PLTU Captive Menahan Laju Transisi Energi Indonesia

Cintya Faliana Penulis

24 Januari 2025

total-read

12

6 Menit membaca

PLTU Captive Menahan Laju Transisi Energi Indonesia

Pada November 2024, Kepala Delegasi RI untuk konferensi iklim Perserikatan Bangsa Bangsa ke-29 (COP 29) Hashim Djojohadikusumo, mengungkapkan komitmen Indonesia dalam transisi energi melalui penambahan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan sebesar 75 gigawatt (GW) dalam 15 tahun ke depan. Hashim mengatakan rencana tersebut adalah bagian dari upaya Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global yang terus meningkat. 

Komitmen tersebut sekaligus menjadi pelengkap bagi upaya Indonesia menyusun dokumen aksi iklim terbarunya, Second Nationally Determined Contribution, yang paling lambat harus selesai pada Maret 2025. Dokumen ini akan memuat kondisi dan komitmen terbaru pemerintah untuk mengatasi krisis iklim—termasuk transisi energi. 

Sepintas, angka penambahan kapasitas listrik energi terbarukan mungkin terlihat sebagai kabar baik. Namun, Hashim justru tidak menampilkan perkara sebenarnya dari upaya transisi energi Indonesia saat ini, yaitu bertambahnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara captive. Pembangkit ini dioperasikan oleh pihak swasta—kebanyakan oleh pengelola smelter nikel—dan berada di luar jaringan PT PLN (Persero).

Riset Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM) menunjukkan, peningkatan PLTU batu bara sekitar 15% atau mencapai 7,5 GW dalam rentang waktu Juli 2023-Juli 2024. Sekitar 4,5 GW di antaranya adalah PLTU captive.

Kontribusi kapasitas PLTU on-grid milik PLN dan produsen listrik swasta (independent power producer) dan PLTU captive

Di tengah janji transisi energi, Indonesia justru bersikap kontradiktif dengan meningkatkan 42% kapasitas PLTU captive. Besarnya angka ini menunjukkan komitmen setengah hati pemerintah untuk mengurangi penggunaan batu bara sebagai pembangkit listrik utama. Alih-alih mengurangi emisi, pembakaran batu bara untuk PLTU captive akan berkontribusi melepaskan gas rumah kaca yang memperparah krisis iklim.

 Illustrasi Efek Rumah Kaca (Image source: Techa Tungateja/ Dreamstime)

 

Ironi Bertambahnya PLTU Captive
Pertumbuhan PLTU captive meningkat pesat sejak 2019, empat tahun setelah Indonesia menandatangani Perjanjian Paris untuk menjaga laju kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C. Total kapasitas PLTU captive tercatat meningkat tiga kali lipat dari 5,7 GW menjadi 15,2 GW pada Juli 2024. 

Belum berhenti, kapasitas ini masih bertumbuh mencapai 17,1 GW pada akhir 2024. Bahkan, hingga 2026, masih akan ada 11 GW PLTU captive yang direncanakan berdiri. Rinciannya, sebanyak 5,8 GW masih dalam tahap konstruksi, praizin (1,64 GW), dan yang baru diumumkan (3,60 MW).

PLTU captive kebanyakan berlokasi di daerah penghasil nikel seperti Sulawesi dan Maluku.

Sepanjang satu tahun terakhir, kapasitas PLTU captive di Sulawesi Tengah, lokasi Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) berada, meningkat dari 2,8 GW menjadi 5,19 GW. Sementara itu, di area Indonesia Weda bay Industrial Park (IWIP), Maluku Utara, kapasitas pembangkit ini meningkat hampir tiga kali lipat menjadi 4 GW. 

Hal ini menunjukkan, pembangunan PLTU satu tahun terakhir berpusat pada industri nikel dengan komposisi 76% dari total kapasitas. Sayangnya, angka-angka ini tidak akan berhenti dan justru masih bertumbuh hingga 2026 mendatang.

Jika digabungkan dengan 132 PLTU captive yang telah beroperasi dengan kapasitas 15,2 GW, maka total kapasitas PLTU captive mencapai 26,2 GW. Angka ini lebih besar dari kapasitas PLTU di Australia (22,9 GW) atau setara dengan seluruh PLTU di Vietnam yaitu 27,2 GW pada 2023.

Bertambahnya kapasitas PLTU captive akan berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca yang memperparah perubahan iklim. Laporan Climate Action Tracker menunjukkan bahwa PLTU ini dapat menambah emisi Indonesia sekitar 150 megaton COpada 2030

Selain emisi, PLTU captive juga membahayakan masyarakat di sekitarnya. Pencemaran sungai dan laut akibat PLTU mereduksi akses warga terhadap air bersih, sumber pangan, serta pendapatan mereka. Di lain pihak, pencemaran udara terbukti meningkatkan kasus gangguan pernapasan dan meningkatkan kematian dini.

