Dua Tahun Belum Sah, Regulasi PLTS Atap Bikin Pelaku Usaha Bingung

Novaeny Wulandari Penulis

23 Januari 2024

total-read

4

4 Menit membaca

Dua Tahun Belum Sah, Regulasi PLTS Atap Bikin Pelaku Usaha Bingung

Pembahasan revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 Tahun 2021 soal Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap membuat resah sebagian pelaku usaha. Sampai saat ini, pelaku industri panel surya masih belum memiliki kepastian aturan main dan payung hukum yang kuat.

Chief Commercial Officer SUN Energy, Dion Jefferson mengatakan, para pelaku industri panel surya menginginkan supaya pemerintah bisa segera menerbitkan permen terbaru yang mengatur hal tersebut.

“Segera finalisasi revisi Permen 26 tahun 2021 dan diimplementasikan saja. Supaya pelaku industri dan pelanggan mendapat kepastian aturan main PLTS di Indonesia,” katanya dikutip Bisnis.com, Senin, 27 November 2023.

Lebih dari itu, Dion menambahkan, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) harus segera mempercepat lelang proyek transisi energi seperti Hijaunesia 2023 dan program dedieselisasi–konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) ke pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT)–yang belum terealisasi pada tahun 2023.

Hijaunesia 2023 merupakan program yang dicanangkan pemerintah untuk mencapai target 23 persen bauran dari energi baru terbarukan pada tahun 2025. Menurutnya, mundurnya dua proyek itu menyebabkan peningkatan kapasitas PLTS di Indonesia menjadi jalan di tempat.

Ketua Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (Apamsi), Linus Andor Mulana Sijabat berpendapat bahwa PLN masih belum memiliki komitmen yang kuat untuk meningkatkan kapasitas terpasang panel surya. Linus menyatakan, kapasitas terpasang yang dilakukan oleh PLN tidak banyak bertambah sejak 2012. Apalagi, PLN belakangan harus menghadapi kelebihan pasokan atau oversupply dari pembakit listrik batubara dan gas dari program 35.000 Megawatt (MW).

“PLN williningness-nya kurang, alasannya banyak itu kan karena oversupply lah, segala macam,” ujarnya. 

Bagi Linus, meski Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan yang besar, akan sulit mencapai target 23 persen pada tahun 2025. Pasalnya, sampai tahun 2023, capaian target tersebut baru 12,3 persen. Artinya dalam dua tahun mendatang, Indonesia harus mengejar ketertinggalan sebesar 10,7 persen untuk bauran energi baru terbarukan. 

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Yudo Dwinanda Priaadi mengaku, PLTS atap menjadi salah satu program untuk mendorong target bauran tersebut. 

Ia mengeklaim, pemerintah telah mendorong perkembangan PLTS melalui berbagai regulasi untuk mencapai target tersebut. Salah satunya adalah menerbitkan regulasi tentang PLTS atap melalui Permen ESDM Nomor 26 tahun 2021. Sayang, sampai di pengujung tahun 2023, pemerintah masih belum mengesahkan permen tersebut.

Ia menjelaskan, belum disahkannya permen tersebut lantaran Kementerian ESDM masih melakukan penyempurnaan naskah dan harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM. 

Finalisasi Permen tersebut tampaknya masih membutuhkan waktu. Faktor lainnya adalah Kementerian ESDM belum selesai menghitung dampak penerimaan dan pengurangan kapasitas PLTS atap terhadap kebutuhan PLN.

PLN bisa menerima 100 persen kapasitas PLTS atap dari masyarakat. Akan tetapi, hal itu bisa membuat PLN mengalami kelebihan pasokan listrik. Meski demikian, pembahasan permen tersebut diharapkan bisa rampung lebih cepat karena para pemangku kepentingan (stakeholder) seperti pengusaha, yang sudah menyetujui Permen PLTS atap itu. 

Seperti diketahui, Kementerian ESDM memproyeksikan, target PLTS atap sebesar 3,6 GW akan dilakukan secara bertahap hingga tahun 2025.

Upaya itu diklaim akan berdampak positif pada beberapa hal. Antara lain:

  • Berpotensi menyerap 121.500 orang tenaga kerja di Indonesia
  • Berpotensi meningkatkan investasi sebesar Rp45–63,7 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp2,04–4,1 triliun untuk pengadaan meteran EXIM (kWh EXIM). Meteran tersebut merupakan meteran khusus yang dipasang oleh PLN kepada pelanggan PLN yang menggunakan PLTS dengan sistem On Grid atau tersambung dengan jaringan PLN. Meteran EXIM memungkinkan pelanggan dapat mengekspor kelebihan listrik yang dihasilkan oleh PLTS
  • Mendorong tumbuhnya industri pendukung PLTS di dalam negeri dan meningkatkan daya saing dengan semakin tingginya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)
  • Mendorong green product sektor jasa dan green industry untuk menghindari penerapan carbon border tax di tingkat Global
  • Menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 4,58 Juta Ton CO2e
  • Berpotensi mendapatkan penerimaan dari penjualan Nilai Ekonomi Karbon sebesar Rp0,06 Triliun/tahun (asumsi harga karbon 2 USD per ton CO2e).

Adapun, substansi pokok dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 sebagai berikut:

  • Ketentuan ekspor kWh listrik ditingkatkan dari 65–100 persen
  • Kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkan, diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan
  • Jangka waktu permohonan PLTS atap menjadi lebih singkat (5 hari tanpa penyesuaian Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dan 12 hari dengan adanya penyesuaian PJBL)
  • Mekanisme pelayanan berbasis aplikasi untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS atap
  • Dibukanya peluang perdagangan karbon dari PLTS atap
  • Tersedianya Pusat Pengaduan PLTS atap untuk menerima pengaduan dari pelanggan PLTS atap atau Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU)
  • Perluasan pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga termasuk pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN (Pemegang IUPTLU).