Banjir Sumatra layak jadi pemantik pembenahan sistem kelistrikan

Robby Irfany Maqoma Penulis

05 Desember 2025

total-read

2

6 Menit membaca

Banjir Sumatra layak jadi pemantik pembenahan sistem kelistrikan

Kredit foto: PLN

Banjir bandang yang melanda 51 kabupaten dan kota di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh pada akhir November lalu turut mengakibatkan listrik terputus. Misalnya di Sumatra Barat, lebih dari 270 ribu pelanggan PT PLN sempat tidak bisa mengakses setrum karena sekitar 2.302 gardu induk dan 74 penyulang rusak. Sementara di Aceh, listrik padam berdampak bagi 727 ribu pelanggan lantaran sebanyak 253 penyulang dan lebih dari 9.600 gardu distribusi rusak. Di Sumatra Utara, terdapat 103 tower listrik dan 2.365 gardu yang sempat rusak

 

Pemerintah memang mengupayakan perbaikan di sana-sini, termasuk memasang generator listrik darurat. Namun tetap saja, hingga sepuluh hari pascabencana, tak sedikit penyintas yang harus bertahan tanpa listrik. Masih banyak pula pusat-pusat keramaian di kabupaten terdampak yang gelap pada malam hari lantaran setrum belum menyala.

 

Padamnya listrik akibat banjir Sumatra semakin memperkuat bukti bahwa sistem kelistrikan Indonesia masih rentan terganggu saat bencana. Sistem yang terdiri dari menara-menara transmisi, pembangkit listrik, dan kabel yang menjuntai hingga ke rumah warga akan begitu gampang terganggu dalam sekali limpasan banjir bandang, guncangan hebat, ataupun ombak dahsyat dari pesisir. Risiko ini semakin tinggi karena iklim terus berubah, sehingga bencana siklus air seperti tanah longsor dan banjir bandang kian intens. 

 

Gangguan akibat bencana mungkin sulit dihindari, tapi mitigasi bencana yang optimal dapat mengurangi dampaknya. Mitigasi pun termasuk usaha meningkatkan ketangguhan sektor energi menghadapi bencana. Ketangguhan ini turut ditentukan oleh bagaimana jaringan listrik kita dirancang sejak awal. Ketika desainnya terlalu bertumpu pada satu sistem, gangguan kecil saja bisa menjalar luas dan memakan waktu lama untuk dipulihkan. 

 

Karena itu, aspek desain kelistrikan Indonesia sebenarnya menjadi bagian penting dari persoalan ini.

 

Indonesia memiliki desain sistem kelistrikan yang terpusat. Sistem ini ditopang sejumlah pembangkit listrik besar yang saling terhubung dalam jaringan transmisi dan distribusi hingga ke pelanggan besar (pabrik-pabrik) maupun kecil (rumah-rumah). 

 

Di Pulau Sumatra, hampir semua kebutuhan listrik penduduk bertumpu pada dua sistem besar: Sumatra Bagian Utara (Sumbagut) dan Sumatra Bagian Selatan dan Tengah (Sumbagselteng). Sistem ini dikelola oleh PLN. Perencanaan pembangkit dan pengembangan jaringan pun ditentukan langsung oleh PLN.

 

Sistem kelistrikan Sumatra per Oktober 2024. Sumber: PLN

 

Sistem ini memang bagus untuk memastikan penyaluran listrik yang massal dan kontinu. Namun, sistem ini memiliki sejumlah kelemahan. Salah satunya, ketika terjadi gangguan, dampaknya berisiko bagi banyak pelanggan. Ini termasuk mereka yang jauh dari pusat gangguan, karena masih terhubung dalam satu jaringan.

 

Aceh, misalnya, pernah mengalami pemadaman listrik beberapa hari karena kerusakan pembangkit. Mati setrum pun sempat melanda Pulau Jawa pada 2019 karena akar masalah serupa. Listrik padam di Sumatra menjadi penambah daftar panjang persoalan ini.

 

Tentu saja masalah ini tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di banyak negara. Perbedaannya, sejumlah otoritas kelistrikan di beberapa negara lain berbenah. Mereka meredam kerentanan dengan mengurangi ketergantungan terhadap sistem kelistrikan terpusat. Salah satu opsi yang mereka tempuh adalah menerapkan sistem listrik terdesentralisasi melalui jaringan mikro (microgrid).

 

Pembenahan melalui adopsi microgrid

Microgrid merupakan jaringan listrik kecil yang dapat beroperasi terpisah dari sistem listrik besar. Skalanya berbeda-beda, begitu pula infrastrukturnya mulai dari pembangkit, kabel transmisi, bahkan gardu induk. Semuanya tergantung pada besarnya kebutuhan listrik maupun cakupan operasi—dari tingkat dusun hingga kota. 

