Bias Sorotan Media soal Transisi Energi: Belum Berpihak pada Komunitas
Cintya Faliana • Penulis
17 Juni 2025
13
• 6 Menit membaca

Pengetahuan masyarakat soal transisi energi dan berbagai aspek di dalamnya seperti energi terbarukan, pekerjaan hijau, serta prosesnya masih sangat terbatas.
Misalnya, masyarakat belum banyak mengetahui kerja sama terbesar di Indonesia—yang mendatangkan investasi miliaran dolar—Just Energy Transition Partnership (JETP). Survei CELIOS menunjukkan 76% dari 1.245 responden tidak mengetahui sama sekali soal JETP.
Setali tiga uang, pengetahuan masyarakat terhadap energi terbarukan pun tidak lebih baik. Survei Katadata menunjukkan, hanya 38% masyarakat yang pernah mendengar dan mengetahui arti dari energi terbarukan. Sementara sisanya, 34% responden pernah mendengar, tapi tidak mengetahui artinya. Sebanyak 27% di antaranya tidak pernah mendengar sama sekali soal energi terbarukan.
Masyarakat yang mengetahui soal energi terbarukan mendapatkan informasi tersebut paling banyak dari sosial media (51%), televisi (48,5%), dan situs berita online (47,8%). Kemudian baru disusul media cetak (23,3%) dan situs pemerintah (15%,8%).
Angka-angka ini menunjukkan pentingnya peran media dalam menginformasikan dan membentuk narasi yang adil terkait transisi energi. Bagaimana sesungguhnya posisi media saat ini?
Kurang berpihak pada komunitas
Remotivi (2024) melakukan riset mengenai pemberitaan 10 media di lima provinsi yaitu DKI Jakarta, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan. Riset ini menggunakan kata kunci ‘transisi energi’ dan ‘energi terbarukan’ untuk melihat perspektif media sepanjang Januari-November 2024.
Hasilnya, terlihat dukungan penuh terhadap transisi energi dan agenda besar Indonesia menuju target emisi bersih atau Net Zero Emission 2060 mendatang. Dukungan ini merupakan sinyal positif, berbeda dengan beberapa negara lain yang masih muncul penolakan dan tentangan terkait krisis iklim serta transisi energi.
Di Amerika Serikat dan Portugal, misalnya, para politisi memanfaatkan media partisan untuk menyoroti energi terbarukan dalam framing negatif. Salah satunya perihal biaya transisi energi yang dianggap bisa menjadi permasalahan ekonomi baru untuk negara. Opini-opini ini menciptakan perbedaan pandangan yang tajam dalam isu energi terbarukan di masyarakat.
Meski suaranya cenderung mendukung, media-media di Indonesia pemberitaan transisi dilakukan masih bias elit atau hanya menyorot perspektif pemerintah dan korporasi. Misalnya, media hanya mengutip terkait kebijakan atau rencana yang dikeluarkan oleh pemerintah atau rencana investasi dari korporasi.
Dari 263 pemberitaan yang dihimpun Remotivi, 38% diantaranya membahas ‘kerja sama’ sebagai tema yang paling sering diangkat. Padahal, isu transisi energi sangat kompleks, termasuk aspek keadilan terhadap masyarakat yang terdampak proyek energi terbarukan maupun pengakhiran tambang batu bara.
Akibat dari dominasi narasi elit ini adalah media cenderung mengutamakan liputan yang membahas pencapaian proyek energi atau komitmen perusahaan dalam transisi energi. Sementara itu, dampak yang terjadi di level masyarakat baik dari aspek sosial maupun ekonomi, tidak menjadi fokus pemberitaan. Terutama, masyarakat di wilayah lokasi proyek.
Riset Remotivi ini menunjukkan kegagalan media menyorot kompleksitas isu transisi energi. Ini terjadi salah satunya karena pengetahuan jurnalis dan editor yang belum menyeluruh soal transisi energi.
Momentum semata
Kebiasaan media memberikan lampu panggung untuk pemerintah, politisi, dan perusahaan untuk membicarakan transisi energi membuat isu ini bergantung pada momen-momen krusial. Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu, energi terbarukan paling banyak dibicarakan oleh para Capres-Cawapres yang sedang berkontestasi.
