Pemadaman Listrik Kwitang: Pentingnya Warga Urunan Memasang PLTS Mandiri
Sita Mellia • Penulis
08 September 2025
11
• 4 Menit membaca

Sabtu malam, 30 Agustus 2025, Kwitang diliputi suasana menegangkan akibat pemadaman listrik secara tiba-tiba, disertai penembakan peluru karet dan gas air mata yang diarahkan kepada massa. Ini terjadi setelah massa berdemonstrasi di depan Markas Komando Korps Brimob pasca wafatnya Affan Kurniawan akibat dilindas dengan kendaraan polisi.
Tindakan represif yang melukai massa ini sangat disayangkan. Ditambah, tak ada penerangan membuat relawan medis kala itu kesulitan menangani demonstran yang terluka. Listrik tak sepatutnya dijadikan pemerintah sebagai alat pembungkaman dan kekerasan terhadap warga.
Untuk memitigasi hal yang lebih buruk—menghindari jatuhnya korban lagi, ini menjadi momentum tepat untuk memikirkan bagaimana warga bisa mandiri listrik secara berkelanjutan.
PLTS komunitas: #WargaJagaWarga
Dengan membayangkan situasi serupa, kita dapat menengok bagaimana surya bisa diandalkan untuk menopang energi di zona konflik sekalipun, seperti yang terjadi di Gaza, Palestina.
Sejak 2021, Israel memutus aliran listrik di Gaza sebagai bentuk pembatasan ruang gerak terhadap warga sipil. Namun, berkat masifnya pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, rumah sakit dan bisnis bisa sedikit terselamatkan. Pada 2023 saja, satu per tiga populasi dan lebih dari 50% bisnis di Gaza telah memasang PLTS atap.
Masyarakat pun dapat mencontoh kemandirian energi warga Gaza.
Indonesia yang masyarakatnya lekat dengan gotong royong dapat melirik praktik koperasi PLTS sebagai badan usaha bersama untuk menyediakan listrik komunitas.
Indonesia dapat mencontoh aksi 700 rumah tangga di Minnesota, Amerika Serikat, misalnya. Mereka merasa aman karena memiliki PLTS sendiri yang tak masuk jaringan pusat—PLTS off-grid.
Berawal dari kesadaran akan perlunya energi yang terjangkau dan bersih, warga Minnesota membentuk koperasi bernama Cooperative Energy Futures pada 2009. Tujuannya agar warga bisa mengelola listriknya sendiri. Karena bersifat koperasi, masing-masing anggotanya memiliki kepemilikan yang sama.
Dengan dana US$ 16 juta (setara Rp 261–262 miliar), koperasi ini sekarang berhasil membangun 13 MW PLTS di 8 taman di Minnesota. Harga ini dua kali lipat lebih murah dibanding membangun PLTU batu bara baru dengan kapasitas yang sama di Indonesia—dengan asumsi membangun PLTU baru di Indonesia masih di harga US$ 1,7–2 juta/MW.
Paling tidak, dalam 25 tahun ke depan, tagihan listrik mereka lebih murah dibanding yang lain. Penerangan mereka pun tak bisa dipadamkan secara tiba-tiba oleh pemerintah.
Koperasi ini juga sengaja menargetkan warga berpendapatan rendah—sebuah contoh transisi energi yang berkeadilan. Caranya, koperasi ini bekerja sama dengan perusahaan lokal Xcel Energy untuk menyediakan kredit tagihan kepada pelanggan, sehingga mereka tak perlu pusing dengan biaya awal pemasangan PLTS yang cukup menguras kantong.
Hasilnya, anggota koperasi bisa menikmati penghematan tagihan listrik hingga 10% per tahun. International Renewable Energy Agency (IRENA) telah menyebutkan, kepemilikan energi berbasis komunitas dapat meningkatkan distribusi sumber energi terbarukan dan membantu mengurangi tagihan listrik bagi anggota komunitas.
Menurut hitungan Center of Economics and Law Studies (CELIOS) pada tahun 2024, jika warga Indonesia ingin mempraktikkan hal serupa dengan membangun PLTS berbasis koperasi, mereka berpotensi punya pendapatan tambahan sekitar Rp9.710 triliun atau rata-rata Rp388 triliun selama 25 tahun.
Pun dengan keuntungan yang didapat negara, berkat banyak menyerap tenaga kerja, pertumbuhan PLTS berbasis komunitas dapat berkontribusi terhadap perekonomian dengan nilai total mencapai Rp10.463 triliun selama 25 tahun ke depan—Rp419 triliun rata-rata per tahun. Dari sektor ini saja, selama 25 tahun pemerintah bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi sekitar 2% setiap tahun.
Desa Muara Enggelam, Kalimantan Timur, misalnya, berhasil menambah pendapatan sebanyak miliaran rupiah di tahun 2024, salah satunya berkat penjualan listrik komunal berbasis tenaga surya selama delapan tahun belakangan. Sebanyak 150 panel surya dikelola sendiri oleh BUMDes atau Badan Usaha Milik Desa Muara Enggelam. Hasilnya, rumah tangga hanya perlu urunan Rp. 100 ribu per bulannya untuk menikmati listrik 24 jam.
Warga bisa lebih berdaya lagi jika pemerintah menyediakan skema net-metering—agar warga bisa menjual kelebihan listriknya ke PLN. Bayangkan jika koperasi energi bisa membuat net metering sendiri di lingkup komunitasnya, listrik hasil simpanan di siang hari tidak mubazir. Pendapatan dari penjualan listrik ini dapat diputar kembali untuk anggota.
Secara teknis, koperasi bisa membangun jaringan listrik mikro yang mencatat aliran listrik antar rumah, kemudian mengkonversinya menjadi saldo energi. Sayang, sejak adanya Peraturan Menteri (Permen) ESDM 2/2024, pemerintah tak lagi mengizinkan kredit ekspor listrik PLTS atap ke PLN. Artinya, koperasi tidak bisa membuat net metering resmi yang diakui negara.
Saatnya demokratisasi energi
Untuk menghindari tindakan represif terulang di masa depan, warga sipil perlu saling menguatkan, saling menjaga dan saling menopang satu sama lain. Salah satunya dengan memulai membangun PLTS atap berbasis koperasi.
Di tengah sulitnya ekonomi dan tekanan demonstrasi warga sipil, negara juga seharusnya hadir memberikan ruang dialog yang demokratis untuk menjawab keresahan warga, alih-alih menyelimuti mereka dengan rasa takut. Ini juga demi memenuhi kebutuhan listrik warga sendiri untuk menghindari pemadaman sepihak di masa depan.