Perdagangan Karbon, Babak Baru Transisi Energi Dalam Negeri
Novaeny Wulandari • Penulis
24 Januari 2024
2
• 3 Menit membaca

Indonesia mulai memberlakukan perdagangan karbon. Sebuah kegiatan jual beli kredit karbon yang diperuntukkan bagi perusahaan yang menghasilkan emisi karbon, dan yang produksinya mencapai atau melebihi ambang batas emisi karbon (cap) yang telah ditetapkan pemerintah.
Menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi), perdagangan karbon merupakan kontribusi nyata Indonesia dalam menanggulangi krisis iklim melalui potensi nature based solutions. Seperti konservasi pengelolaan atau pemulihan ekosistem.
Ada dua mekanisme dalam perdagangan karbon. Yaitu perdagangan karbon sukarela dan wajib. Perdagangan karbon wajib menerapkan mekanisme cap and trade yang menggunakan sebuah kebijakan untuk mengontrol jumlah emisi yang harus diturunkan dari beberapa sumbernya. Sedangkan perdagangan sukarela, mengacu pada penerbitan, penjualan, dan pembelian secara sukarela tanpa mewajibkan cap and trade.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan peraturan yang menjadi payung hukum perdagangan karbon. Yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon yang ditetapkan di Jakarta pada 2 Agustus 2023.
Beberapa peraturan penting yang termuat dalam beleid tersebut, antara lain:
- Perdagangan karbon akan menggunakan sertifikat unit karbon, yang bisa menunjukkan jumlah pengurangan polusi dalam ukuran ton karbon dioksida (CO2). Sehingga 1 kredit karbon sama dengan 1 ton karbon dioksida (CO2)
- Seluruh transaksi bursa karbon wajib tercatat di unit karbon melalui Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dan penyelenggara bursa karbon
- Unit karbon dari luar negeri harus diverifikasi oleh lembaga yang mendapatkan akreditasi dari penyelenggara sistem registrasi internasional. Selain itu, mereka harus memenuhi syarat untuk melakukan perdagangan bursa karbon di luar negeri
Selepas peluncuran peraturan perdagangan karbon, Bursa Efek Indonesia (BEI) memperdagangkan 459.953 ton unit karbon (CO2) senilai Rp29,2 miliar dari Pertamina New and Renewable Energy (PNRE)–selaku penjual. Sektor perbankan mendominasi pembelian unit pertama perdagangan karbon tersebut.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga mengatakan, peluang keikutsertaan perusahaan energi dalam negeri dalam perdagangan karbon terbuka lebar.
“Keseimbangan akan dibutuhkan (oleh perusahaan penyumbang emisi). (Perusahaan) yang akan membeli (unit karbon) tentu sektor-sektor yang menghasilkan emisi. Seperti tujuan perdagangan karbon, hasilnya akan diinvestasikan kembali ke proyek-proyek pengurangan emisi karbon,” ujarnya.
Melansir laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2019, realisasi penurunan emisi sektor energi di Indonesia mencapai 54,8 juta ton dari target 51 juta ton. Kemudian tahun 2022, penurunan emisi meningkat mencapai 91,5 juta ton dari target 91 juta ton.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar menjelaskan, berdasarkan data Kementerian ESDM dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), potensi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara yang ikut dalam perdagangan karbon mencapai 99 unit.
”Jumlah tersebut setara dengan 86 persen dari seluruh PLTU berbasis batubara yang beroperasi di Indonesia. Harapan kami, PLTU mulai bertransaksi melalui bursa karbon, tahun (2023) ini juga. Selain itu, juga akan diramaikan oleh sektor kehutanan, pertanian, limbah, migas, industri umum, dan yang akan menyusul, yakni sektor kelautan,” katanya sebagaimana dilaporkan Kompas.id.
Perdagangan karbon memberikan banyak dampak positif bagi lingkungan. Antara lain menjaga kenaikan temperatur Global, mengurangi emisi gas rumah kaca, terbukanya peluang ekonomi, pengembangan perdagangan karbon, dan mendorong efisiensi serta pengembangan energi baru terbarukan.
Perdagangan karbon bisa menjadi solusi transisi energi di Indonesia, khususnya soal investasi dan stimulasi industrinya. South Asia Utility Transition Manager Rocky Mountain Institute, Iliad Lubis mengatakan, perdagangan karbon dapat meningkatkan pendanaan atau investasi energi baru terbarukan (EBT). Pasalnya, kalangan bisnis yang bergerak di sektor EBT memerlukan pendanaan lunak untuk mengembangkan bisnisnya.
Untuk diketahui, International Renewable Energy Agency (IRENA) melaporkan, untuk mendorong percepatan transisi energi sebagaimana Perjanjian Paris, Indonesia membutuhkan investasi jangka pendek sebesar US$314,5 miliar atau sekitar Rp4,7 kuadriliun (kurs Rp15.000/US$) selama periode 2018–2030.
“Meskipun saat ini ada berbagai persyaratan untuk monetisasi kredit karbon, ke depannya peluang untuk memanfaatkan pembiayaan karbon akan menjadi makin menarik, dengan pasar karbon yang diprediksi akan tumbuh signifikan,” ujar Illiad seperti dikutip Katadata.co.id, Rabu 3 Oktober 2023.