Royalti Minerba untuk Transisi Energi: Menagih Keadilan Iklim
Sita Mellia • Penulis
29 Mei 2025
29
• 6 Menit membaca

Pemerintah baru saja menaikkan tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2025 dan PP Nomor 19 Tahun 2025. Namun, sejauh mana pengenaan dan pemanfaatan tarif tersebut didasarkan pada prinsip keadilan iklim?
Selama ini, manfaat pengenaan royalti dan pungutan minerba belum dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat di sekitar pertambangan.
Sebaliknya, sektor pertambangan justru berimbas menaikkan emisi gas rumah kaca dan kerusakan lingkungan. Ini berujung pada berkurangnya kualitas hidup warga dan memperparah ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat.
Potensi uang yang terkumpul dari royalti minerba baru ini sebenarnya tidak sedikit. Untuk batu bara saja, nilainya sekitar US$5,63 miliar (Rp84,55 triliun) hingga US$23,58 miliar (Rp353,7 triliun) per tahun.
Untuk mencapai keadilan iklim, potensi penerimaan yang besar ini seharusnya dijadikan peluang untuk menggenjot transisi energi, bukan hanya sekadar penambal kas negara.
Pencemar membayar
Menyisihkan royalti minerba untuk mendanai sektor hijau dapat dilakukan untuk membayar pelan-pelan kerugian yang dialami warga terdampak. Ini sejalan dengan Polluter Pays Principle atau ‘Prinsip Pencemar Membayar’, bahwa pelaku pencemar harus menanggung biaya pemulihan akibat pencemaran yang ditimbulkan. Pasalnya, baik pelaku tambang nikel maupun pemilik smelter yang mengolahnya sama-sama bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang berujung merugikan masyarakat.
Nelayan dan petani di sekitar smelter nikel, misalnya, menjadi kelompok rentan paling terdampak. Mereka mengalami kehilangan pendapatan sebesar Rp3,64 triliun hingga 15 tahun ke depan. Angka ini berasal dari pencemaran air laut dan tanah—tempat mata pencaharian mereka—akibat aktivitas penambangan, menurut studi CELIOS dan CREA pada 2024.
Pencemaran ini juga dapat mengurangi kontribusi sektor nikel terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di tiga provinsi penghasil: Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara pada tahun kesembilan. Selain karena pencemaran, pengurangan kontribusi sektor nikel terjadi karena erosi tanah, kehilangan biodiversitas, hingga degradasi kualitas udara.
Studi yang sama juga mencatat, di masa depan emisi smelter nikel berpotensi menyebabkan 3.800 kematian pada 2025 dan 5 ribu jiwa pada 2030. Mahalnya biaya kesehatan yang harus ditanggung warga mengakibatkan kerugian ekonomi tahunan di tiga provinsi tersebut dapat menyentuh US$3,42 miliar pada 2030.
Jumadi, warga Desa Kamasi, di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, salah satunya, harus menderita diare, batuk bernanah dan berdarah sejak penambangan Harita Group di tahun 2010 mencemari mata air Kawasi. Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, Jumadi dan 4 ribu warga sekitar Kamasi mengonsumsi air yang terkontaminasi zat kromium-6 (kromium heksavalen). Senyawa ini bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan kanker.
Penyebabnya ialah klaim Harita Group yang menyebut bahwa air masih aman dikonsumsi, meski mereka telah mengetahui pencemaran ini sejak lama. Padahal, investigasi The Guardian pada 2022 mengungkapkan, air di dekat Desa Kawasi telah terkontaminasi kromium-6 dengan level mencapai 60 parts per million(ppm), melebihi batas aman 50 ppm. Jika dikonsumsi dalam waktu yang lama, senyawa ini berisiko mengakibatkan penyakit kanker perut—menyerang saluran pencernaan, mulai dari kerongkongan, usus besar, hati dan pankreas.
Perusahaan nikel juga bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca, lantaran ketergantungannya pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) pada 2024 telah menghitung, keempat perusahaan nikel terbesar seperti ANTAM, MBMA, TBP (Harita), dan Vale bertanggung jawab atas pelepasan emisi 15,3 juta ton setara CO2 ekuivalen (MTCO2e) pada 2023. Jumlah emisi ini bahkan diproyeksikan melonjak menjadi 38,5 MTCO2e pada 2028.
