COP30 Brasil: Momentum Refleksi Prabowo Meninjau Ulang Ambisi Biodiesel

Sita Mellia Penulis

26 Agustus 2025

total-read

17

6 Menit membaca

COP30 Brasil: Momentum Refleksi Prabowo Meninjau Ulang Ambisi Biodiesel

Kredit foto: IAEA

 

Tiga bulan lagi, para pemimpin dunia akan berkumpul dalam Conference of the Parties ke-30 (COP30) atau Konferensi Perubahan Iklim PBB 2025 untuk menyelesaikan masalah krisis iklim. 

 

Jika dalam beberapa konferensi sebelumnya, COP berlokasi di kota yang identik dengan kemajuan, Brasil—tuan rumah COP30 tahun ini—sengaja memilih kota Belém, kota dengan angka kemiskinan tinggi. Tujuannya agar pengambil kebijakan iklim dapat melihat langsung realitas ketimpangan. 

 

Belém juga terletak di Para, negara bagian Brasil yang menyumbang 57% kerusakan alam di Amazon akibat deforestasi. Ironisnya, Presiden Brasil Lula da Silva justru terus menggaungkan solusi palsu transisi energi yang memperparah deforestasi dan menyebabkan kerusakan lingkungan jangka panjang, yakni bahan bakar nabati (biofuel) berupa bioetanol dan biodiesel. 

 

Narasi yang berusaha dibangun Pemerintah Brasil pun mirip dengan narasi Pemerintah Indonesia. Februari lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan rencana implementasi B50 (biodiesel 50%) pada 2026 dengan dalih ‘ketahanan energi’. 

 

Lima bulan kemudian, pertama kalinya dalam lima belas tahun, Pemerintah Brasil menarasikan tagline gasoline self-sufficient atau ‘swasembada bensin’. Ini ditandai dengan sejak 1 Agustus 2025, campuran etanol di Brasil naik dari 27% hingga 30% (E30), dan biodiesel naik 1% hingga 15% (B15). 

 

Menjelang momentum konferensi iklim krusial dunia, baik Indonesia maupun Brasil sama-sama menggenjot solusi palsu transisi energi dengan polesan narasi ‘ketahanan energi’. Saat bertemu Presiden Brasil, Presiden Prabowo Subianto pun terang-terangan menginginkan Indonesia belajar banyak dari Brasil yang lebih berpengalaman mengembangkan bioenergi.

 

Kendati demikian, bercermin dari banyaknya persoalan ketimpangan akibat biodiesel, masih patutkah keduanya menggenjot bioenergi untuk menyelesaikan dampak krisis iklim?

 

Paradoks ‘hijau’ dan ‘kesejahteraan’ Brasil

Narasi Pemerintah Brasil bahwa bioenergi ramah lingkungan sekaligus membawa kesejahteraan selama ini menyesatkan. Ekspansi bioetanol dengan dalih transisi ke energi bersih justru memicu maraknya deforestasi di hutan Amazon serta turunnya taraf hidup warga.

 

Pertama, kita perlu membedah kebenaran klaim bahwa ‘bioetanol di Brasil ramah lingkungan’. Sebuah studi di tahun 2023 memang telah menghitung, jumlah emisi dari proses memproduksi tebu menjadi bahan bakar atau rantai pasok bioetanol di Brasil lebih rendah 62% dari bensin biasa. Sayangnya, studi ini belum menghitung emisi dari deforestasi dan pembakaran lahan. 

 

Jika emisi dari deforestasi masuk dalam perhitungan, program bioetanol Brasil yang diberlakukan sejak 1975 (Proálcool) nyatanya memicu ekspansi tebu besar-besaran. Pembukaan lahan untuk perkebunan tebu—salah satu bahan baku biofuelmenyumbang emisi gas rumah kaca dengan signifikan

 

Begitu pula emisi dari pembakaran lahan. Ketika memanen tebu, pekerja biasanya harus membakar jerami agar tak terluka akibat daun tajam maupun hewan berbahaya. 

 

Pembakaran jerami juga membahayakan kesehatan warga, terutama pekerja ladang. Studi mengingatkan bahwa asap pembakaran jerami di ladang tebu dapat menyebabkan penyakit pernapasan serius, seperti asma dan pneumonia pada orang yang terpapar asap ini. 

 

Studi lain di Barretos, Brasil, juga menemukan kesehatan pekerja di ladang tebu 6–8 kali lebih terancam dibanding warga sekitar. Meski Brasil telah menerbitkan regulasi yang melarang pembakaran ini, nyatanya aksi ini masih tetap terjadi di wilayah Afrika dan Amerika Tengah

 

Pada saat menyambangi COP30 di negara bagian Para nanti, delegasi internasional bisa sekaligus menyaksikan bagaimana ekspansi biofuel menciptakan konflik lahan di Para. Masyarakat adat di Para telah mengalami banyak konflik dengan perusahaan besar akibat produksi biodiesel berbasis kedelai dan bioetanol berbasis tebu. Sementara petani kecil tak memiliki kekuatan hukum untuk mempertahankan lahannya dari kriminalisasi.

