Dilema di Balik Mobil Listrik: Menghijaukan Kota, Mengabaikan HAM
Sita Mellia • Penulis
08 Februari 2025
34
• 7 Menit membaca

Dunia tengah bertransisi ke kendaraan listrik yang diklaim lebih ramah lingkungan. Di Indonesia, penjualan kendaraan listrik di tahun 2024 meningkat 177,32% dibanding tahun 2023. Pemerintah bahkan berencana untuk secara bertahap menghentikan semua penjualan kendaraan berbahan bakar fosil pada 2040 dan menghentikan penjualan sepeda motor, mobil, dan kendaraan berbahan bakar fosil mulai 2050.
Akan tetapi, peralihan kendaraan listrik yang dinilai dapat mengurangi emisi gas rumah kaca justru melahirkan persoalan hak asasi manusia (HAM), yang berlawanan dengan cita-cita keadilan iklim. Produsen kendaraan listrik sebagai aktor di sektor hulu bertanggung jawab terhadap terabaikannya hak sipil, kesehatan, ekonomi, dan budaya warga lokal di sekitar kawasan industri ekstraktif.
Evaluasi kebijakan pengembangan ekosistem mobil listriknya di seluruh lini rantai pasok mendesak untuk dilakukan.
Terpinggirnya masyarakat adat dan warga lokal
Laporan Recharge for Rights dari Amnesty International tahun 2024 menunjukkan, mayoritas produsen kendaraan listrik masih mengabaikan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Ini adalah hak masyarakat adat untuk menerima atau menolak proyek yang berdampak pada tanah, sumber daya, dan kehidupan mereka.

Skor performa HAM oleh produsen mobil listrik (Sumber: Amnesty International).
FPIC merupakan norma hak asasi manusia yang paling fundamental. Secara umum, prinsip FPIC menjamin bahwa manusia berhak menentukan nasibnya sendiri, pemerintahannya sendiri, dan bebas dari diskriminasi.
Merek kendaraan listrik terlaris di Indonesia seperti BYD, misalnya, mendapat skor 11 dari 90 dalam penilaian uji tuntas HAM yang dilakukan oleh Amnesty International di tahun 2024. Produsen kendaraan listrik terbesar kedua di dunia tersebut menempati posisi terbawah di antara 13 perusahaan kendaraan listrik paling terkemuka. BYD yang berhasil menjual 11.910 unit kendaraan listrik hanya dalam kurun Juni hingga Juli 2024 di Indonesia nyatanya tidak memiliki praktik yang menghormati hak asasi manusia.
Dalam hal komitmen untuk menghormati hak masyarakat adat, Amnesty International memberikan dua perusahaan mobil listrik paling laris–BYD dan Hyundai– skor nol dari enam poin. Dua merek mobil listrik yang berseliweran di sejumlah kota di Indonesia justru tidak melibatkan masyarakat adat di dalam rantai pasok perusahaan. Hyundai memiliki pabrik di Karawang, sedangkan BYD berencana membangun pabrik di Subang, Jawa Barat.
BYD memang memiliki kebijakan terkait HAM yang mencakup uji tuntas kepatuhan HAM dalam rantai pasok. Sayangnya, kebijakan ini tidak tergambarkan dalam pelaksanaan yang memadai.
Sebagai contoh, BYD hanya melakukan “survey” untuk penghormatan HAM bagi pemasok kobalt (salah satu mineral bahan baku), tanpa mengumumkan upaya serupa bagi pemasok tembaga, litium, ataupun nikel. BYD juga tidak secara transparan mengumumkan nama-nama smelter pemasok bahan baku untuk produk mobil listriknya, termasuk juga pemetaan lokasi pertambangan.
Nihilnya uji tuntas penghormatan HAM dalam rantai pasok BYD terlihat dalam kasus pembekuan konstruksi pabriknya oleh otoritas Brasil pada 24 Desember silam. Laporan otoritas Brasil memaparkan bahwa kondisi 160 pekerja konstruksi pabrik BYD amat mengenaskan. Mereka tidur di lokasi yang berimpitan di asrama pekerja, dengan fasilitas dasar seperti toilet sangat minim.
