Bagaimana Huru-hara Politik Mengganggu Transisi Energi

Robby Irfany Maqoma Penulis

11 September 2025

total-read

5

6 Menit membaca

Bagaimana Huru-hara Politik Mengganggu Transisi Energi

Kredit foto: David Wadie Fisher-Freberg/Wikimedia

Akhir Agustus hingga setidaknya 3 September lalu, demonstrasi di 14 kota di Indonesia turut dinodai oleh huru-hara: penjarahan, pengrusakan gedung, pembakaran. Sayangnya, aparat membalas dengan aksi represif, termasuk melindas Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring yang berada di tengah-tengah kerumunan di Jakarta. 

Huru-hara ini memperlambat aktivitas ekonomi di kota-kota pusat demonstrasi. Banyak toko dan pusat perbelanjaan tutup lebih awal. Sejumlah pabrik juga menghentikan produksi. 

Indikator ekonomi makro juga terimbas. Nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah, diikuti dengan Indeks Harga Saham Gabungan. Ada juga investor yang melepas obligasi mereka dalam periode ini hingga Rp2,1 triliun. Lembaga pemeringkat utang Fitch Ratings bahkan mengingatkan bahwa stabilitas politik Indonesia masuk dalam peringkat terburuk dibandingkan indikator lainnya.

Demonstrasi sejatinya berakar pada kemuakan masyarakat terhadap kinerja otoritas negara. DPR menaikkan tunjangan di tengah kesulitan ekonomi. Sementara pemerintah menghambur-hamburkan uang rakyat untuk program yang tidak efektif, tanpa partisipasi publik, dan sarat risiko korupsi.

Tanpa perubahan besar dari otoritas negara, kerusuhan serupa berisiko terjadi lebih besar di masa depan. Apalagi Indonesia masih dibayangi instabilitas politik lantaran Presiden Prabowo Subianto dianggap tidak memiliki rekam jejak yang bagus dalam menanggapi kritik dan penolakan masyarakat. Jika hal ini dibiarkan, instabilitas politik dapat mengancam upaya Indonesia dalam memenuhi target penting lainnya, yakni transisi energi yang krusial dalam meredam krisis iklim.

Instabilitas politik mengganggu transisi energi

Menurut laporan Badan Energi Internasional tahun 2023, sekitar 70% investasi energi terbarukan global masih terkonsentrasi di negara maju. Negara berkembang, meski memiliki potensi besar, sering gagal menarik investasi. 

Hal ini sangat disayangkan karena banyak negara berkembang—seperti Indonesia—yang masih bergantung pada energi fosil. Mayoritas listrik Indonesia masih dipasok dari pembangkit listrik tenaga uap yang kini berjumlah 276 unit.

Salah satu hambatan terbesar transisi energi adalah instabilitas politik, yang menciptakan ketidakpastian dalam kebijakan, mengurangi kepercayaan investor, dan memperlambat inovasi teknologi. 

Padahal, data PBB menunjukkan bahwa lebih dari 733 juta orang di dunia masih belum memiliki akses listrik, sebagian besar berada di negara-negara berkembang yang rentan terhadap guncangan politik. Dalam konteks ini, instabilitas politik bukan sekadar isu tata kelola, melainkan faktor penentu apakah energi terbarukan bisa menjadi tulang punggung masa depan energi mereka.

Misalnya, penelitian Wang et al. (2024) yang menganalisis 60 negara periode 2002–2020 menemukan bahwa instabilitas politik berdampak negatif terhadap inovasi energi terbarukan, khususnya pada sektor surya dan angin. Dua teknologi ini membutuhkan investasi jangka panjang, kepastian regulasi, serta dukungan riset dan pengembangan (R&D). 

Di negara dengan tingkat korupsi tinggi dan demokrasi lemah, gejolak politik dapat mengurangi kecepatan inovasi, sehingga proyek energi terbarukan seringkali tertunda atau gagal terealisasi. Dengan kata lain, semakin rapuh tata kelola negara, semakin rapuh pula perkembangan energi bersih.

Studi lainnya dari Uddin et al. (2024) mencatat bahwa inflasi, harga minyak yang berfluktuasi, dan instabilitas politik menjadi faktor penghambat utama di negara berkembang. Faktor non-ekonomi seperti globalisasi sosial, teknologi, lingkungan baru bisa mendorong investasi jika didukung oleh kebijakan yang konsisten. 

Shao dan Wang (2025) menunjukkan bagaimana stabilitas politik mendukung inovasi teknologi energi terbarukan melalui tiga jalur utama: stabilitas finansial, stabilitas industri, dan keberlanjutan riset dan pengembangan. Negara-negara berkembang dengan risiko ekonomi tinggi justru mendapatkan manfaat besar ketika stabilitas politik bisa dijaga. 

