Melepas Greenwashing dari Kebijakan Industri Hijau Indonesia
Cintya Faliana • Penulis
22 Juli 2025
29
• 6 Menit membaca

Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah sedang gencar mempromosikan kebijakannya mendukung industri hijau yang diklaim lebih ramah lingkungan. Salah satu contohnya adalah Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Kalimantan Utara dan dikelola oleh Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) sejak 2021 silam.
Proyek ini diklaim menerapkan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya dalam proses operasionalnya. Selain itu, KIHI diproyeksikan akan memasok listrik dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) besar untuk menghasilkan ‘produk-produk hijau’. Faktanya, sumber energi dari KIHI masih datang dari PLTU captive yang berisiko menyebabkan puluhan ribu kasus kematian dan pencemaran lingkungan.
Sementara, untuk pemenuhan air bersih dan air baku, kawasan industri ini diperkirakan akan menghabiskan 39.450.560 kubik tiap tahunnya. Jumlah tersebut setara dengan 1,5 tahun pemakaian bagi sekitar 700 ribu penduduk Kalimantan Utara. PLTA Kayan—saat ini masih dalam tahap pembangunan—yang memasok listrik kawasan industri tersebut juga berisiko membabat hutan dan masyarakat adat di sekitarnya.
Realita ini menggelitik pertanyaan mengenai kerangka industrialisasi hijau yang digunakan oleh pemerintah. Bagaimana seharusnya Indonesia menerapkan industrialisasi hijau yang ideal untuk menghapus pencitraan ramah lingkungan palsu (greenwashing) di dalamnya?
Jostein Hauge dan Jason Hickel (2025) menggagas kerangka kebijakan industrialisasi hijau progresif dengan tiga pilar utama. Mulai dari mengurangi bentuk produksi ekstraktif dan tidak berkelanjutan, kemudian memastikan produksi berorientasi pada kepentingan publik. Selain itu, industri hijau juga harus mengupayakan keadilan ekologis global.
Memperkecil skala industri ekstraktif
Upaya mengurangi skala produksi ekstraktif dan tidak berkelanjutan bisa dilakukan di berbagai sektor industri yang tidak esensial bagi kesejahteraan manusia. Misalnya, industri penerbangan yang sangat sulit untuk didekarbonisasi dan secara tidak proporsional melayani kalangan kelas atas yang lebih kaya.
Contoh lainnya adalah industri daging sapi yang berkaitan erat dengan degradasi tanah serta deforestasi secara global. Negara-negara maju perlu mengurangi skala industri ini dan mengurangi konsumsi daging yang berlebihan.
Sementara bagi Indonesia, kita bisa menekan skala produksi pertambangan. Suplai komoditas seperti nikel dan baja sudah terlalu banyak dibandingkan kebutuhannya. Penggunaan jenis batu bara tertentu pun sudah marak ditinggalkan.
Sebagai produsen lebih dari 60% pasokan nikel dunia, industri ini berkontribusi terhadap besarnya emisi yang dihasilkan tiap tahun. Pada 2024, penelitian terhadap empat perusahaan produsen nikel menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) 15 juta ton per tahun. Jika intensitasnya tidak berubah hingga 2028, maka total emisi yang dihasilkan adalah 38,5 juta ton atau 4,5% dari total emisi GRK dalam negeri.
Sementara industri batu bara melepaskan emisi metana mencapai 2,4 juta ton (CH₄) pada 2024. Emisi metana ini setara dengan 198 juta ton karbon dioksida.
Beberapa negara sudah melakukan upaya pengecilan skala produksi yang merusak lingkungan. Sebagai contoh, Inggris berhenti menggunakan batu bara dan menutup PLTU. Jerman mulai mengembangkan baja ramah lingkungan dan Prancis melarang produksi bahan kimia berbahaya.
Berorientasi pada kepentingan publik
Pilar kedua adalah memastikan produksi yang berorientasi pada manfaat publik alih-alih keuntungan korporasi. Sistem ekonomi saat ini memudahkan kelompok pemilik modal untuk menguasai sebagian aset keuangan.
Pemilik modal yang terdiri dari bank-bank besar, perusahaan raksasa, dan 1% orang-orang terkaya dunia menentukan arah kegiatan produksi. Sayangnya, bagi mereka, tujuan produksi bukan untuk kepentingan sosial atau lingkungan, melainkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Akibatnya, banyak barang yang merusak lingkungan atau tidak terlalu dibutuhkan, seperti bahan bakar fosil dan kapal pesiar mewah, justru diproduksi berlebihan karena menguntungkan. Sebaliknya, barang-barang yang penting bagi masyarakat seperti energi terbarukan, transportasi umum, perumahan murah, dan layanan kesehatan sering kali diproduksi terlalu sedikit karena kurang menguntungkan.
