Mempertanyakan Peran Kemnaker dalam Persiapan Green Jobs
Cintya Faliana • Penulis
11 Februari 2025
0
• 6 Menit membaca

Transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan bisa menghasilkan green jobs atau pekerjaan hijau di sektor energi. Di Indonesia, studi dari Koaksi mengungkapkan pengembangan energi terbarukan berpotensi menciptakan lapangan kerja langsung bagi sekitar 432 ribu tenaga teknik pada 2030 dan 1,12 juta tenaga teknik pada 2050.
Sayangnya, tidak banyak pekerja yang memenuhi tuntutan keterampilan pekerjaan ini. Menurut survey LinkedIn, pertumbuhan orang-orang yang memiliki keterampilan “hijau” hanya 6% dari 800 juta penggunanya.
Angkatan kerja di Indonesia mengalami fenomena serupa. Pekerja hijau hanya berjumlah 3,7 juta orang atau 2,6% dari total tenaga kerja di Indonesia tahun 2023. Mayoritas atau 136 juta orang saat ini masih bekerja di sektor yang tidak masuk kategori pekerjaan hijau, terutama terkait dengan pengembangan bahan bakar fosil.

Lanskap angkatan kerja dan situasi ketenagakerjaan Indonesia (Sumber: Bappenas, Infografis: Irene Meriska Esterlita).
Adanya kesenjangan ini terjadi terutama karena kebijakan transisi energi belum terhubung dengan kebijakan pengembangan pasar tenaga kerja di Indonesia. Apalagi, pelaksanaan transisi energi Indonesia sampai saat ini masih jauh dari memadai, dengan sumbangan energi terbarukan masih sekitar 13,1% dalam bauran energi nasional.
Kesenjangan tersebut menunjukkan bahwa agenda transisi energi tak hanya bertumpu pada lembaga-lembaga teknis terkait seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tetapi juga Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Jika persoalan ini tidak diatasi, Indonesia akan sulit optimalkan manfaat dari berkembangnya energi terbarukan di masa depan. Sebaliknya, transisi energi bisa memicu persoalan baru karena risiko lapangan kerja yang hilang, terutama dari sektor bahan bakar fosil.
Tantangan Indonesia
Ketidaksiapan Indonesia terlihat pada tidak adanya peta jalan resmi maupun regulasi yang bisa menjadi acuan untuk pengembangan green jobs. Dampaknya, pihak-pihak yang bisa mendorong pertumbuhan pekerjaan ramah lingkungan tidak bisa merespon secara agresif sesuai kebutuhan yang ada.
Misalnya, industri kendaraan listrik yang memiliki kebutuhan teknis tidak akan termotivasi untuk meningkatkan keterampilan (upskilling) teknisi kendaraan konvensional yang mungkin akan kehilangan pekerjaan di masa depan. Di lain pihak, para teknisi tersebut akan sulit mendapatkan pekerjaan di pabrik kendaraan listrik tanpa bantuan pemerintah dan pelaku industri.
Langkah terkait pekerjaan hijau yang terbaru adalah perumusan peta jalan pembangunan sumber daya manusia oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sejauh ini, melalui draf yang disusun pada 2023, pemerintah menargetkan pertumbuhan lapangan kerja ramah lingkungan di berbagai sektor.

