Melirik Potensi Energi Terbarukan di Tengah Senja Kala Industri Batu Bara

Cintya Faliana Penulis

18 Juli 2025

total-read

15

7 Menit membaca

Melirik Potensi Energi Terbarukan di Tengah Senja Kala Industri Batu Bara

Beberapa dekade terakhir, industri batu bara menjadi salah satu penopang pendapatan negara. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batu bara (minerba) telah mencapai 54% hingga Juni 2025 atau Rp68,3 triliun dari target yang ditetapkan tahun ini sebesar Rp126,48 triliun.

 

Secara keseluruhan, industri batu bara menopang produk domestik bruto (PDB) hingga 3,6% dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah yang tak sedikit ini didapatkan dari produksi batu bara yang sangat besar. Pada 2024 saja, produksi mencapai rekor tertinggi sebesar 836 juta ton atau lebih banyak 18% dari target pemerintah.

 

Besarnya pemasukan negara setali tiga uang dengan keuntungan yang diperoleh pelaku industri batu bara. Selama 2019 - 2023, industri pertambangan batu bara dan turunannya mencetak laba bersih sebesar US$31,4 miliar. Angka tersebut menjadikan sektor batu bara sebagai pencetak laba bersih terbesar kedua di Indonesia setelah perbankan. 

 

Tahun ini ekspor batu bara Indonesia diperkirakan akan memasok 30-35% dari konsumsi global. Meski demikian, benarkah produksi batu bara bisa memberikan pemasukan bagi negara dan menguntungkan perusahaan dalam jangka panjang? Bagaimana risiko keuangan negara dan berbagai kebijakan transisi energi memengaruhi industri batu bara?

 

Tantangan & senja kala industri batu bara

Energy Shift Institute (ESI) melakukan penelitian yang mencakup tantangan industri batu bara. Tantangan ini berpotensi menjadi senja kala perusahaan batu bara jika tidak melakukan diversifikasi seiring dengan komitmen transisi energi dari tren global. 

 

Tantangan pertama adalah tingkat ketergantungan atau konsentrasi yang tinggi. Ketergantungan ini terlihat dari operasi bisnis perusahaan yang hanya mengandalkan produksi batu bara tanpa diversifikasi.

 

Dari 12 perusahaan yang diamati, tujuh di antaranya bergantung pada produksi batu bara di kisaran 97-100%. Dua perusahaan yang melakukan diversifikasi ke sektor lain, yaitu Indika Energy dan Harum Energy juga masih dalam jumlah yang kecil sekitar 12% dari keseluruhan bisnisnya.

 

Ketergantungan ini juga ditampilkan dari sebagian besar produksi berasal dari satu tambang utama. Banyak perusahaan bergantung pada satu tambang utama untuk 89-90% dari total produksi mereka.

 

Kurangnya diversifikasi komoditas dari perusahaan batu bara berpotensi membatasi akses ke pasar modal. Seiring dengan semakin ketatnya syarat pendanaan dari investor untuk bisnis yang tergantung pada batu bara, jika menunggu semakin lama, perusahaan akan makin kesulitan melakukan diversifikasi. 

 

Tantangan berikutnya adalah ketergantungan Indonesia pada pasar ekspor. Pada 2023, penjualan batu bara Indonesia  ke Cina dan India menyerap sekitar 63% dari total ekspor.

 

Sebaran negara tujuan ekspor batu bara Indonesia selama 2013 - 2023 (Sumber: ESI)

 

Bahkan, sepanjang 2023, Indonesia menjadi pemasok utama kebutuhan batu bara Cina sebesar sebesar 205 juta ton atau sekitar 55% dari total impor Negeri Panda. Bagi Cina, impor ini menjadi rekor setelah 2021 dengan jumlah hanya 193 juta ton. Laporan CoalHub 2024 juga menunjukkan tren serupa, impor dari Indonesia sepanjang Januari-Oktober saja sudah mencapai 185 juta ton. 

 

Selain Cina, Indonesia juga mengirim sebagian besar batu bara ke India. Mencapai 56% dari total impor India, jumlah batu bara yang dikirimkan 103 juta ton sepanjang 2024. Kedua negara ini menjadi penyumbang 92% dari kapasitas PLTU batu bara baru yang diusulkan secara global pada 2024.

 

Sayangnya, pasar batu bara Asia diperkirakan tetap lesu sepanjang tahun ini karena kelebihan pasokan di Cina. Selain itu, peningkatan produksi domestik di India juga ikut memengaruhi permintaan batu bara dari Indonesia. Sejumlah kawasan di Asia Selatan dan Asia Timur juga tengah berupaya mengurangi penggunaan batu bara untuk PLTU yang berakibat menurunkan harga ekspor.

 

Tantangan ketiga adalah harga batu bara yang tidak stabil atau volatile. Sepanjang 2021-2022, harga batu bara melonjak hingga US$275 per ton atau tertinggi sepanjang sejarah. Kenaikan ini membuat keuntungan perusahaan naik pesat hingga rata-rata 34% pada tahun tersebut.

 

Dua tahun kemudian, harga batu bara turun dan membuat keuntungan ikut terpangkas hingga 18%. Meski keuntungan yang didapat tetap lebih tinggi dibanding sebelum pandemi, kondisi ini sangat rentan berubah karena harga batu bara yang mudah naik-turun. Sebagai contoh, Harga Batubara Acuan (HBA) pada Mei 2025 hanya menjadi US$110 per ton atau turun 60% dari puncak di 2022.

