Narasi Hijau Sekadar Polesan, Nikel Bisa Kehilangan Masa Depan

Sita Mellia Penulis

23 Juli 2025

total-read

12

6 Menit membaca

Narasi Hijau Sekadar Polesan, Nikel Bisa Kehilangan Masa Depan

Kredit foto: Presidenri.go.id

 

Presiden Prabowo Subianto meresmikan proyek hilirisasi baterai kendaraan listrik (EV) terintegrasi akhir Juni 2025 lalu. Proyek ini diklaim membawa  janji kesejahteraan dan keberlanjutan, dibungkus dengan nama ‘green package’. Namun, proyek ini meninggalkan masalah jejak lingkungan dan sosial serius, yang bisa mencederai keadilan iklim dan menurunkan reputasi global Indonesia. 

 

Salah satu pemain utama proyek adalah PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM), yang akan memasok nikel dari tambangnya Halmahera Timur, Maluku Utara. Padahal, ANTAM diduga bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan seperti pencemaran logam berat dan kerusakan ekosistem mangrove di sekitar tambangnya.

 

Selain pencemaran, ANTAM adalah satu dari empat perusahaan yang paling bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca sebanyak 15,3 juta ton setara CO2 ekuivalen (MTCO2e) pada 2023. Emisi muncul lantaran ketergantungan Antam pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di smelter nikel. ANTAM pun belum berkomitmen menggunakan energi terbarukan di smelter nikel mereka.

 

Penambangan dan pengolahan nikel juga melahirkan kemiskinan baru akibat beban kesehatan yang ditanggung warga sekitar akibat PLTU. Studi dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Center for Economic and Law Studies (CELIOS) memproyeksikan, apabila praktik ini berlanjut, smelter nikel dapat menyebabkan 5000 kematian dan beban ekonomi sebesar US$ 3,42 miliar akibat polusi udara pada 2030 mendatang. 

 

Masalah-masalah di atas terus terjadi karena perusahaan tambang belum betul-betul menerapkan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) secara substantif. Meski ANTAM telah memiliki “standar hijau”, pencemaran lingkungan terus terjadi. Sementara warga sulit mengawasi karena minimnya transparansi perusahaan. 

 

Jika pengusaha tambang nikel dan pabrik baterai masih menganggap ESG sebagai stempel semata, nikel Indonesia sulit memiliki masa depan. Alih-alih menciptakan manfaat komprehensif, proyek hilirisasi raksasa berpotensi hanya akan menambah ketimpangan.

 

Mencederai iklim = keuntungan minim

 

ESG bukan sekadar tuntutan moral, melainkan kunci bisnis bertahan di pasar global.

 

Mantan ‘bos besar’ tambang batu bara asal Australia, Ken MacKenzie, misalnya, mengakui bahwa tuntutan untuk menerapkan prinsip ESG justru datang dari investor, bukan hanya dari aktivis lingkungan. Ia mengamati,  investor (terutama pemegang saham) sekarang butuh lebih banyak transparansi kinerja ESG perusahaan.

 

Perusahaan investasi terbesar asal Amerika Serikat, BlackRock, juga telah lama berpindah haluan ke investasi terkait pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Keputusan besar yang diambil BlackRock beralasan, sebab mereka percaya bahwa ‘risiko iklim sama dengan risiko investasi’. Artinya, BlackRock hanya mau berinvestasi pada pembangunan yang menjamin kesejahteraan dan masa depan warga sekitar. 

 

88% investor global ingin berinvestasi pada pembangunan yang berkelanjutan atau ramah lingkungan. Bagian berwarna biru adalah sangat tertarik, sementara bagian berwarna hijau adalah sedikit tertarik. (Sumber: Survei Morgan Stanley, 2025)

Tidak hanya AS, laporan Morgan Stanley 2025 menunjukkan, 86% investor global menganggap ESG sebagai bagian penting dari keputusan investasi mereka pada tahun tersebut—naik signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Investor semakin ketat menyaring proyek dengan risiko iklim, sosial, dan tata kelola yang buruk. Sebanyak 24% dari mereka beralasan bahwa investasi pada perusahaan yang memiliki ESG baik lebih menguntungkan ketimbang perusahaan konvensional. Tren ini didominasi oleh pasar AS dan Eropa. Bagi mereka, ESG sudah menjadi standar minimum, bukan lagi bonus.