Menariknya, analisis mereka juga menemukan bahwa rendahnya risiko ekonomi dapat sedikit menggantikan kebutuhan akan stabilitas politik, meski tidak sepenuhnya. Hal ini menegaskan bahwa politik yang stabil tetap menjadi syarat minimum agar ekosistem inovasi energi bisa tumbuh.

Nigeria dapat menjadi contoh negara berkembang yang kaya sumber daya tetapi rentan persoalan politik. Penelitian (yang belum mendapatkan telaah sejawat) dari Iormom et al. tahun 2024 menemukan bahwa ketidakpastian kebijakan ekonomi telah memperlambat adopsi energi terbarukan. Meski pemerintah meluncurkan program energi surya untuk desa-desa terpencil, ketidakpastian politik dan keamanan di beberapa wilayah membuat implementasi tidak konsisten. 

Studi Iormom menunjukkan bahwa ketika institusi diperkuat dan kebijakan dibuat berkelanjutan, adopsi energi terbarukan akan berjalan. 

Pekerjaan rumah bagi Indonesia

Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk meredam gejolak politik. Namun, meredam di sini bukanlah membungkam kritik atau melarang demonstrasi, melainkan membangun stabilitas politik yang sehat melalui keterlibatan masyarakat. 

Pekerjaan pertama yang dapat dilakukan adalah memperkuat penyusunan kebijakan berdasarkan partisipasi masyarakat secara bermakna. Negara perlu mengevaluasi besar-besaran kebijakan ini, mengingat demonstrasi Agustus lalu juga dipantik oleh ulah DPR yang membalas aspirasi masyarakat dengan sindiran bahkan hinaan.

Untuk meningkatkan aspirasi, pemerintah dapat membuat banyak forum untuk mendengarkan masukan publik, memberikan dukungan untuk meningkatkan partisipasi mereka, serta merasakan keresahan masyarakat secara langsung. Kebijakan yang lahir dari partisipasi ini dapat meminimalkan potensi keriuhan karena berhulu kesepakatan warga dan wakilnya di DPR maupun pemerintahan dengan prosedur yang fair.

Di lain pihak, transisi energi juga dapat menjadi salah satu kunci untuk meredam potensi konflik dengan cara demokratisasi energi. Maksudnya, masyarakat tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga aktor aktif—tak hanya dalam perumusan kebijakan, melainkan juga pengelolaan energi bersih. Sebab energi merupakan kebutuhan dasar masyarakat, mulai dari bahan bakar untuk memasak, bekerja, hingga bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Mati listrik di Pulau Jawa pada 2019, misalnya, dapat menjadi contoh bagaimana persoalan energi dapat menciptakan keriuhan publik.

Indonesia memiliki kekayaan energi surya yang besar. Potensinya mencapai 7.714,6 gigawatt (GW). Sebagian di antaranya—yakni sekitar 32,2 GW, dapat dipanen dari pembangkit listrik tenaga surya, khususnya di atap bangunan (PLTS atap). Namun, pemanfaatan di lapangan masih sangat rendah: kapasitas terpasang energi surya baru sekitar 0,6 GW pada 2023.

Studi dari CELIOS memperkirakan bahwa transisi energi berbasis partisipasi komunitas dapat menciptakan hingga 7 juta lapangan kerja hijau baru pada 2045 dan meningkatkan PDB sebesar 2-3% per tahun dalam 25 tahun ke depan. Dengan melibatkan komunitas lokal sebagai prioritas, manfaat ekonomi akan lebih merata, mengurangi ketimpangan, sekaligus memperkuat basis sosial politik.

Sebaliknya, Indonesia harus menghindari pola pembangunan energi berskala besar yang hanya menguntungkan elit tertentu. Model seperti itu berpotensi memperuncing ketimpangan dan menjadi bara kerusuhan sosial, sebagaimana pernah tercermin dalam konflik agraria di Wadas, Jawa Tengah. Ketergantungan pada proyek raksasa seperti PLTU batu bara atau mega proyek energi terpusat juga dapat menghambat pemerataan akses listrik ke desa-desa terpencil.

Oleh karena itu, transformasi energi yang dipimpin pemerintahan Prabowo ke depan juga harus menyentuh aspek demokratisasi energi, bukan hanya memperluas kapasitas listrik. Demokratisasi energi berarti memberikan ruang bagi koperasi energi desa, proyek surya atap komunitas, hingga insentif bagi UMKM energi bersih. Langkah ini tidak hanya akan memperkuat stabilitas politik, tetapi juga meningkatkan daya saing ekonomi lokal.

Di sisi lain, Indonesia juga harus membenahi pekerjaan rumah klasik: membangun kebijakan yang partisipatif, menghargai berbagai bentuk kritik, memberantas korupsi, serta mengurangi kebijakan yang terlalu sentralistik. Tanpa itu semua, transisi energi berisiko terjebak dalam pola lama—sekadar mengganti sumber energi tanpa menyelesaikan akar masalah instabilitas politik dan sosial yang terjadi saat ini.

 

Populer

Terbaru