Emisi yang dikeluarkan dari empat perusahaan nikel terbesar di Indonesia: ANTAM, Merdeka Battery Material (MBMA), TBP (Harita), dan Vale. (Sumber: IEEFA, 2024)
Sayangnya, tanggung jawab atas pencemaran dan emisi ini belum dapat ditagih dari kebijakan tarif yang ada. PP No. 18 dan 19 Tahun 2025 masih mengenakan tarif berdasarkan Harga Mineral Acuan maupun Harga Batubara Acuan, belum berdasarkan emisi. Pengenaan tarif seharusnya dapat lebih tinggi, misalnya pada perusahaan yang tidak memiliki roadmap hijau atau tidak menggunakan energi terbarukan di smelternya—seperti MBMA, Harita, dan ANTAM. Selain menambah pundi-pundi kas negara, tarif yang progresif ini menjadi dorongan bagi perusahaan nikel untuk beralih ke energi terbarukan.
Belajar dari Norwegia
Perihal memanfaatkan keuntungan dari sektor ekstraktif, Norwegia telah lama menjadi pionir. Negara ini berhasil mengamankan perekonomian nasional sekaligus melakukan aksi iklim lewat sovereign wealth fund (SWF) atau dana kekayaan negaranya. Sejak 1996, Norwegia menyisihkan pendapatan dari penjualan minyak dan gas ke dalam Government Pension Fund Global (GPFG)—salah satu SWF terbesar di dunia.
Dana tersebut kemudian diputar kembali untuk diinvestasikan di berbagai sektor, termasuk ke energi terbarukan. Hingga tahun 2024, GPFG telah menggelontorkan lebih dari US$ 2,5 miliar pada proyek energi surya dan angin di negara-negara Eropa.
Pikiran panjang ala Norwegia sekali lagi membuktikan bahwa pendapatan dari sektor pertambangan dapat mendanai transisi energi—tanpa harus bergantung pada hilirisasi berbasis energi fosil.
Meski ketidakpastian ekonomi membuat mereka sempat merugi di sektor energi terbarukan sebesar -9,8% pada 2024, GPFG tidak menghentikan investasinya. Mereka justru memperluas investasi energi terbarukan pada 2025.
Konsistensi ini perlu ditiru, sebab investasi transisi energi bersifat jangka panjang, bukan keuntungan sesaat.
Dana Abadi Transisi Energi
Royalti minerba sudah selayaknya dijadikan instrumen keadilan iklim dalam jangka panjang, bukan hanya sekadar penerimaan negara. Indonesia dapat mengadopsi model Norwegia yang menyimpan pendapatan ekstraktif dalam jangka panjang kemudian dimanfaatkan untuk mendanai sektor hijau.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dapat membentuk dana abadi dengan mandat khusus untuk transisi energi dari pendapatan royalti minerba. Apalagi sudah ada preseden seperti Dana Abadi Pendidikan dan Dana Abadi Kebudayaan: menunjukkan bahwa skema ini bukan hal baru dalam tata kelola fiskal Indonesia.
Kini, para pengambil kebijakan hanya perlu membulatkan kemauan politik, sebab kita telah memiliki modal hukum yang kuat untuk membentuk dana abadi transisi energi. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara secara eksplisit telah membuka ruang pembentukan dana abadi untuk tujuan tertentu.
Warga pun telah lama menanti transisi energi yang agresif. Menurut survei nasional Indikator Politik Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah di tahun 2021, 82,3% dari 4.020 responden anak muda mendesak Indonesia untuk mengurangi penggunaan energi fosil dan beralih ke energi bersih. Mayoritas dari mereka juga ingin negara berinvestasi pada energi bersih ketimbang bahan bakar fosil.
Selain itu, dana abadi transisi energi dapat mendanai pembukaan green jobs atau pekerjaan hijau. Tujuannya untuk memulihkan perekonomian warga sekitar tambang secara berkelanjutan.
Presiden Prabowo Subianto dapat membawa wacana ini dalam Konferensi COP30—konferensi global terbesar untuk mendiskusikan perubahan iklim di Brasil pada November 2025. Selain untuk menggenjot aksi iklim Indonesia di mata dunia, langkah ini menjadi bukti konsistensi pernyataan Prabowo yang menyatakan akan menambahkan kapasitas energi terbarukan 75 gigawatt serta menghentikan PLTU dalam waktu 15 tahun ke depan.