Tidak kalah penting, tuntutan ini juga datang dari konsumen global—terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa—yang semakin ketat menyaring produk ramah lingkungan. Di sektor baterai, misalnya, Uni Eropa tengah menyiapkan regulasi Battery Passport 2027, yang mewajibkan transparansi jejak karbon dalam rantai pasok kendaraan listrik. Amerika Serikat yang menjadi target utama pasar proyek hilirisasi ini juga telah memberlakukan CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism)—sebuah pengenaan pajak untuk produk impor yang intensif karbon.

Oleh karena itu, Indonesia bisa kehilangan pasar global jika masih terus menyisakan masalah lingkungan dan sosial dalam proyek hilirisasi baterai raksasa ini.

Darurat reputasi

Kaburnya lima investor dari proyek strategis di Indonesia juga menjadi ‘alarm’ bahwa pemerintah harus mulai membenahi reputasi.

 

Salah satunya investor LG Energy Solution, yang membatalkan investasi senilai US$ 7,7 miliar dari proyek hilirisasi baterai kendaraan listrik. Hengkangnya LG disebabkan oleh dua alasan, yakni ketidakpastian tata kelola dan reputasi keberlanjutan rantai pasok nikel Indonesia. 

 

LG diketahui memasok nikel untuk merek kendaraan listrik General Motors (GM). Keputusan LG untuk membatalkan investasinya masuk akal, sebab lewat Conflict Minerals Report 2023 (laporan yang diwajibkan pemerintah AS), GM telah berkomitmen bahwa rantai pasok baterai kendaraan listriknya bebas dari pelanggaran HAM, risiko sosial, dan risiko lingkungan—hal yang bertentangan dengan realitas praktik hilirisasi di Indonesia.

 

Namun alih-alih memperbaiki reputasi, pemerintah justru mengundang lebih banyak risiko. Sebagai pengganti LG Energy Solution, pemerintah menggandeng Huayou, perusahaan baterai kendaraan listrik asal Cina, yang memiliki rekam jejak buruk berulang. Menurut Laporan Amnesty International, pada 2016, pemasok perusahaan Zhejiang Huayou Cobalt—penambangan kobalt di Republik Demokratik Kongo—melanggar hak asasi manusia dan melibatkan pekerja anak-anak di bawah umur. 

 

Di Indonesia, rekam jejak Huayou selama ini terus menunjukkan hal senada: marak deforestasi, konflik sosial, dan mengabaikan hak warga lokal. Dalam laporan AEER 2024, Huayou mendapatkan peringkat ESG ‘abu-abu’, artinya perusahaan ini nyaris tidak menyediakan informasi publik terkait kinerja lingkungannya. Dengan reputasi demikian, menggandeng Huayou justru memperbesar risiko greenwashing dan memperburuk reputasi rantai pasok nikel Indonesia di mata global.

 

Mayoritas smelter baik di Morowali maupun di Weda Bay selama ini memang masih didominasi oleh perusahaan Cina. Sementara Laporan Rice University (2024) yang meneliti geopolitik rantai pasok baterai antara Cina dan Indonesia menyebut, tata kelola mineral untuk transisi energi masih bersifat top-down—terpusat pada negara dan korporasi. Alhasil, masyarakat lokal akan semakin terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan.

 

Benahi dari bawah

 

Jika implementasi ESG belum demokratis—belum melibatkan masyarakat lokal—nikel Indonesia akan semakin kehilangan kepercayaan pasar global. Studi tahun 2022 di Taiwan membuktikan, ESG yang tidak melibatkan komunitas lokal rawan menciptakan konflik dan menurunkan reputasi serta legitimasi proyek jangka panjang. 

 

Demokratisasi dimulai dengan menghormati prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang didefinisikan oleh masyarakat adat atau warga sekitar pertambangan. Apalagi, rantai pasok hulu dari proyek hilirisasi baterai mendatang akan berada di Halmahera Timur, yang hutannya didiami oleh sekitar 500 warga adat nomaden O’Hongana Manyawa—yang paling terdampak penambangan nikel sejauh ini.

 

Akhirnya, hilirisasi nikel bukanlah transisi energi berkeadilan jika praktik ESG yang ada hanya menjadi formalitas. Alih-alih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi, proyek hilirisasi nikel tanpa ESG yang substantif ini hanya menyisakan utang sosial, ekologis, dan fiskal bagi generasi di masa depan.

Populer

Terbaru