Para pekerja juga bekerja di bawah kondisi paspor dan gaji yang ditahan oleh kontraktor pabrik. Menurut otoritas Brasil, situasi tersebut sudah mendekati kondisi kerja paksa.
Selain kedua merek tersebut, Mitsubishi Motors, dan Nissan juga sama sekali tidak mengakui hak masyarakat adat di dalam kebijakan perusahaan. Sementara sejumlah perusahaan seperti Ford, Mercedes-Benz, dan Tesla mengakui hak masyarakat adat dan memiliki komitmen untuk menghormati HAM dalam rantai pasoknya, tetapi tidak menunjukkan implementasi yang konkrit.
Terbaru, Tesla telah meneken kerja sama dengan Zhejiang Huayou Cobalt Co yang mengimpor nikel dari smelter PT Vale Indonesia (INCO) di Sulawesi. Pemasok Tesla lainnya, PT Huayue Nickel Cobalt (HYNC), yang memproduksi 60.000 ton nikel per tahun juga berada di Kawasan Industri Indonesia Morowali (IMIP), Sulawesi Tengah, yang merupakan kawasan industri nikel terbesar di Indonesia
Kedua pemasok Tesla tersebut berkontribusi pada banyaknya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang terjadi pada masyarakat sekitar penambangan di Morowali. Penelitian TuK Indonesia di tahun 2024 terhadap 13.789 warga di tiga desa di Kabupaten Morowali menunjukkan bahwa jumlah kasus ISPA telah menyentuh 55.572 kasus di tahun 2023.

Skor seluruh indikator penghormatan terhadap HAM oleh produsen kendaraan listrik (Sumber: Amnesty International).
Sementara itu, warga masih sulit menjangkau layanan kesehatan. Sebab lalu lintas mobil pengangkut material tambang mengakibatkan kerusakan jalan. Secara tidak langsung, sulitnya akses kesehatan juga menambah biaya kesehatan yang harus ditanggung warga.
Dibalik narasi pertumbuhan 8%
Momentum naiknya tren kendaraan listrik berbasis baterai di dunia seringkali digunakan pemerintah untuk menarasikan kesejahteraan, mengingat Indonesia menyimpan 20,6% cadangan nikel global. Alih-alih mensejahterakan, hilirisasi nikel yang dijagokan pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi 8% justru melahirkan kemiskinan baru.
Indonesia diketahui mengoperasikan satu per tiga penambangan nikel dunia dan telah mempekerjakan 1,3 juta orang. Meski menyerap banyak tenaga kerja, pembangunan smelter nikel dalam jangka panjang telah mengancam kualitas hidup warga, yang memperparah ketimpangan.
Lima dari tiga belas produsen kendaraan listrik yang diuji oleh Amnesty International diketahui memiliki rantai pasok di Indonesia, yakni General Motors (GM), Tesla, Mercedes-Benz, BMW, dan Ford. Smelter nikel mereka mayoritas berada di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Alih-alih hidup layak, masyarakat di ketiga provinsi tersebut kesulitan dalam mengakses hak atas pendidikan, kesehatan, dan sosial.
Penelitian tahun 2024 yang dilakukan pada 7.721 desa yang mencakup 20 juta warga Sulawesi, menunjukkan bahwa pertambangan nikel selama 2011-2018 mengakibatkan pencemaran dan bencana seperti tanah longsor dan banjir bandang. Hal tersebut berakibat pada terganggunya sektor pertanian dan perikanan, yang menjadi tumpuan penghidupan warga Sulawesi. Pencemaran juga menimbulkan penyakit yang memperparah kondisi kesehatan warga, terutama di daerah terpencil yang jauh dari klinik bahkan rumah sakit.
Grafik dampak penambangan mineral bagi kondisi sosial dan lingkungan masyarakat Sulawesi. Biru: penambangan lain. Oranye: penambangan nikel. (Sumber: Lo et al., 2024/Infografis: Irene Meriska Esterlita).