Maka tak heran jika selama ini sektor swasta jarang berinvestasi dalam kegiatan ramah lingkungan. Bank-bank BUMN dalam negeri pun masih terus mendanai batu bara ketika investasi sektor perbankan ke energi terbarukan justru sangat kecil.
Penyebabnya adalah anggapan bahwa investasi ke energi terbarukan masih tinggi risiko karena ketiadaan dukungan dari pemerintah. Mulai dari kurangnya insentif fiskal hingga ketidakpastian kebijakan.
Kebijakan pemerintah seharusnya berperan membatasi monopoli swasta dan memastikan kebutuhan publik terpenuhi. Nyatanya, pemerintah justru bersikap sebaliknya lewat kebijakan subsidi kendaraan listrik milik pribadi.
Pemerintah menggelontorkan subsidi Rp7 triliun untuk kendaraan listrik, baik mobil maupun sepeda motor. Secara rinci, pemerintah memberikan subsidi Rp7 juta untuk sepeda motor listrik dan Rp25-80 juta untuk mobil listrik.
Subsidi ini pada akhirnya justru dinikmati kelompok menengah ke atas dan perusahaan otomotif. Padahal, dengan biaya yang sama pemerintah bisa mengalihkannya untuk membangun ekosistem transportasi publik yang aksesibel dan inklusif.
Sebagai perbandingan, sejumlah kota-kota besar telah menerapkan kebijakan yang mendorong penggunaan transportasi publik dan menekan kendaraan pribadi. Di Oslo, pemerintah menutup sebagian besar pusat kota dari akses mobil. London, Inggris juga menerapkan zona emisi sangat rendah dan Milan, Italia telah memperluas jaringan sepeda secara besar-besaran.
Keadilan ekologis global
Pilar ketiga adalah mendorong kebijakan yang berbasis pada keadilan ekologis global. Secara sederhana, negara-negara maju berpenghasilan tinggi harus bertanggung jawab untuk emisi yang dikeluarkan sepanjang sejarah.
Negara-negara Dunia Utara (Global North) adalah salah satu pihak utama yang menyebabkan kerusakan ekologi global. Mereka bertanggung jawab atas 74% penggunaan sumber daya di dunia dan menghasilkan 90% emisi karbon berlebih.
Artikel berjudul Compensation for Atmospheric Appropriation juga menghitung akibat ketimpangan produksi karbon selama ini, Global North berutang kompensasi sebesar US$192 triliun terhadap negara-negara di belahan bumi selatan atau US$940 per kapita tiap tahun hingga 2050.
Sebaliknya, negara-negara berpenghasilan rendah hanya menyumbang kurang dari 1% dari total emisi global. Padahal, negara-negara ini mencakup lebih dari separuh populasi dunia. Artinya, lebih dari 50% penduduk bumi hanya menyebabkan kurang dari 1% kerusakan ekologi global.
Untuk meredam ketimpangan, negara maju menginisiasi kemitraan untuk transisi energi melalui Just Energy Transition Partnership (JETP), termasuk dengan Indonesia. Rencananya, dana yang akan masuk ke Indonesia sebesar US$21.6 miliar.
Namun, lebih dari 90% dana tersebut bersifat pinjaman konsesional dan non-konsesional. Artinya kerja sama ini bukan menjadi wadah ‘pertanggungjawaban’ Global North, melainkan upaya mencari keuntungan dari negara-negara Dunia Selatan.
Tidak berhenti di situ, pembiayaan dari lembaga internasional justru digunakan untuk proyek-proyek greenwashing. Pemerintah Norwegia yang menyuntik US$56 juta atau 800 miliar ke Medco Group justru digunakan untuk membangun pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm). Pembangkit berbahan bakar kayu ini mengambil sumber daya dari hutan tanaman industri (HTI) Papua.
Akibatnya, perkebunan seluas 2.500 hektare milik masyarakat adat terancam mengalami peralihan fungsi. Perubahan tersebut membuat masyarakat kehilangan sumber pangan hingga menyebabkan sejumlah anak-anak mengalami stunting.
Refleksi dan evaluasi kebijakan
Kebijakan industri merupakan fondasi untuk menentukan instrumen lain seperti regulasi harga, kebijakan nilai tukar, pendirian BUMN, investasi infrastruktur, dan lainnya.
Untuk itu, penting bagi pemerintah merefleksikan kembali pembangunan industri yang diimplementasikan saat ini berdasarkan tiga pilar di atas. Dengan banyaknya persoalan saat ini dan potensi risikonya, benarkah industrialisasi hijau yang dibanggakan pemerintah sudah benar-benar berkelanjutan dan berorientasi pada kepentingan publik?