Tanpa penguatan standar emisi, polusi udara dari PLTU captive diproyeksikan menyebabkan lima ribu kematian dan kerugian ekonomi sebesar US$3,42 miliar(Rp55,5 triliun) pada 2030. Petaka akan lebih besar apabila PLTU captive dikecualikan dari target pensiun dini PLTU batu bara pada 2040 dengan risiko tambahan kasus 27 ribu kematian dan kerugian ekonomi sebesar US$20 miliar(Rp324 triliun) akibat dampak kesehatan secara kumulatif.

 Ilustrasi pencemaran udara (Image source: Rahmat Nugroho/ Dreamstime)

Membayangkan Australia di antara Smelter Nikel

Total kapasitas PLTU captive saat ini setara dengan seluruh kapasitas PLTU di Australia. Padahal, Australia adalah produsen batu bara terbesar kelima, eksportir terbesar kedua, dan memiliki cadangan batu bara terbesar ketiga di dunia. Sementara, Indonesia adalah produsen batubara terbesar kedua dunia dengan tren produksi batubara yang meningkat hingga 690% sepanjang 2000-2022.

Secara umum, tren pasokan batu bara di Australia terus menurun dengan bauran energi terbarukan yang meningkat. Data dari The International Energy Agency (IEA) menampilkan tren emisi yang dihasilkan dari batu bara di Australia berkurang hingga 20% dalam rentang 2000-2022. Pembangkitan listrik dari batu bara di Australia juga menurun hingga 27% pada 2023. 

Kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi pembangkitan listrik di Australia.

Berbanding terbalik, tren penggunaan energi terbarukan Australia meningkat hingga 46% dalam rentang waktu yang serupa. Pada 2022, 30% dari total pasokan listrik Negeri Kangguru bersumber dari energi terbarukan. Angka ini mencerminkan komitmen Pemerintah Australia setelah menandatangani Paris Agreement pada 2015, bauran energi terbarukan mereka meningkat dua kali lipat. 

Jika enggan membandingkan Indonesia dengan Australia karena perbedaan jumlah populasi, mari bandingkan dengan India atau China. Meski keduanya merupakan pengguna batu bara terbesar di dunia, tren energi terbarukan mereka terus meningkat melampaui Indonesia. 

Kuartal pertama 2024, pembangunan energi terbarukan di India menyumbang 71% dengan jumlah 13 GW dari total kapasitas pembangkit listrik baru. Sedangkan, porsi batu bara untuk penggunaan listrik menurun hingga di bawah 50%, menjadi yang pertama sejak 1960-an. Capaian ini jauh di atas target Pemerintah India yang mengharapkan 50% pembangkit listrik energi terbarukan pada 2030 mendatang.

China mencerminkan tren serupa. Pada paruh pertama 2024, mereka membatasi izin pembangunan PLTU batu bara hingga 83% dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam satu tahun pula, China membangun lebih dari 400 GW tenaga surya dan angin hingga mengurangi penggunaan PLTU batu bara sebesar 7%. Penurunan penggunaan batu bara ini sudah sesuai dengan tren global, terbukti permintaan batu bara dari sejumlah negara G7, seperti Inggris, Prancis, Kanada dan Italia mencapai rekor terendahnya sejak 1900. Meskipun, 32% sumber listrik Jepang masih berasal dari batubara. 

Di lain pihak, capaian energi terbarukan Indonesia per September 2024 baru mencapai angka 13,93% dari bauran energi nasional. Angka ini masih jauh dari target 23% energi terbarukan pada 2025 mendatang.

Salah satu PLTU yang ada di Indonesia (Kasan Kurdi/Greenpeace)

Lambatnya pengembangan energi terbarukan ini turut berhulu dari ketergantungan Indonesia terhadap energi batu bara yang menyulitkan penetrasi energi bersih ke jaringan PLN. Indonesia juga masih memiliki persoalan kebijakan dan inkonsistensi peraturan sehingga tidak mendukung investasi energi bersih.

Titik cerah sebenarnya mulai terlihat saat Prabowo mengumumkan komitmen Indonesia untuk menghentikan PLTU dalam 15 tahun ke depan. Komitmen ini seharusnya turut mencakup penyetopan PLTU captive.

Analisis Ember Climate telah membuktikan bahwa komitmen Prabowo masih memungkinkan untuk dilaksanakan. Dengan mengurangi kapasitas PLTU secara perlahan sebesar 3 GW per tahun, Indonesia berpeluang mengakhiri era listrik batu baranya pada 2040 dan bertransisi ke energi yang lebih bersih. 

Titik krusialnya kini berada di kebijakan teknis. Agar janji Prabowo benar-benar terlaksana, pemerintah perlu menyusun peta jalan pengakhiran PLTU (termasuk PLTU captive) yang lebih ambisius, sembari memangkas segala penghalang bahkan menggenjot pengembangan energi terbarukan. 

Editor: Robby Irfany Maqoma