Kaleidoskop CERAH merangkum dari 25 ribu entri berita sepanjang 2024, secara umum topik terkait lingkungan transisi energi dipicu sebagian besar dari debat Capres dan pemberitaan kebijakan pemerintah. Bahkan, karena isu ini bukan tergolong pemantik perhatian masyarakat, beberapa pihak memanfaatkan pendengung (buzzer) untuk memperkuat narasi dan menjangkau audiens yang lebih luas.
Laporan ini juga mencatat perbincangan terkait transisi energi paling tinggi ada di bulan Januari ketika debat Capres keempat berlangsung. Perbincangan juga naik pada Mei 2024 ketika Presiden Joko Widodo mengizinkan ormas keagamaan mengelola pertambangan.
Tokoh yang paling sering disebut-sebut dalam pemberitaan media adalah Joko Widodo. Sebab, berbagai program yang diusulkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dinilai melanjutkan visi presiden pendahulunya. Beberapa yang paling sering disebut adalah hilirisasi pertambangan nikel dan ibu kota negara (IKN).
Perspektif media kemudian memengaruhi narasi yang beredar di masyarakat. Presiden Prabowo yang berulang kali menggunakan ‘kedaulatan energi’ atau ‘ketahanan energi’ sebagai program utama saat kampanye, justru memanfaatkan hilirisasi nikel sebagai pintu masuk. Padahal, banyak permasalahan sosial ekonomi dalam hilirisasi nikel yang dialami masyarakat sekitar dan tidak tersorot.
Polarisasi isu, di mana media berpijak?
Peneliti Anisa Trisiah (2022) mengambil studi kasus pemberitaan panas bumi di Harian Kompas dan Republika sepanjang 2009-2019. Riset tersebut memaparkan dari 316 pemberitaan dalam 10 tahun, hanya 94 diantaranya yang membahas dampak lingkungan. Sedangkan sisanya berfokus pada ketahanan energi, kebijakan, dan dampak atau kebutuhan ekonomi dengan framing positif sebesar 79% dari pemberitaan.
Senada dengan riset Remotivi, sumber yang digunakan juga mayoritas masih menyorot pemerintah nasional (40%), perusahaan negara dan swasta (35%), kemudian diikuti oleh LSM, pemerintah daerah, dan akademisi (6%).
Masyarakat memiliki suara paling lemah dengan 1% sebagai narasumber utama pemberitaan. Mayoritas pemberitaan dengan sumber masyarakat adalah penolakan warga terhadap pengembangan energi panas bumi karena dampak lingkungan dan sosial, termasuk hubungan spiritual dengan lokasi sumber daya.
Secara umum, pemberitaan terkait panas bumi justru bernada positif. Padahal, sejumlah studi sudah menyajikan perspektif kritis terkait pengembangan energi panas bumi, termasuk dampak negatif dalam proses implementasinya seperti konflik lahan dan pencemaran gas beracun.
Contoh lainnya adalah persepsi publik terkait PLTS Atap di media massa dan media sosial yang cukup berbeda. Setidaknya 60% pemberitaan media massa terkait PLTS Atap bernada positif.
Media cenderung sepakat dengan kebijakan resmi dan narasi kemajuan teknologi ini. Sayangnya, topik yang dibahas masih berkutat di aspek makro seperti kebijakan, pemasangan PLTS di gedung pemerintah dan fasilitas publik.
Di lain pihak, media sosial lebih menyoroti hambatan dan tantangan regulasi yang dialami pengguna PLTS Atap. Pengguna media sosial juga lebih banyak mengeluhkan aspek pemakaian, perawatan, dan suku cadang PLTS Atap.
Media alternatif dan suara yang tak terdengar
Pada akhirnya, cerita dan suara masyarakat terdampak paling banyak dimuat oleh media-media alternatif. Meski jumlah pembaca tahunannya lebih kecil dibanding media mainstream, media alternatif menampilkan perspektif yang lebih beragam terkait transisi energi.
Project Multatuli, misalnya, memiliki kolom AkalAkalanEnergiHijau yang menyorot berbagai solusi palsu terkait energi terbarukan. Mulai dari biomassa, geothermal, hingga hilirisasi nikel.
Setiap meja redaksi memang memiliki independensi untuk menentukan perspektif pemberitaannya. Namun, jika media arus utama tidak kunjung belajar bahwa perspektif berkeadilan dibutuhkan dalam pemberitaan, kepercayaan masyarakat kepada media berisiko semakin merosot. Ketika masyarakat tidak lagi percaya pada media, pada siapa masyarakat mencari fakta?