Solusi Semu Energi Air dan Panas Bumi dalam RUKN

Robby Irfany Maqoma Penulis

12 Maret 2025

total-read

12

5 Menit membaca

Solusi Semu Energi Air dan Panas Bumi dalam RUKN

Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengembangkan energi bersih yang tidak sarat masalah. 

Dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060 yang diterbitkan pemerintah akhir tahun lalu, Indonesia menargetkan pengembangan bauran energi terbarukan hingga 49,5%. 

Proyeksi peningkatan energi terbarukan ini cukup signifikan. Apalagi jika target tersebut dibandingkan kapasitas energi terbarukan per 2023 sekitar 15% dari total bauran energi pembangkit listrik. 

 

Walau demikian, perlu kehati-hatian ekstra dalam menilai RUKN baru. Tak sedikit di antara energi baru terbarukan yang direncanakan sebenarnya merupakan solusi semu—berisiko menciptakan masalah di kemudian hari. 

Analisis ini menyoroti dua rencana pengembangan energi yang perlu ditinjau ulang: hidro dan panas bumi. Keduanya memiliki dampak sosial dan lingkungan yang tidak bisa dianggap remeh.

1. Energi hidro

Indonesia menargetkan energi air menjadi salah satu sumber terbarukan terbesar dengan jumlah kapasitas pada 2060 sebanyak 90,1 GW secara nasional. Mayoritas kapasitas PLTA akan berada di regional Kalimantan dan Maluku, Papua, serta Nusa Tenggara.

Besarnya target kapasitas energi hidro perlu dijalankan dengan amat hati-hati. Pasalnya, pengembangan PLTA berskala besar (berbasis waduk)—meski produksi listriknya tak menghasilkan emisi seperti PLTU—berpotensi menciptakan berbagai masalah lingkungan. 

PLTA berisiko merusak kualitas air akibat perbuatan membendung sungai untuk mengairi waduk. Berjuta-juta kubik air yang membanjiri waduk juga memakan lahan yang sangat besar. Tak jarang di antaranya merupakan hutan yang menjadi ruang hidup satwa liar, tumbuhan-tumbuhan endemik, serta masyarakat. Gangguan suplai air di sekitar daerah aliran sungai (DAS) juga berisiko memperburuk erosi di kawasan pesisir. 

Air yang menggenangi hutan, selain menyebabkan deforestasi, juga menambah emisi baru yang berasal dari proses penguraian material organik dari kayu dan dahan secara perlahan. Pelepasan emisi ini berjalan lambat—bisa lebih dari seabad—sehingga sering kali luput dari perhitungan.

Ekspansi PLTA di Papua juga berisiko menjadi ajang green grabbing baru, alias perampasan ruang hidup masyarakat atas nama pembangunan ramah lingkungan. Sungai-sungai besar yang potensial untuk dibendung di Tanah Papua seperti Baliem dan Memberamo juga menjadi urat nadi kehidupan masyarakat adat.

Sudah banyak kasus green grabbing di Indonesia akibat pembangunan PLTA. Tengoklah pembangunan PLTA Batang Toru di Sumatra Utara yang mengganggu mata pencaharian masyarakat sekitar dan menyebabkan bencana lanjutan seperti banjir bandang dan tanah longsor. Ada juga kasus pembangunan PLTA Jatigede di Jawa BaratPLTA Kayan di Kalimantan Utara, hingga PLTA Poso di Sulawesi Tengah.

2. Panas bumi

Sebagai negara yang berada di gugusan gunung berapi (ring of fire), pengembangan energi panas bumi sudah lama diandalkan pemerintah sebagai solusi iklim berbasis alam. Di sisi lain, penyedotan uap panas dari perut Bumi justru bak membuka kotak pandora.

Uap panas yang menyembur di beberapa lokasi turut mengeluarkan gas hidrogen sulfida (H2S) yang beracun bagi manusia. Pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sorik Marapi di Sumatra Utara, misalnya, menyebabkan 101 orang keracunan, bahkan—di kasus yang berbeda, lima korban jiwa. 

