Repurposing PLTU ala JETP: Ilusi Jalan Keluar Ketergantungan Batu Bara

Cintya Faliana Penulis

29 November 2025

total-read

3

6 Menit membaca

Repurposing PLTU ala JETP: Ilusi Jalan Keluar Ketergantungan Batu Bara

Kredit foto: Trend Asia

 

Setelah dua tahun berjalan, Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) mengeluarkan Laporan Progres 2025. Sebagai program kerja sama antar negara untuk mendorong penurunan emisi sektor energi Indonesia, laporan ini merangkum rencana investasi terhadap proyek-proyek transisi energi beberapa tahun mendatang.

 

Area fokus investasi (Investment Focus Area/IFA) JETP meliputi enam bagian. Salah satu di antara fokus ini adalah repurposing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan sejumlah mekanisme. Repurposing merujuk pada modifikasi PLTU batu bara untuk dapat digunakan lebih lama dengan ‘mode operasi baru’ yang dianggap dapat menurunkan emisi. 

 

Pada 2023, JETP mengeluarkan rencana CIPP yang berfokus pada pensiun dini PLTU batu bara. Dua PLTU yang rencananya akan dipensiunkan adalah PLTU Cirebon-1 dan PLTU Pelabuhan Ratu. Selang dua tahun, rencana tersebut tidak lagi menjadi prioritas dan bergeser menjadi repurposing. Mengapa rencana ini bukan solusi terbaik? 

 

Skema repurposing PLTU

Terdapat tiga pendekatan repurposing yang disusun oleh JETP. Pertama, PLTU dipensiunkan lebih awal dari rencana dan dinonaktifkan, kemudian lahan dan aset PLTU dimanfaatkan kembali untuk pembangkit energi terbarukan.

 

Kedua, fleksibilitas operasional (OpFlex). Melalui pendekatan ini, PLTU tidak lagi diposisikan sebagai penghasil listrik utama, melainkan penyedia layanan fleksibilitas jaringan di lokasi yang sama. 

 

Ketiga, Lower Emissions Continuous Output (LECO) atau PLTU tetap beroperasi dengan klaim emisi lebih rendah. Teknologi yang diusulkan adalah penggunaan co-firing biomassa dan penangkapan karbon (CCS/CCUS).

 

Laporan JETP memaparkan daftar PLTU dengan total kapasitas 6,3 gigawatt (GW) yang masuk dalam skrining. Hasil skrining tersebut menunjukkan seperempat di antaranya layak untuk dilakukan pensiun dini dan repurposing. 

 

Sedangkan, sisanya sekitar 4,7 GW dinilai tidak sesuai untuk pensiun dini maupun repurposing. Alasan utama yang digunakan adalah faktor lokasi geografis serta keterbatasan potensi energi terbarukan di sekitar area pembangkit. Untuk PLTU dalam kategori ini, JETP menerapkan pendekatan fleksibilitas operasional sebagai opsi yang diklaim paling optimal.

 

Membawa solusi palsu

Pendekatan OpFlex dan LECO inilah yang menjadi masalah. Jika dilihat dari tabel di atas, tidak ada indikator jelas untuk ketentuan PLTU yang layak dipensiundinikan. Misalnya, PLTU Suralaya-3 dan Suralaya-4 dianggap tidak layak untuk diakhiri, meski usianya sudah memasuki lebih dari 36 tahun. Sementara PLTU Pelabuhan Ratu dan Nagan Raya yang baru berumur 12 tahun dianggap layak untuk dipensiunkan.

 

Analisis CREA mengungkapkan rencana ini memang ‘disengaja’ diarahkan untuk membenarkan pengalihan 77% kapasitas  menuju skema OpFlex, yang dianggap diperlukan untuk ‘menjaga stabilitas jaringan’. Sebaliknya, hanya 23% kapasitas PLTU yang dinilai layak masuk skema pensiun dini. Padahal, skema pensiun dini adalah solusi yang paling memberikan kontribusi bagi pencapaian target nasional. Artinya, langkah ini menunjukkan keengganan JETP terhadap penghentian bertahap yang sebenarnya.

 

Lebih mengkhawatirkan lagi adalah masuknya strategi LECO, yang mengandalkan teknologi seperti Carbon Capture & Utilisation Storage (CCS/CCUS). Sejumlah kajian telah menunjukkan bahwa secara ekonomi, teknologi ini tidak layak dan tidak kompetitif dibandingkan energi bersih. 

 

Riset CERAH telah menghitung bahwa CCS akan membutuhkan air sekitar 357 miliar liter (357 juta m3) untuk kebutuhan pendinginan basah. Angka ini didapat dengan asumsi 34% pasokan listrik tahun 2022 berasal dari PLTU dengan CCS. Secara umum, jumlah ini setara dengan 22 kali lipat kebutuhan air warga Jakarta di tahun 2019.

