Mengenal Green Islam: Konsep, Ajaran, dan Tantangannya dalam Melawan Krisis Iklim
Sita Mellia • Penulis
25 Maret 2025
31
• 4 Menit membaca

Indonesia adalah negara ketiga dunia yang paling berisiko menanggung bencana akibat perubahan iklim menurut Bank Dunia pada 2021. Menurut mereka, akan ada 1,4 juta orang yang terdampak banjir ekstrem karena krisis iklim selama 2035-2044.
Sayangnya, Indonesia terkesan belum serius melawan krisis iklim. Berdasarkan Climate Change Performance Index, Indonesia menempati peringkat 42 dari 64 negara pada 2025 karena aksi iklimnya belum sejalan dengan kesepakatan global untuk menahan kenaikan suhu Bumi di angka 1,5°C.
Indonesia perlu menggenjot aksi iklimnya dengan memberdayakan masyarakatnya yang banyak, terutama muslim yang jumlahnya 247 juta dari total 282 juta jiwa penduduk Indonesia. Bukan tidak mungkin masyarakat Indonesia memunculkan gerakan peduli lingkungan yang masif, sekaligus mendesak pemerintah untuk mengambil kebijakan untuk memerangi perubahan iklim. Pasalnya, Islam menekankan pentingnya menjaga lingkungan dan melarang perusakan alam. Gerakan ini sering disebut Islam hijau atau Green Islam.
Apa itu Islam hijau?
Islam hijau adalah konsep pengamalan ajaran Islam yang tidak terpisahkan dari pelestarian lingkungan. Konsep ini juga menjadi simbol gerakan bersama yang bersumber dari ajaran Islam untuk mendukung pelestarian alam, dengan manusia yang berada di dalamnya. Selain itu, Islam hijau juga menaruh perhatian bahwa negara sebaiknya tidak melakukan eksploitasi berlebihan, seperti aktivitas penambangan batu bara yang memberikan dampak buruk bagi masyarakat.
Gerakan Islam mulai menguat sejak 2000an saat kelompok agama mulai menempatkan isu lingkungan sebagai salah satu fokus pengamalan ajaran. Muncul pula tafsir ajaran Yahudi dan Kristen untuk membangun seruan bahwa manusia perlu bahu-membahu merawat alam, bukan merusaknya maupun memanfaatkannya secara berlebihan.
Urgensi krisis iklim semakin kentara dalam Islam hijau saat sekelompok ilmuwan, akademisi, pemuka agama, aktivis lingkungan, serta beberapa anggota aliansi Ummah for Earth menyerukan perjuangan melawan perubahan iklim melalui Islamic Declaration on Global Climate Change (Deklarasi Islam untuk Perubahan Iklim), pada 2015 di Turki.
Deklarasi yang digaungkan oleh perwakilan dari 20 negara ini salah satunya memuat ajakan kepada umat muslim untuk beralih ke sumber energi terbarukan dalam rangka mencapai nol emisi. Pakar dan tokoh agama dari Indonesia juga menjadi salah satu inisiator deklarasi ini.
Green Islam di Indonesia
Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2024 telah mengidentifikasi ada sekitar 142 organisasi ataupun kelompok Islam hijau di Indonesia. Ratusan organisasi ini terbagi dalam tiga jenis aktivitas: konservasionis, pengkampanye kebijakan, dan mobilisator atau penggerak aksi-aksi lingkungan di tingkat warga.
Sementara itu organisasi masyarakat (ormas) keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) juga telah lama mendorong transisi energi—peralihan energi fosil ke energi terbarukan (at-thaqah al mutajaddadah). Sebab, NU menilai penambangan fossil bertentangan dengan nilai-nilai islam, tercermin pada fatwa dalam Muktamar Cipasung 1994 yang mengharamkan pencemaran udara, air, dan tanah karena dapat menimbulkan kerusakan (dlarar)—hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).
Sebagai tindak lanjutnya, NU mendorong penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Bukan tanpa alasan, preferensi ini didasarkan pada empat pertimbangan fiqih yang dianalisis NU. Pertama, PLTS memiliki dampak negatif (kemafsadatan) yang relatif lebih ringan (al-akhaff) dibandingkan dengan energi fossil. Kedua, sumber energi surya dapat dijangkau oleh siapa pun dan di mana pun di seluruh wilayah Indonesia.
Pertimbangan ketiga adalah sumber energi surya melimpah, merata, dan tidak akan pernah bisa habis. Keempat, sinar surya adalah hak semua orang yang tidak dapat dibatasi, disekat, atau dikurangi oleh siapa pun.
Muhammadiyah, ormas keagamaan lainnya, juga telah memiliki ideologi dan gerakan Green Al Ma’un untuk menjawab persoalan krisis iklim—termasuk merespon kerusakan lingkungan dan sosial yang dilakukan manusia. Lebih konkret, Muhammadiyah telah memulai inisiatif untuk mendorong transisi energi bersih dengan memasang panel surya di masjid-masjid di Indonesia, melalui program ‘Sedekah Energi’.
Program yang dimulai sejak 2021 ini telah berhasil mengimplementasikan instalasi panel surya di beberapa masjid, termasuk Masjid Al-Ummah Al-Islamiyah, Pondok Pesantren Yayasan Al Ma’hadul Islami (YAMI), Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, yang mampu memenuhi 100% kebutuhan listrik masjid dan berdampak pada lebih dari 100 jamaah.
Tantangan Islam hijau Indonesia
Meski berjumlah cukup banyak, gerakan Green Islam di Indonesia masih menemui sejumlah tantangan. Misalnya gerakan ini cukup tersegmentasi, alias kelompok-kelompok Islam hijau masih bergerak sendiri-sendiri. Belum ada upaya untuk mengintegrasikan berbagai aktitivitas hijau dari kelompok ini untuk memperluas dampaknya di masyarakat maupun mendorong perubahan kebijakan.
Selain itu, mayoritas kelompok Islam hijau juga masih berkutat pada aktivitas yang merespons persoalan lokal, alih-alih menjadi gerakan yang membingkai isu besar misalnya kerusakan lingkungan. Inilah salah satu alasan partisipasi masyarakat dalam Islam hijau belum sebanyak yang diharapkan, sekaligus memantik dua tantangan lainnya yakni sumber daya manusia dan pendanaan serta ketimpangan pengetahuan.
Pelaksanaan Islam hijau juga diperkeruh oleh keputusan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menerima tawaran izin usaha pertambangan (IUP). Padahal, sudah ada fatwa tentang pengelolaan pertambangan dan urgensi transisi energi berkeadilan yang secara implisit melarang penambangan fosil.
Pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan dikhawatirkan akan melanggengkan praktik perusakan lingkungan dan penurunan kualitas hidup masyarakat yang berlawanan dengan konsep Islam hijau.
Ketimbang memperparah persoalan, ormas keagamaan seharusnya berinisiatif untuk mengatasi tantangan Islam hijau dan memperluas aksi lingkungan berbasis agama di Indonesia.
Editor: Robby Irfany Maqoma