Apa itu Bioenergi dan Benarkah Energi Ini Bersih?
Sita Mellia • Penulis
11 April 2025
4
• 4 Menit membaca

Tahun 2024 menjadi tahun terpanas dalam sejarah. Di tengah bumi yang terus menunjukkan level didihnya, negara-negara di dunia terus mengupayakan langkah untuk menekan laju suhu di bawah 2°C. Indonesia, salah satunya, tengah mendorong kebijakan dan inisiatif dalam rangka mencari energi yang rendah emisi gas rumah kaca.
Pada tahun yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia ingin mempercepat penyelesaian Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) untuk memprioritaskan bioenergi, khususnya penggunaan B50 (biodiesel 50%). Disusul oleh pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada KTT G20 Brasil yang menjadikan biodiesel dari kelapa sawit sebagai upaya transisi hijau untuk mencapai nol emisi.
Namun, biodiesel dari sawit hanyalah satu dari sekian banyak sumber bioenergi yang jamak digunakan di berbagai belahan dunia.
Apa itu bioenergi?
Bioenergi merupakan energi yang dihasilkan dari material organik atau biomassa, menurut International Energy Agency (IEA). Biomassa sendiri menurut IEA adalah bahan organik yang berasal dari tumbuhan dan hewan—limbah kayu perkotaan, sampah makanan, limbah tanaman, sisa-sisa hutan, limbah organik dari industri pertanian atau pengelolaan hutan dan lanskap, serta rumah tangga, tanaman energi berkayu, dan mikroalga.
Berdasarkan bentuknya, bioenergi memiliki tiga jenis: biofuel (seperti biodiesel dan bioetanol), biogas, dan biomassa padat. Biofuel (bahan bakar cair) biasanya dihasilkan dari bahan organik dan digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil.
Biofuel mencakup bahan bakar cair seperti bioetanol (umumnya dari tebu atau jagung) dan biodiesel (biasanya dari minyak sawit atau minyak jelantah). Biofuel ini digunakan untuk menggantikan atau dicampur dengan bahan bakar fosil di sektor transportasi, seperti bensin dan solar.
Di Indonesia, penggunaan bioenergi diperuntukkan dalam transportasi dan terus berkembang pesat seiring kebijakan mandatori seperti campuran biodiesel 30% (B30) dan 50% (B50). Presiden Prabowo bahkan menargetkan B100 atau 100% penggunaan biodiesel sebagai upaya ketahanan energi sekaligus mengurangi emisi.
Sementara biogas (gas) dihasilkan dari proses fermentasi anaerobik dari limbah organik dan dapat digunakan untuk menghasilkan listrik dan panas. Gas ini berasal dari limbah cair produk perkebunan, misalnya kelapa sawit maupun kotoran hewan. Per November 2022, kapasitas energi biomassa mencapai 139 megawatt (MW). Ada juga sekitar 28 ribu unit biogas berskala rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia per 2024.
Sementara biomassa padat seperti kayu atau residu tanaman dibakar langsung untuk menghasilkan energi panas atau listrik. Indonesia memiliki pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) dengan kapasitas terpasang sebesar 2.914 MW per November 2022.
Tahun 2023, PT PLN juga menggunakan biomassa padat sebagai bahan bakar pendamping batu bara (co-firing) hingga 990 ribu ton di 43 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Tahun ini, penggunaan biomassa untuk kebutuhan co-firing ditargetkan bertambah hingga menjangkau 52 PLTU.
Masalah di balik bioenergi
Meski berasal dari bahan organik, pemilihan bioenergi terutama biofuel dan biomassa sebagai solusi transisi energi masih perlu ditinjau ulang. Alih-alih menjadi sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, bioenergi justru memperparah emisi—berlawanan dengan tujuan transisi energi berkeadilan.
Studi Traction Energy Asia di tahun 2022 menunjukkan, emisi dari produksi biodiesel berbahan baku minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) enam kali lipat lebih banyak dibandingkan emisi dari bahan bakar fosil. Ini disebabkan oleh pengeringan lahan gambut untuk pembukaan lahan perkebunan sawit—melepaskan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar, terutama gas metana.
Hal ini juga diperkuat oleh temuan Wicke et al. yang mendapati pembukaan lahan sawit dengan cara mengeringkan lahan gambut menjadi faktor utama yang menyumbang emisi gas rumah kaca dalam rantai proses biodiesel.
Aspek keberlanjutan (sustainability) dari sektor hulu biodiesel pun masih dipertanyakan. Sebab, pembukaan lahan dengan cara pembakaran selama ini masih sering dilakukan oleh perusahaan yang bahkan telah memegang sertifikasi keberlanjutan, sehingga memperparah emisi. Pantau Gambut di tahun 2024 mencatat, 91% dari 155 titik kebakaran lahan ditemukan telah disulap menjadi lahan sawit.
Selain kebakaran, penanaman kelapa sawit—sebagaimana studi di Jambi—juga terbukti berhubungan dengan kejadian banjir di daerah sekitar. Pasalnya, perkebunan sawit monokultur (satu jenis tanaman dalam suatu kebun) menurunkan kemampuan tanah menyerap air, sehingga rentan menyebabkan banjir.
Penggunaan biomassa padat yang berasal dari pelet kayu (potongan kecil kayu-kayu yang ditebang) juga memicu persoalan lanjutan. Studi TrendAsia pada 2022 menyatakan, apabila semua PLTU milik PLN menerapkan skema ini, kebutuhan lahan untuk menumbuhkan biomassa (dalam hal ini pelet kayu) akan mencapai 11 juta ha. Ini merupakan area yang sangat besar, mendekati luas Pulau Jawa, sehingga berisiko menciptakan masalah baru seperti deforestasi, persoalan terkait air, kehilangan biodiversitas, hingga konflik lahan.
Solusi palsu
Dengan berbagai dampak ekologis dan sosial yang timbul, bioenergi berbasis biodiesel dan biomassa dapat dinilai sebagai solusi palsu (false solution) untuk mencapai transisi energi berkeadilan. Meski opsi ini dipilih sebagai upaya swasembada energi, pemerintah perlu meninjau ulang agar tidak melahirkan ketimpangan baru.
Alih-alih bertransisi ke sistem energi yang berkeadilan dan berkelanjutan, pengembangan bioenergi di Indonesia masih mempertahankan sistem lama dengan wajah baru—tetap mengekstraksi sumber daya, merusak lingkungan, dan mengancam ruang hidup masyarakat rentan.
Editor: Robby Irfany Maqoma