Kemana Langkah Diplomasi Prabowo Membawa Transisi Energi Indonesia?

Cintya Faliana Penulis

02 September 2025

total-read

5

6 Menit membaca

Kemana Langkah Diplomasi Prabowo Membawa Transisi Energi Indonesia?

Kredit foto: Presidenri.go.id

 

Presiden Prabowo Subianto langsung melawat ke sejumlah negara usai dirinya dilantik Oktober 2024 lalu. Dalam 100 hari pertama, Prabowo telah mengunjungi delapan negara yaitu Cina, Inggris, Amerika Serikat (AS), Brazil, Peru, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Malaysia. Hasilnya Prabowo membawa pulang 24 kerja sama antarpemerintah dan 27 kerja sama antarpengusaha senilai US$21,3 miliar.

 

Lawatan tersebut berlanjut pada paruh pertama 2025 dengan kunjungan ke India, Brunei Darussalam, Arab Saudi, Brasil, Uni Eropa, Prancis, hingga Rusia. Dari hasil kunjungan terakhirnya ke Brasil, Prabowo menargetkan capaian energi terbarukan hingga 100% pada 2035.

 

Namun, bagaimana langkah diplomasi Prabowo membawa ambisi transisi energi Indonesia ke panggung global sejauh ini?

 

Komitmen strategis dengan Cina dan Inggris

Dari belasan negara yang dikunjungi, Prabowo tidak selalu secara eksplisit menjelaskan komitmen transisi energi lewat kerja sama antar negara yang dihasilkan. Cina menjadi negara pertama yang dikunjungi Prabowo hingga akhirnya pulang dengan janji investasi bernilai US$10 miliar.

 

Kedua negara menandatangani MoU Kerja Sama Mineral Hijau yang membahas pengembangan sumber energi bersih seperti energi surya, angin, pasang surut air laut, maupun jaringan transmisi antar pulau.

 

Dari aspek geopolitik, kolaborasi dengan Cina untuk pengembangan teknologi energi terbarukan bisa dianggap strategis. Beberapa tahun terakhir, Cina berhasil menjadi produsen utama sekaligus pasar terbesar untuk panel surya fotovoltaik (PV). 

 

Cina juga menguasai 69% suplai modul surya global. Masifnya produksi modul surya di Cina juga mendorong penurunan biaya panel surya hingga lebih dari 99% dalam 40 tahun terakhir. 

 

Tak hanya surya, Cina juga menguasai inovasi dan produksi turbin angin dunia. Dari total kapasitas produksi turbin angin global sebesar 163 gigawatt (GW) per 2023, sebanyak 63% diantaranya berasal dari Negeri Panda. Negara ini juga memasang 49 GW turbin angin hanya dalam lima bulan saja.  

 

Jika dikelola dengan sungguh-sungguh, MoU dengan Cina ini bisa memperkuat komitmen Indonesia dalam merealisasikan transisi energi. 

 

Namun, kesepakatan Indonesia dengan Cina rentan berbelok ke arah energi fosil karena kedua negara tetap membicarakan batu bara sebagai komoditas ekspor utama Indonesia. Saat ini, penjualan batu bara domestik masih sangat bergantung pada pasar Cina. Apabila batu bara tetap menjadi agenda utama, maka diplomasi energi terbarukan Indonesia berisiko hanya menjadi “hiasan” dalam paket dagang tradisional.

 

Prabowo berangkat ke Inggris tak lama setelah kunjungan ke Cina. Kedatangan Prabowo menghasilkan peluang investasi senilai US$8,5 miliar atau setara Rp135 triliun. Komitmen investasi didapatkan dari 19 pebisnis. Investasi akan dialokasikan untuk sektor prioritas seperti transisi energi, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

 

Hingga saat ini belum ada informasi detail pebisnis Inggris yang berkomitmen memodali proyek energi terbarukan. Kendati begitu, komitmen ini bisa menjadi kabar baik karena transisi energi terbarukan di Inggris cukup agresif. Sumbangan energi terbarukan untuk sistem pembangkitan listrik di negeri ini—terutama dari angin—bahkan melampaui energi fosil pada tahun lalu. Inggris juga memiliki sejumlah perusahaan energi terbarukan yang berinvestasi di proyek-proyek lintas negara.

 

Brasil dan Singapura: Masih seremonial

Pada pertengahan tahun ini, Prabowo kembali mengunjungi Brasil untuk kali kedua. Kunjungan itu diklaim dapat membuka ruang transfer teknologi di bidang pertanian dan energi terbarukan, khususnya bioenergi.