 

Alasan pemerintah memperpanjang umur industri batu bara

Analisis dari ESI memaparkan, terlepas dari banyaknya tantangan terhadap industri batu bara, pemerintah terus mempertahankan industri batu bara karena beberapa faktor. 

 

Pertama, batu bara menyumpang 3,6% terhadap PDB nasional dan pertambangan secara umum menyumbang 10,5% PDB pada 2023. Industri batu bara juga memberikan kontribusi fiskal lewat pendapatan melalui royalti. Dibandingkan komoditas pertambangan lain, batu bara menopang pendapatan nasional dan daerah. 

 

Pada 2023, royalti batu bara meningkat akibat kenaikan tarif, dari 7% menjadi 13,5%. Akibatnya, pendapatan negara dari sektor pertambangan batu bara dan mineral lainnya meningkat 16,6% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sektor ini menyumbang 50,9% dari total pendapatan nasional yang berasal dari sumber daya alam. Alhasil, alokasi Dana Bagi Hasil (DBH)  dari pemerintah pusat ke daerah meningkat secara signifikan, mencapai Rp99,4 triliun pada 2023 atau naik dari Rp68,7 triliun pada 2022. 

Kedua, total pekerja formal di industri batu bara mencapai 250-400 ribu orang. Pada 2023, Kementerian ESDM menyebutkan penyerapan tenaga kerja di industri ini hingga 300 ribu orang

Secara nasional, angka ini hanya kurang dari 0,2% dari total angkatan kerja. Namun, di daerah penghasil batu bara, signifikansinya jauh lebih besar. Di Kalimantan Timur, misalnya, industri ini menyumbang 11% dari total lapangan kerja pada 2020. Sementara di Sumatera Selatan dan Kalimantan Utara masing-masing berkontribusi 3% dan 4%.

Ketiga, sektor pertambangan batu bara dan jasa yang terkait mencatat laba bersih sebesar US$31,4 miliar sepanjang 2019-2023. Sektor ini menempati peringkat kedua setelah perbankan dengan laba US$51,2 miliar.

Sayangnya, laba tersebut hanya disumbang dari 28 perusahaan. Artinya, industri ini sangat terkonsentrasi pada korporasi besar. Jika dibandingkan dengan sektor konsumer dan material, setidaknya gabungan 250 perusahaan menyumbangkan laba bersih US$28,4 miliar. Padahal, jumlah perusahaannya sembilan kali lebih banyak dari sektor batu bara.

Terakhir, kebutuhan dalam negeri lantaran sektor ketenagalistrikan masih sangat bergantung pada PLTU batu bara. Kementerian ESDM mencatat konsumsi batu bara dalam negeri juga terus meningkat. Pada 2015, kebutuhan batu bara untuk sektor kelistrikan hanya 82 juta ton, dan telah meningkat menjadi menjadi 232 juta ton pada 2024.

Kerugian yang tak dihitung

Keuntungan secara ekonomi yang diberikan oleh industri batu bara tidak sebanding dengan dampak negatif yang dihasilkan. Mulai dari dampak terhadap lingkungan, kesehatan, hingga sosial-ekonomi masyarakat sekitar pertambangan. 

 

Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pertambangan menyebabkan 32 letusan konflik agraria di 127.525 hektar lahan dengan 48.622 keluarga dari 57 desa terdampak tambang pada 2023.

 

Belum lagi keuntungan dari sektor batu bara bukan berarti negara benar-benar diuntungkan. Meski menerima PNBP batu bara, negara harus mengeluarkan anggaran lebih besar untuk subsidi listrik dan kompensasi tarif listrik yang tak naik saat harga batu bara melonjak. Harga batu bara dan tarif listrik saling berhubungan karena lebih dari 70% listrik Indonesia dihasilkan dari PLTU.

 

Kerugian-kerugian ini seharusnya bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk melepas ketergantungannya terhadap industri batu bara dan beralih ke sektor lain yang lebih berkelanjutan, misalnya pengembangan energi terbarukan.

 

Berdasarkan studi CELIOS, pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat bisa menciptakan keuntungan ekonomi hingga 10 ribu triliun dalam 25 tahun. Selain itu, pendekatan ini juga bisa memberikan pekerjaan bagi 96 juta warga. Pendekatan ini juga sejalan dengan rencana Presiden Prabowo yang ingin membangun perekonomian dari desa.

 

Tak hanya negara, perusahaan perlu mengambil langkah untuk mulai melakukan diversifikasi kepada energi terbarukan. Diversifikasi ini menjadi penting mengingat target pemerintah untuk membangun lebih banyak pembangkit listrik energi terbarukan. Pada saat yang sama, sejumlah rencana untuk pensiun dini PLTU juga tengah direncanakan.  

 

Belum lagi, cadangan batu bara yang hanya tersisa 40-50 tahun lagi merupakan pertanda bagi perusahaan untuk melakukan diversifikasi ke energi terbarukan. 

 

Ketika tren global tengah beralih ke energi bersih, baik negara maupun perusahaan seharusnya lebih giat bergerak mencari sumber pendapatan lain yang lebih berkelanjutan secara ekonomi maupun lingkungan. 

Populer

Terbaru