 

CREA dan IESR menunjukkan bahwa co-firing (pencampuran bahan bakar) biomassa dengan batu bara sebenarnya tidak efektif dalam mengurangi emisi. Proporsi co-firing 20%, misalnya, hanya mengurangi 1,5-2,4% emisi PLTU. Angka ini terlalu kecil dibanding persoalan emisi yang ada. Selain itu, co-firing amonia juga dapat memperburuk kualitas udara, yang pada akhirnya menimbulkan masalah kesehatan.

 

Kalah saing energi terbarukan 

Ketika solusi palsu makin gencar dibawa oleh JETP, energi terbarukan yang terbukti lebih minim emisi justru tidak lagi menjadi prioritas. Dalam Laporan Progres JETP, sepanjang 2025-2030 mendatang, tenaga surya diproyeksikan hanya akan tumbuh hingga 1.719 megawatt (MW) dan tenaga bayu (angin) 455 MW. 

 

Sementara proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di seluruh Indonesia selain Sumatera, diperkirakan bisa meningkat hingga 3.731 MW. Jika proyek PLTA di Sumatera pada 2030 ikut disertakan, maka kapasitas PLTA menjadi 7.331 MW. Pada tahun yang sama, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) akan menjadi 780 MW.

 

Proyek yang lebih berisiko sebenarnya adalah pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Hanya dalam rentang 2026-2027, diperkirakan akan ada 1.048 MW PLTSa terpasang yang didanai oleh JETP. Padahal, pembangunan PLTSa membutuhkan ongkos besar mencapai US$5 juta/MW. Nantinya, listrik ini akan dijual dengan harga 20 sen dolar AS per kilowatt jam (kWh), atau lebih tinggi dari batas atas yang diatur sebelumya di angka 13,5 sen dolar AS/kWh. 

 

Belum lagi dampak kesehatan dari keberadaan PLTSa yang berpotensi menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Warga di sekitar PLTSa Benowo, Surabaya menderita ISPA akibat teknik landfill gas dan gasifikasi selama 2020-2021, yang membuat pembakaran sampah melepas polutan seperti dioksin, merkuri, dan logam berat.

 

Studi kasus PLTU Tenayan Riau

Sebuah riset dari Boston University (2025) menghitung biaya yang dibutuhkan untuk pensiun dini PLTU dengan analisis biaya manfaat atau Cost-Benefit Analysis (CBA) di Indonesia. PLTU Tenayan Riau dengan berkapasitas 2x110 Megawatt (MW) dan beroperasi sejak 2016 menjadi contohnya. 

 

Dalam studi tersebut, terdapat tiga skema yang dihitung. Pertama, Business As Usual (BAU) atau PLTU akan beroperasi hingga usia 30 tahun. Kedua, pensiun dini (retired early/RE) dengan asumsi usia PLTU hanya 7 tahun tanpa pengganti energi. Terakhir, skema alternative renewable (AR) atau PLTU dipensiunkan pada usia 7 tahun dan digantikan dengan pembangkit tenaga surya.

 

Setelah dihitung, dari tiga skema tersebut biaya yang paling mahal adalah pensiun dini tanpa pengganti, bisa memakan dana US$9,1 miliar. Kemudian terburuk kedua adalah skema BAU yang memakan biaya US$7,7 miliar. Pilihan terbaik jatuh pada AR yang membutuhkan biaya paling kecil yaitu US$1,1 miliar. 

 

Riset ini menggunakan konsep kunci “sustainability premium” yang menekankan pada nilai ekonomi dari manfaat sosial-lingkungan pensiun dini. Jika PLTU Tenayan Riau beroperasi seperti biasa hingga 2047, total kerugian sosial (social cost of carbon/SSC) mencapai US$7,6 miliar. Artinya, semakin cepat PLTU dipensiunkan, semakin besar SSC yang bisa dihindari.

 

SSC yang dimaksud salah satunya adalah dampak kesehatan dari operasional PLTU batu bara. Riset CREA dan IESR menunjukkan PLTU berkontribusi terhadap 10 ribu kematian pada 2022. Biaya kesehatan akibat operasional PLTU pun mencapai US$7,4 miliar. 

 

Jika pemerintah tidak menekan penggunaan batu bara seperti saat ini, angka kematian tahunan akan naik menjadi 16.600 kasus. Biaya kesehatan pun meningkat pesat menjadi US$11,8 miliar pada 2028. 

 

Sebaliknya, jika pemerintah memensiunkan PLTU sesuai target coal phase-out atau pengakhiran operasi pada 2040, maka 182 ribu kematian dapat dihindari. Pemerintah dan masyarakat juga tidak akan kehilangan US$130 miliar untuk biaya kesehatan.

 

Ketika menghitung untung-rugi dari pemensiunan PLTU, aspek keuangan semata tidak bisa menjadi satu-satunya variabel utama. Pengambil kebijakan harus memasukkan implikasi sosial, kesehatan, lingkungan, dan ekonomi lokal. Penggunaan CBA yang komprehensif bisa membantu menentukan prioritas PLTU mana yang harus dipensiunkan lebih dulu, jika digunakan dengan perspektif berkeadilan. 

Populer

Terbaru