Proses ekstraksi uap panas juga berisiko memicu gempa akibat metode hydraulic fracturing yang acap digunakan untuk membuat rekahan dan memancing panas keluar dari zona geotermal. Proses ini juga melibatkan injeksi berkubik-kubik air yang bercampur bahan kimia berpotensi mencemari sumber air di sekitarnya.

Kajian CELIOS bersama Walhi juga mengukur pembangunan PLTP tidak membawa kesejahteraan bagi perekonomian masyarakat—khususnya di Wae Sano, Sakoria, dan Ulumbu di Nusa Tenggara Timur. Petani justru merugi karena pendapatan turun hingga Rp470 miliar pada tahap pembangunan. 

Kerugian dapat berlanjut karena penyedotan panas bumi yang berisiko mencemari sumber air dan tanah. Akibatnya, aktivitas pertanian, perikanan, dan perkebunan masyarakat setempat dapat terganggu. CELIOS mencatat kerugian ini dapat berdampak pada penurunan output perekonomian di  Wae Sano, Sakoria, dan Ulumbu hingga Rp1,09 triliun selama 15 tahun masa operasional PLTP.

Nah, RUKN merencanakan kapasitas PLTP hingga 2060 akan mencapai 22,7 GW—hampir sembilan kali lipat dibandingkan pada 2023 sebesar 2,6 GW. Penambahan terbesar akan berada di Sumatra dengan proyeksi kapasitas PLTP sebesar 9,5 GW, disusul dengan Jawa 8,4 GW, Sulawesi 3,0 GW, dan Maluku Papua Nusa Tenggara 1,7 GW. Ekspansi tersebut, apabila tidak ditinjau ulang, dapat menciptakan masalah baru di kemudian hari.

Perencanaan yang berkeadilan

Indonesia sekali lagi perlu merombak perencanaan kelistrikan yang berisiko menimbulkan masalah bagi lingkungan masyarakat. Pemerintah masih bisa mencari opsi-opsi pemenuhan energi dengan sumber yang beragam dan layak secara teknis, sosial, ekonomi, maupun lingkungan.

Studi lembaga think-tank Ember pun sudah menyatakan Indonesia bisa membangun lebih banyak panel surya dan turbin angin, dilengkapi dengan baterai hingga 16 GW untuk menjaga stabilitas pasokan listrik. Studi ini masih selaras dengan target energi terbarukan dan penambahan kapasitas listrik pemerintah pada 2040.

Indonesia sebenarnya masih bisa menggunakan energi hidro yang minim risiko lingkungan, seperti mini hidro (PLTMH) yang berasal dari terjunan air (run-off), sehingga mengurangi pembangunan waduk-waduk besar. Tentunya desain teknis pembangkit ini perlu dibuat sedemikian rupa agar tidak mengganggu bentang alam maupun jalur migrasi satwa perairan.

Peta potensi pengembangan PLTMH di Indonesia (Sumber: IESR).

Studi IESR pada 2021 telah mendata potensi PLTMH yang dapat dikembangkan secara tersebar di berbagai titik di Indonesia hingga 27,8 GW. Kajian ini pun telah mengecualikan kawasan-kawasan hutan lindung sehingga risiko lingkungannya bisa dikurangi.

Terakhir, perencanaan dalam RUKN tak melulu berfokus pada jumlah kapasitas dengan asumsi pembangunan pembangkit yang berskala besar. Tujuannya, selain untuk mengurangi kebutuhan lahan yang terpusat dan luas, paradigma pembangunan pembangkit yang terdesentralisasi juga dapat meredam potensi mangkrak dan kesulitan pembiayaan karena kebutuhan modal yang tak sedikit. 

Ini pun di luar masalah-masalah sosial yang bisa dihindari, sembari meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengembangan energi terbarukan.

#energi-air#energi-terbarukan#panas-bumi#solusi-palsu#transisi-energi

Populer

Terbaru