Proyeksi penciptaan green jobs di Indonesia (Sumber: Bappenas, Infografis: Irene Meriska Esterlita).
Adapun sasaran strategis pemerintah saat ini adalah meningkatkan pemahaman masyarakat terkait pekerjaan hijau serta membangun ekosistem yang dapat mendukung sektor ini. Selain itu, ada juga rencana meningkatkan SDM untuk pasar kerja green jobs hingga meningkatkan produktivitas industri untuk mendukung pasar kerja ramah lingkungan.
Kemnaker sebenarnya telah menyusun kertas kerja transisi berkeadilan bagi tenaga kerja di Indonesia. Sayangnya, dokumen yang disusun oleh Pusat Pengembangan Kebijakan Ketenagakerjaan Kemnaker ini belum diterjemahkan dalam berbagai peraturan dan kebijakan.
Ada empat strategi yang vital dalam kertas kerja tersebut, yaitu pelatihan ulang tenaga kerja, perlindungan sosial bagi pekerja terdampak, insentif bagi perusahaan hijau, serta pembangunan pusat-pusat pelatihan hijau.
Misalnya, dalam pelatihan ulang tenaga kerja, dokumen tersebut menekankan pentingnya pembangunan 20 pusat pelatihan kendaraan listrik selama 2025-2029. Tujuannya untuk menciptakan setidaknya 20 ribu tenaga terampil di bidangnya.
Dokumen tersebut juga menggarisbawahi pentingnya keahlian tertentu seperti instalasi turbin angin dan panel surya. Pulau Sumatra dan Kalimantan menjadi region strategis, mengingat dua provinsi ini merupakan penghasil batu bara terbesar di Indonesia yang berisiko tinggi terdampak transisi energi. Dari dua pulau tersebut, setidaknya pemerintah perlu segera melatih lima ribu orang di bidang energi terbarukan.
Praktik baik Filipina dan India
Tetangga di Asia yang bisa menjadi acuan praktik baik terkait pekerjaan hijau adalah Filipina dan India.
Filipina sudah memiliki pakta Green Job Acts sejak 2016 yang menunjukkan komitmen dan langkah-langkah konkret untuk diambil. Misalnya, mempertegas dan menentukan ruang lingkup terkait perubahan iklim hingga definisi pekerjaan hijau.
Tak lama setelah itu, Filipina menjadikan Menteri Ketenagakerjaan sebagai anggota Komisi Perubahan Iklim. Pemerintah Filipina juga memberikan insentif pajak hingga 50% untuk pelatihan kompetensi dan pengembangan riset yang selaras dengan tren green jobs.
India juga memulai satu dekade lebih cepat dari Indonesia. Pada 2015, India sudah membentuk Skill Council for Green Jobs (SCGJ). Lembaga ini berada di bawah naungan National Skill Development Corporation dan Ministry of Skill Development & Entrepreneurship India.
Target SCGJ adalah satu juta pelatihan jangka pendek dalam teknologi bersih dan hijau, dua juta pelatihan upskilling dan pengembangan keterampilan baru (reskilling) di semua sektor, 750 pusat pelatihan afiliasi, dan 7.500 pelatih bersertifikat pada 2030.
Kerja sama di sana-sini
Transisi ketenagakerjaan tidak bisa dipisahkan dari transisi energi berkeadilan. Oleh karena itu, pemerintah, khususnya Kemnaker, perlu segera bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk menyiapkan pasar kerja yang selaras dengan agenda transisi energi. Misalnya, dengan Kementerian ESDM, Kemnaker sepatutnya mengkaji proyeksi lanskap industri, kebutuhan tenaga kerja, serta berbagai keperluan keahlian sesuai dengan target bauran energi Indonesia.
Kajian ini penting sebagai bekal Kemnaker memperbaiki peraturan ketenagakerjaan yang merangsang suburnya angkatan kerja dengan keahlian green jobs. Harapannya, peraturan ini dapat menjadi acuan otoritas ketenagakerjaan di daerah, terutama kawasan penghasil batu bara dan pengguna pembangkit listrik tenaga uap terbesar, untuk program upskilling ataupun reskilling.
Langkah lainnya adalah memperkuat kebijakan pasar kerja aktif (Active labour market policies/ALMP) yang saat ini amat tidak siap untuk menghadapi transisi energi, melalui pengembangan sumber daya manusia. ALMP adalah serangkaian intervensi pemerintah untuk meningkatkan peluang angkatan kerja mendapatkan pekerjaan, sekaligus menjaga para pekerja tidak kehilangan penghidupan mereka.
Pengembangan SDM merupakan hal yang perlu diperhatikan mengingat kondisi pekerja secara umum Indonesia masih bergantung pada pekerja informal. Diolah dari data Sakernas 2020-2023, pekerja informal mendominasi dengan persentase berkisar di antara 59-61%. Padahal green jobs cenderung membutuhkan keahlian teknis yang lebih tinggi.
Untuk itulah, penting bagi Kemnaker untuk bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Dasar Menengah, serta Kementerian Pendidikan Tinggi. Kedua institusi ini adalah penanggung jawab pendidikan kejuruan dan vokasi yang berperan vital dalam membentuk tenaga kerja yang selaras dengan agenda transisi energi.
Kemnaker dapat memperkuat instrumen yang sudah ada, misalnya Sistem Pelatihan Kerja Nasional (Sislatkernas) sebagai sistem pemerintah dalam merancang dan melaksanakan pelatihan kerja.
Sistem ini dapat diperkuat Kemnaker dengan menggandeng 12 ribu lembaga balai latihan kerja (BLK) untuk merancang modul pelatihan terkait green jobs dan menyesuaikannya untuk kebutuhan masing-masing daerah. Di Sulawesi, misalnya, menjadi pulau dengan bauran energi terbarukan terbesar, tapi di sisi lain merupakan daerah dengan PLTU captive (khusus kawasan industri) terbanyak.
Dengan agenda transisi energi untuk meningkatkan energi terbarukan dan mengakhiri PLTU, pulau ini layak menjadi hotspot untuk mendorong BLK baru, yang saat ini jumlahnya tak sampai 10% dari total BLK di Indonesia. Kolaborasi ini juga merupakan amanat Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 yang mendorong kemitraan institusi pelatihan kerja dengan lembaga pelatihan dan pendidikan vokasi.

Perbandingan proyeksi kebutuhan tenaga teknik energi terbarukan dan energi fosil Proyeksi penciptaan green jobs di Indonesia (Sumber: Koaksi Indonesia, Infografis: Irene Meriska Esterlita).
Pemerintah pun perlu melakukan sinkronisasi dengan sektor industri untuk memastikan transisi tenaga kerja ke pekerjaan hijau. Seperti penyediaan insentif bagi perusahaan yang memberikan pelatihan yang mendorong pekerjaan hijau. Tanpa insentif, sektor swasta tidak memiliki dorongan kuat untuk mempercepat transisi ke pekerjaan hijau.
Editor: Robby Irfany Maqoma