Jejak Karbon Perang Mengganjal Langkah Transisi Energi
Cintya Faliana • Penulis
28 Agustus 2025
6
• 4 Menit membaca

Setiap perang di dunia menghasilkan jutaan ton gas rumah kaca (GRK), selain menghilangkan nyawa, serta menghancurkan bangunan dan infrastruktur. Perang juga membutuhkan perawatan pasca-konflik yang akan melahirkan emisi dalam jumlah besar.
Pada 2023, satu dari enam orang di dunia terdampak konflik bersenjata. Jumlah korban jiwa pun mencapai level tertinggi dalam 28 tahun terakhir. Gelombang kekerasan bersenjata yang meningkat membuat jumlah konflik global pada titik tertinggi sejak Perang Dunia Kedua.
Di negara yang sedang dilanda konflik, transisi energi bukan lagi prioritas. Bagaimana dampak perang terhadap iklim dan hambatan transisi energi di negara konflik?
Emisi dari agresi Israel
Sepanjang 15 bulan, terhitung dari 7 Oktober 2023 hingga 19 Januari 2025, lebih dari 46.707 orang di Palestina dan 1.139 orang di Israel kehilangan nyawa akibat konflik bersenjata. Diperkirakan 54-66% bangunan di Gaza meliputi rumah, sekolah, masjid, dan rumah sakit hancur atau rusak.
Pada 17 Januari 2025, kesepakatan gencatan senjata akhirnya tercapai, dan banyak orang perlahan mulai kembali ke Gaza. Meski, gencatan senjata ini tidak berlangsung lama dan Gaza kembali dibombardir oleh Israel hingga sekarang.
Sebuah studi menghitung emisi yang dihasilkan oleh serangan Israel dan Hamas sepanjang 7 Oktober 2023 sampai 19 Januari 2025. Terhitung sejak tanggal 7 Oktober 2023, Israel juga melancarkan serangan ke Lebanon Selatan, Iran, dan Yaman.
Riset tersebut memperkirakan total emisi karbon dari aktivitas perang mencapai 1,89 juta ton karbon dioksida (tCO2e). Namun, angka ini hanya berasal dari aktivitas perang semata. Emisi dari 120 hari pertama perang melebihi emisi tahunan 26 negara dan wilayah, dengan Israel bertanggung jawab atas 90% di antaranya.
Lebih dari 30% dari 90% GRK yang dihasilkan selama periode perang berasal dari pasokan senjata AS ke Israel. Setidaknya, 50 ribu ton senjata dikirimkan lewat pesawat kargo dan kapal dari persediaan gudang di Eropa.
Sementara, 20% dari 90% GRK tersebut berasal dari operasi pengintaian dan serangan udara pesawat Israel. Termasuk bahan bakar kendaraan militer seperti tank, serta proses produksi dan peledakan bom serta artileri.
Tidak berhenti di sana, masih terdapat dampak akibat perang yang juga menghasilkan emisi seperti rusaknya konstruksi dan infrastruktur. Kemudian, terdapat emisi pemulihan pascaperang yang juga perlu diperhitungkan. Sebab, setiap pembangunan membutuhkan material dan energi yang menghasilkan emisi pula.
Studi yang sama memperkirakan terdapat 32,3 juta ton CO2e ketika aktivitas konstruksi sebelum dan setelah konflik juga diperhitungkan. Angka ini bahkan lebih tinggi daripada emisi tahunan 102 negara.
Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang selama ini menyumbang 25% dari listrik Gaza pun telah rusak dan hancur. Padahal, jika dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia, persentase ini terhitung sebagai salah satu yang tertinggi.
Kini, akses listrik Gaza yang terbatas sebagian besar bergantung pada generator berbahan bakar solar. Akibatnya, terdapat lebih dari 130 ribu ton emisi GRK yang dihasilkan atau sekitar 7% dari total emisi akibat konflik.
Invasi Rusia ke Ukraina
Terhitung sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 hingga Februari 2025, jumlah emisi yang dihasilkan mencapai 230 juta ton CO2e. Initiative on GHG Accounting of War menghitung jumlah ini setara dengan emisi tahunan gabungan Austria, Hungaria, Republik Ceko, dan Slovakia, atau sama dengan emisi tahunan 120 juta mobil berbahan bakar fosil.
Satu tahun sebelumnya, pada Februari 2024, emisi yang dihasilkan dari perang kedua negara tersebut ‘hanya’ 175 juta ton CO2e. Angka ini setara dengan emisi tahunan yang dihasilkan oleh 90 juta mobil atau sebanding dengan total emisi tahunan Belanda.
Aktivitas militer menjadi penyumbang terbesar dengan 51,6 juta ton CO2e yang sebagian besar berasal dari konsumsi bahan bakar militer Rusia dan Ukraina.
Tidak hanya menghasilkan emisi, perang juga meningkatkan frekuensi kebakaran lahan di daerah konflik. Diperkirakan 92 ribu hektar hutan telah hangus terbakar dan emisi yang dihasilkan mencapai 25,8 juta ton CO2e.
Total kerugian iklim dari perang Rusia-Ukraina selama 36 bulan terakhir diperkirakan mencapai lebih dari US$42 miliar atau setara Rp693 triliun.
Jalan panjang menuju transisi energi di negara perang
Perang berkepanjangan seperti invasi Israel ke Palestina maupun Rusia-Ukraina pun terbukti menghasilkan jutaan ton emisi. Ditambah lagi emisi dari industri senjata yang ikut berkontribusi besar dalam GRK yang dihasilkan.
Sebuah studi menghitung bahwa sektor militer bertanggung jawab atas 5,5% emisi global karena penggunaan bahan bakar fosil yang intens. Bahkan, jika seluruh militer dunia berkumpul menjadi satu negara, mereka menduduki peringkat keempat penghasil emisi terbesar setelah Cina, Amerika Serikat, dan India. Ini semua menjadi alarm bahwa mencegah peperangan dapat sejalan bahkan mendukung agenda global memangkas emisi untuk meredam krisis iklim.