Analisis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) bersama Center of Economic and Law Studies CELIOS pada 2024 juga menunjukkan bahwa meski pembangunan smelter nikel tahap awal menyerap banyak tenaga kerja, terdapat penurunan PDB di tahun ke sembilan akibat deforestasi, degradasi lahan, tercemarnya air, dan rusaknya biodiversitas. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar warganya bermata pencaharian sebagai nelayan.
Nelayan seperti Lukman, misalnya, harus kehilangan pekerjaan di tengah kerentanan. Ikan-ikan yang menjadi sumber mata pencaharian Lukman mati terdampak limbah nikel. Tinggal di Pulau Labengki yang berseberangan dengan Kabupaten Konawe Utara yang menaungi 50 pertambangan nikel, Lukman harus memutar otak dalam menghadapi situasi krisis akibat mineral kritis.
Fenomena rentannya pekerja smelter di lapangan juga menggambarkan bahwa produsen kendaraan listrik belum memastikan perlindungan terhadap hak pekerja, termasuk standar kesehatan dan keselamatan kerja. Dalam kurun 2020-2023, terjadi sepuluh kali insiden ledakan smelter yang memakan puluhan korban.
Dalam hal kesejahteraan pekerja, buruh smelter perempuan tidak mendapat perlindungan karena menghadapi pelecehan seksual. Mereka juga sulit mendapatkan hak cuti haid dan mendapatkan pengurangan upah apabila tak masuk kerja.
Laporan CELIOS (2024) menunjukkan bahwa buruh smelter juga bekerja dalam ketidakpastian. Selain tidak mendapat masker di tengah paparan material berbahaya dan beracun, kecelakaan kerja seperti kaki patah tertindih beban, tangan terlindas forklift, hingga melepuhnya badan akibat cairan bijih nikel adalah kecelakaan yang tak jarang terjadi.
Mereka juga kerap tidak mendapat upah lembur dengan kontrak kerja yang diperbarui setiap tiga bulan—imbas aturan baru dalam Undang Undang Cipta Kerja. Hal ini menjadikan mereka sebagai kelompok pekerja prekariat—tidak memiliki jaminan masa depan dan minim perlindungan sosial–yang menambah kerentanan.
Di tengah kerentanan warga dan buruh, polusi udara berpotensi terus memeras kantong mereka. Menurut hitungan CELIOS dan CREA (2024), emisi yang dihasilkan dari smelter nikel berpotensi mengakibatkan 3.800 kematian di tahun 2025, dan 5000 jiwa di tahun 2030. Mahalnya biaya kesehatan ini berdampak pada kerugian ekonomi tahunan yang mencapai hampir USD 3,42 miliar di tahun 2030.
Butuh partisipasi bermakna
Definisi kesejahteraan atau well-being tidak hanya terkait penyediaan lapangan pekerjaan, melainkan juga lingkungan yang berkelanjutan, sehingga pemerintah perlu berhati-hati dalam mewujudkan transisi energi yang berkeadilan. Upaya transisi penghormatan HAM seharusnya melekat dalam setiap agenda dan strategi transisi energi.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah memperketat kebijakan pembuangan limbah dari pertambangan maupun smelter. Selain itu, perlu ada juga peraturan yang mendorong pengurangan PLTU captive yang menjadi batu sandungan transisi energi belakangan ini.
Pemerintah juga perlu melibatkan masyarakat untuk merencanakan upaya perlindungan lingkungan sekaligus pengendalian pencemaran secara kolektif. Peningkatan partisipasi warga terbukti berhasil meningkatkan standar hijau dalam proyek pertambangan, selain berpotensi menyerap tenaga kerja setempat.
Tanpa adanya langkah konkret untuk melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan memastikan bahwa hak-hak mereka dilindungi secara aktif, transisi energi termasuk penggunaan kendaraan listrik hanya akan memperparah ketimpangan dan pelanggaran HAM.
Editor: Robby Irfany Maqoma