Sulitnya Daerah Membangun Energi Terbarukan

Sita Mellia Penulis

03 Desember 2025

total-read

6

4 Menit membaca

Sulitnya Daerah Membangun Energi Terbarukan

Presiden Prabowo Subianto menargetkan Indonesia dapat menggunakan 100% energi terbarukan pada 2035. Namun kenyataannya, rencana ini belum merembes ke daerah. Pemerintah daerah masih menghadapi kesenjangan regulasi, fiskal, dan koordinasi antarlembaga sehingga transisi energi sulit dijalankan.

M Arief Vilgy, peneliti The Habibie Center, mengemukakan tantangan yang dihadapi daerah. Berdasarkan hasil risetnya, pemerintah provinsi memiliki kewenangan paling terbatas, lantaran kebijakan transisi energi hanya dipegang oleh pemerintah pusat. Misalnya, perumusan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) dan penentuan tarif listrik yang hampir sepenuhnya keputusan ini dipegang oleh PT PLN serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

“Salah satu narasumber riset kami juga kesulitan ketika mau memasang PLTS atap. Oleh karena mereka (pemerintah provinsi) mengikuti kebijakan pusat seperti skema net metering yang dihapus (tidak bisa menjual listrik dan mengurangi tagihan listrik), minat mereka berkurang,” tambah Arief ketika memaparkan riset pada seminar ‘Mewujudkan Demokrasi Hijau: Penguatan Kelembagaan Transisi Energi untuk Keadilan Sosial dan Kelestarian Lingkungan’ yang diadakan Habibie Center di Jakarta (26/10/2025).

Edison Siagian, Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I Kementerian Dalam Negeri, menjelaskan bahwa persoalan kewenangan turut menjadi sumber kebingungan pemerintah daerah. Ia merujuk pada UU No 23 Tahun 2014 yang membagi urusan energi dan sumber daya mineral antara pusat dan provinsi, tanpa memberikan kewenangan apapun kepada kabupaten atau kota.

“Kalau melihat UU itu, belum ada pembagian jelas antara energi baru dan energi terbarukan. Perpres No 11 Tahun 2023 memang sudah menambah urusan energi baru dan terbarukan ke dalam kewenangan provinsi, tetapi kewenangan ini membutuhkan NSPK (norma, standar , prosedur, dan kriteria) agar bisa diimplementasikan,” ujarnya.

Menurutnya, NSPK bersifat krusial sebagai panduan pelaksanaan bagi daerah. Pemerintah daerah membutuhkan kepastian regulasi dan pendampingan teknis dari pusat melalui NSPK dalam bentuk kebijakan setingkat Keputusan Kementerian/Lembaga. Nantinya, pelaksanaan kebijakan ini akan didampingi Pembinaan dan Pengawasan (Binwas) Umum dan Binwas Teknis Kementerian Dalam Negeri. “Tanpa NSPK, pemerintah daerah menjadi gamang. Dengan NSPK, fungsi pengawasan pusat terhadap transisi energi daerah bisa berjalan”,  ucap Edison.

Dari pendataan yang dilakukan, Edison mencatat ada 33 provinsi yang mengalokasikan anggaran daerah untuk urusan energi terbarukan. Jumlahnya masih tergolong kecil karena bergantung pada kewenangan yang diberikan dan komitmen daerah. “Jawa Barat punya komitmen kuat sehingga lebih maju dalam EBT,” tambahnya.

Jawa Barat menjadi provinsi yang paling prestisius dalam menaikkan bauran energi terbarukan, bahkan melebihi target nasional. Meski begitu, pemerintah daerahnya juga menemukan tantangan. Permadi Mohammad Nurhikmah, Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat mengatakan, pemerintah provinsi tak punya banyak kewenangan untuk membangun energi terbarukan. 

 

Kita di pemerintah daerah itu dasarnya adalah apa yang menjadi kewenangan kami, di mana kewenangan kami itu hanya izin untuk membangun PLTB dan biofuel, yang mana kalau di Jawa Barat, kedua sumber energi ini tidak ada”, ujarnya.

 

Ia juga menjelaskan, kondisi tersebut membuat daerah kesulitan memenuhi tuntutan penyusunan Rencana Umum Energi Daerah (RUED). “Kami di Pemda Jawa Barat bingung karena tidak punya kewenangan, tapi diminta menyusun RUED. Kami sepakat bahwa kita membutuhkan NSPK. Sebenarnya, Jawa Barat sudah melebihi target (2025 sudah mencapai 24,64%) sehingga kami tidak pakai RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Untuk RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), kami punya target sendiri,” kata Permadi.

Permadi menambahkan, kesenjangan regulasi tidak hanya terjadi pada RPJMN, tetapi juga pada RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) yang belum selaras dengan kebutuhan transisi energi daerah.

Butuh reformasi anggaran

Sementara itu, Arief dari The Habibie Center menekankan bahwa Indonesia membutuhkan reformasi fiskal besar-besaran untuk mempercepat transisi energi. “Narasumber kami menyampaikan bahwa ada keterbatasan anggaran, sehingga investasi dari luar APBN sangat diperlukan. Masalahnya, investor butuh kepastian kebijakan,” ujar Arief.

Sayangnya, kata Arief, kebijakan energi saat ini masih lebih mengistimewakan energi fosil dibandingkan energi terbarukan. “(Kebijakan) domestic market obligation masih mensubsidi energi fosil, bukan energi terbarukan. Peta jalan transisi energi juga belum berbasis waktu,” jelasnya.

Arief menambahkan, Indonesia perlu menutup kesenjangan fiskal dengan memperbaiki berbagai instrumen anggaran serta belanja. Contohnya, besaran pajak karbon yang terlalu rendah dan subsidi listrik yang saat ini lebih banyak menyasar energi fosil terus naik. “KPK menemukan kerugian subsidi listrik ke batu bara mencapai Rp1,2 triliun. Artinya, subsidi ini tidak tepat sasaran dan harus dialihkan ke pengembangan energi terbarukan,” tegasnya.

Dari perspektif akar rumput, tantangan juga dirasakan pemerintah desa di tengah menurunnya dana transfer ke daerah. Amri Mohammad Rizaldy, Programme Development Officer Institute for Management of Natural Resources, Energy and Environment (IREEM), memaparkan desa punya ruang gerak yang sempit.

“Dana desa itu Rp 1 miliar per tahun dan harus menjamin ketahanan pangan. Lalu 30% untuk jaminan koperasi desa. Jadi 50% sudah habis. Tinggal Rp500 juta sisanya untuk kebutuhan lain seperti perbaikan jalan dan lainnya,” jelas Amri.

Dengan anggaran yang sangat terbatas, investasi energi terbarukan nyaris mustahil dilakukan desa secara mandiri. “Sangat terbatas sekali,” tegas Amri yang juga menjadi ketua koperasi di desanya.

Populer

Terbaru