 

Alih-alih mendorong transfer teknologi terkait PLTS, Prabowo justru mendorong bioenergi yang rentan menjadi solusi palsu seperti biodiesel dari sawit. Pasalnya, biodiesel berpotensi melanggengkan dan memperparah deforestasi yang terjadi saat ini. 

 

Padahal, Indonesia dapat belajar seputar kisah sukses pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap maupun skala kecil di Brasil hingga menyentuh 37,4 GW. Ekspansi PLTS atap bahkan bisa berkontribusi dalam pengembangan kapasitas PLTS di Brasil yang diperkirakan bisa melampaui 120 GW pada 15 tahun mendatang.

 

Angka ini jelas mengungguli kapasitas PLTS Indonesia yang hanya berkisar 600 megawatt (MW) per 2023. Dari kapasitas tersebut, Indonesia masih berambisi menambah kapasitas PLTS hingga 267 GW pada 2060. 

 

Jika ditindaklanjuti dengan serius dan tepat, diplomasi energi dengan Brasil bisa jadi game changer. Namun nyatanya, kerja sama ini masih berupa pembahasan awal. Terbukti belum terlihat kesepakatan investasi konkret sebagaimana di Cina atau Inggris.

 

Senada dengan Brasil, kunjungan Prabowo ke negara tetangga Singapura juga baru berbentuk seremonial. Bersama Perdana Menteri Lawrence Wong, Prabowo juga meluncurkan proyek energi terbarukan. 

 

Salah satunya adalah perdagangan listrik lintas batas atau ekspor listrik dari Indonesia ke Singapura. Ini termasuk pembahasan kerja sama pengembangan kawasan rendah karbon di Batam, Bintan, dan Karimun.

 

Setengah hati karena ‘bukan prioritas’

Sebagai negara yang rentan menghadapi dampak krisis iklim, inisiatif pemerintah untuk mengurangi emisi masih sangat rendah. Padahal, pada 2023 saja, sektor energi menyumbang sekitar 55% dari total emisi gas rumah kaca Indonesia

 

Sementara, bauran energi terbarukan di Indonesia masih jauh dari target dengan realisasi hanya 13-14% dari 23% dari target KEN pada tahun ini. Pada 2023, bauran energi terbarukan hanya 13,1%, sedangkan pada Mei 2025 tidak bertambah banyak hanya menjadi 14,2% atau 21 TWh

 

Persentase energi suryadan angin pun hanya menyumbang sekitar 0,24%, jauh di bawah rata-rata global 13%. Sedangkan energi air menyumbang 8%. Pada 2024, pasokan energi dalam negeri masih bergantung pada bahan bakar fosil dengan persentase  hingga 90,4%.

 

Meski janji yang diucapkan di publik tampak ambisius, Prabowo harus membawa agenda transisi energi ke tingkat yang lebih serius. Nota kesepahaman dan perjanjian bilateral harus segera diimplementasikan dengan kerangka kerja yang berkeadilan. 

 

Selama ini, tantangan transisi energi adalah kebutuhan pendanaan yang sangat besar dan iklim investasi yang tak mendukung. Salah satu penyebab pendanaan energi terbarukan masih terpinggirkan adalah kebijakan pemerintah yang cenderung memprioritaskan energi fosil. 

 

Analisis Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memaparkan, negara membayarkan US$8 miliar atau sekitar Rp123 triliun pada 2022 saja untuk subsidi dan kompensasi kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang masih sangat bergantung pada batu bara.

 

Angka ini jauh melampaui insentif untuk energi terbarukan yang masih kecil. Rata-rata realisasi pendanaan APBN untuk iklim setiap tahun Rp76,3 triliun per tahun atau 3,2% dari APBN.

 

Kondisi ini membuat investor asing dan domestik enggan menanamkan modal secara agresif di sektor energi terbarukan. Meski potensi Indonesia sangat besar, dengan energi surya hingga 200 GW. Secara umum, potensi listrik dari energi terbarukan dari berbagai sektor bisa mencapai 432 GW, atau 7 - 8 kali dari total kapasitas pembangkit terpasang saat ini.

 

Jika Prabowo ingin meninggalkan warisan diplomasi yang berarti, ia harus memastikan bahwa kesepakatan internasional untuk transisi energi berjalan beriringan dengan reformasi kebijakan dan pendanaan dalam negeri. Misalnya, Prabowo dapat mempercepat pemangkasan kontribusi energi fosil, memperbaiki regulasi yang menghambat investasi, serta memperkuat kepastian hukum bagi investor energi hijau. 

 

Tanpa langkah konkret di dalam negeri, diplomasi energi hijau Indonesia akan tetap berputar pada tataran simbolik, sementara tantangan krisis iklim semakin mendesak.

Populer

Terbaru