 

Di sejumlah negara, jaringan ini terbukti menjadi juru selamat akses listrik penduduk di kala bencana. Contohnya di kota Adjuntas, Puerto Rico—wilayah Amerika Serikat. Kota ini tetap benderang di tengah berbagai kejadian mati lampu karena badai yang kerap melanda wilayah tersebut. 

 

Di kota ini, masyarakat bergotong royong membangun jaringan listrik. Setrum dipasok pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang dipasang di atap rumah, pekarangan, maupun tempat publik lainnya. Jaringan mikro turut dilengkapi baterai yang bersiaga memasok energi saat malam tiba. 

 

Di Jepang, microgrid di kota Sendai terbukti tahan terhadap gempa dahsyat 2011. Jaringan yang berkapasitas 1 megawatt (MW) ini bahkan menjadi juru selamat karena tetap memasok listrik untuk rumah sakit setempat. Sejumlah apartemen ataupun perumahan di Jepang juga dilengkapi microgrid berbasis energi terbarukan yang tetap berjalan meski gempa 2011 melanda. Teknologi jaringan pintar yang bisa secara otomatis mengatur lalu lintas setrum juga membuat microgrid di sana semakin andal. 

 

Microgrid sebenarnya sudah diterapkan di Indonesia, terutama untuk menyalakan listrik di pulau-pulau kecil. Misalnya di Sumba, Nusa Tenggara Timur, ataupun Nusa Penida, Bali. 

 

Walau demikian, penerapan microgrid belum menjadi paradigma dalam perencanaan listrik Indonesia. Penyambungan listrik PT PLN, termasuk ke daerah terpencil, masih berkutat pada perluasan sistem besar. Padahal, semakin luas cakupan sistem listrik, risiko penyusutan daya yang disalurkan juga semakin tinggi

 

Masyarakat sebenarnya bisa saja bergotong royong memenuhi kebutuhan listrik sendiri melalui microgrid. Namun, inisiatif ini terbatas pada area tertentu seperti desa. Padahal, belajar dari Sendai maupun Adjuntas, microgrid bisa diterapkan di tingkat kota. Setidaknya jaringan ini bisa menjadi penyangga apabila pasokan listrik PLN terganggu. 

 

Sayangnya, Undang Undang Ketenagalistrikan saat ini hanya memungkinkan PT PLN sebagai operator dalam satu sistem kelistrikan. Pihak lainnya hanya bisa beroperasi di luar jaringan PLN.

 

Momentum pembenahan

Banjir Sumatra semestinya bisa memantik pembenahan sistem kelistrikan Indonesia agar bisa mengakomodasi penerapan microgrid lebih luas lagi. Apalagi, Presiden Prabowo Subianto memiliki ambisi membangun 100 gigawatt (GW) PLTS di tingkat desa. Keduanya bisa menjadi momentum penggunaan microgrid di desa, bahkan antardesa, yang beroperasi secara fleksibel.

 

Memang, tak ada jaminan bahwa infrastruktur microgrid tidak rusak saat terkena banjir bandang ataupun gempa. Namun, dengan perencanaan yang memadai, kita bisa meredam tingkat kerusakannya. Panduan dari Bank Dunia bisa menjadi rujukan untuk memperkuat standar infrastruktur listrik yang lebih tangguh bencana, terutama di daerah-daerah berisiko tinggi dan terisolasi.

 

Tentu langkah ini perlu dibarengi mitigasi bencana yang lebih baik. Mulai dari penguatan sistem peringatan dini hingga ke daerah-daerah terpencil, hingga respons bencana yang lebih optimal. Misalnya, saat peringatan dini tiba, otoritas daerah dan pengelola microgrid bisa segera mengupayakan prepositioning atau menyetok peralatan yang berisiko rusak karena bencana. Tujuannya untuk mengurangi masalah perbaikan yang memakan waktu karena kesulitan mendatangkan stok peralatan dari luar daerah. Masalah ini pun tampak dalam banjir Sumatra.

 

Terakhir, efektivitas penerapan microgrid amat bergantung pada partisipasi masyarakat. Warga harus terlibat secara aktif sejak perencanaan jaringan listrik yang paling cocok untuk kebutuhan mereka. Mereka pun berhak mendapatkan pendampingan sejak perencanaan hingga pelibatan ini bisa memenuhi dua tujuan: kemandirian energi masyarakat dan kepiawaian mereka dalam mengurangi risiko bencana.

Populer

Terbaru