per kapita.
Dari hasil kajian mereka menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi EBT di negara-negara berpendapatan tinggi berdampak positif terhadap perlindungan lingkungan. Sedangkan untuk negara berpendapatan menengah, terdapat hubungan nonlinier antara konsumsi EBT dengan jejak ekologis dan emisi karbon per kapita negara tersebut.
Sebaliknya, untuk negara berpendapatan rendah, pemakaian EBT justru menghambat jejak ekologis.
Secara singkat, konsumsi EBT di sebuah negara berhubungan erat dengan aksi mitigasi perubahan iklim karena mampu mengurangi emisi karbon secara signifikan. Selain itu, EBT ikut membantu mengurangi ketergantungan negara terhadap sumber daya langka (hasil tambang) dan fosil (batu bara, minyak, dan gas alam).
Penelitian Profesor Shujie Yao dari Universitas Liaoning bersama kolega ikut menguatkan kajian Rongrong Li dan tim soal efektivitas penggunaan EBT di suatu negara. Analisis mereka menyebutkan, setiap peningkatan 10 persen penggunaan EBT untuk pembangkit listrik mampu mengurangi emisi karbon 1,6 persen.
Bagaimana di Indonesia? Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, transisi penggunaan EBT untuk pembangkit listrik menjadi upaya pemangkasan emisi karbon dan langkah dekarbonisasi.
Pihaknya menghitung, jika seluruh rumah dan bangunan di Indonesia menggunakan EBT, sebagai contoh Pembangkit Tenaga Listrik Surya (PLTS) Atap, energi listrik yang dihasilkan bisa mencapai 500–655 GW.
“Ke depan, PLTS dan juga EBT lainnya akan membantu sekali untuk mengurangi emisi karbon,” katanya dilansir VOI, Selasa, 14 November 2023.