 

Sebagai sesama negara tropis yang sebagian besar wilayahnya adalah lahan pertanian, Prabowo juga seharusnya tak luput memikirkan nexus atau keterhubungan isu air-lahan-energi. Ia dapat menengok betapa borosnya air yang diperlukan untuk memproduksi bioetanol mulai dari irigasi maupun pemrosesan biofuel di Brasil. Dampaknya, ketersediaan air untuk pertanian pangan, lingkungan, dan masyarakat adat dapat terkikis. Keadilan iklim yang menjadi cita-cita dari COP30 ujung-ujungnya tidak akan tercapai.

 

Presiden Prabowo dapat berefleksi dari Presiden Lula yang selama ini terlalu menyederhanakan dampak sosial-ekologis biofuel. Presiden Lula menyebut bahwa bioekonomi serta merta membawa kesejahteraan. Kenyataannya, Brasil terjebak dalam risiko keberlanjutan palsu karena tata kelola ekonomi berbasis alam yang lemah. 

 

Laporan Climate Policy Initiative (CPI) pada 2023 menemukan, Brasil tidak memiliki tata kelola yang baik. Banyak lembaga yang tidak terkoordinasi dan ujungnya hanya menggenjot ekspansi lahan tanpa keberlanjutan lingkungan. Tata kelola yang berantakan justru berujung pada ketidakjelasan regulasi yang melemahkan perlindungan hukum atas hak masyarakat adat.

Menurut CPI, pendekatan bioekonomi seharusnya menggunakan model berbasis keanekaragaman hayati dan pengetahuan lokal, serta menyediakan instrumen ekonomi inklusif seperti kemudahan akses permodalan bagi masyarakat adat. Artinya, bioenergi hanya akan membawa kesejahteraan bagi warga ketika dijalankan dengan pendekatan bottom-up, yakni melibatkan masyarakat adat.

 

COP30: Ajang memperbaiki reputasi

Situasi di Brasil sebenarnya mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia yang memulai program biodiesel berbasis minyak kelapa sawit dan bioetanol berbasis tebu. 

 

Sejauh ini, implementasi bioenergi yakni B40 (campuran biodiesel berbasis minyak kelapa sawit 40% dan 60% solar) banyak merugikan masyarakat, mulai dari petani kecil, masyarakat adat, ataupun warga lokal.  Konsesi sawit di Kalimantan Utara, misalnya, merambah hutan-hutan yang menjadi ruang hidup masyarakat Punan Batu. Mereka adalah satu dari sekian banyak masyarakat adat yang hingga saat ini tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai dari pemerintah.   

 

Persoalan emisi juga membayangi klaim ramah lingkungan biofuel Indonesia. Studi Traction Energy Asia pada 2022 menunjukkan bahwa emisi yang dihasilkan dari proses produksi biodiesel berbahan baku minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) enam kali lipat lebih banyak dibanding emisi dari energi fosil, karena pembakaran lahan gambut yang melepas gas metana—gas yang 28 kali lebih berbahaya dibanding CO2..

 

Kebijakan biofuel yang terus meningkat juga merugikan pengguna kendaraan karena kadar air biodiesel yang berisiko merusak tangki kendaraan. Baru-baru ini, keluhan dari industri tambang batu bara mencuat sebab B40 memicu lonjakan biaya produksi.

 

Alih-alih mendongkrak kesejahteraan, kebijakan biofuel Indonesia juga bisa memperparah ketimpangan. Sebab, selama ini, dana subsidi biodiesel hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar. Karena kebijakan perkebunan sawit Indonesia berat sebelah ke korporasi, biofuel justru memperpanjang kerugian petani.

 

Melihat realita di atas, Pemerintah Indonesia harusnya meninggalkan bioenergi sebagai solusi untuk mengurangi emisi. Menjelang diskusi iklim terbesar, pemerintah seharusnya memilih transisi energi yang berkeadilan, ketimbang menambah masalah sosial-ekologis baru, apalagi memulai kerja sama baru dalam bioenergi dengan Brasil.

 

Jika ingin mendapatkan pendanaan iklim dari negara-negara maju, sebaiknya pemerintah mulai meninggalkan solusi palsu lalu segera beralih menunjukkan komitmen yang lebih konkret dalam mengurangi emisi. Di antaranya ialah tidak lagi menambah PLTU batu bara baru, memeratakan akses listrik ke wilayah terpencil dengan energi terbarukan, serta berhenti menyubsidi batu bara.

Populer

Terbaru