Dana Abadi Daerah: Cara Menghindari Kutukan Sumber Daya Alam

Cintya Faliana Penulis

17 Oktober 2025

total-read

4

5 Menit membaca

Dana Abadi Daerah: Cara Menghindari Kutukan Sumber Daya Alam

Sejumlah daerah dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia masih menghadapi persoalan seperti kemiskinan atau ketimpangan. 

 

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ADHB Kabupaten Morowali, misalnya, mencapai Rp1 miliar/kapita/tahun pada 2024. Namun, tingkat kemiskinan di Morowali mencapai 11,55% dari total penduduk atau 14.990 jiwa. Pada September 2024, rata-rata nasional untuk penduduk miskin berada di angka 8,57%. Artinya, jumlah penduduk miskin di Morowali masih amat tinggi.

 

Karena kekayaan mineral di tanahnya, Morowali juga menerima Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat sebesar Rp509 miliar pada 2025. Lebih dari setengahnya atau Rp284 miliar berasal dari DBH mineral dan batu bara (minerba). Sayangnya, tidak semua penduduk menikmati “buah” dari ekstraksi kekayaan sumber daya alam di wilayah mereka. Padahal Morowali salah satu lokasi smelter nikel terbesar sebagai imbas ambisi hilirisasi mineral di Indonesia.

 

Tidak hanya Morowali, berbagai daerah dengan kekayaan SDA yang besar juga mengalami ketimpangan serupa. Kutai Kartanegara, sebagai penerima DBH terbesar mencapai Rp5,7 triliun juga memiliki penduduk miskin sebesar 59 ribu jiwa. Padahal, Kutai Kartanegara telah mengandalkan sektor minyak dan gas fosil sejak puluhan tahun lamanya.

 

Situasi ini menegaskan satu hal: kekayaan alam tanpa tata kelola yang adil hanya memperpanjang ketimpangan. Di sinilah muncul gagasan untuk membangun mekanisme pengelolaan baru yang lebih berkeadilan, seperti dana abadi sumber daya alam.

 

Konsep dan manfaat dana abadi sumber daya alam

Konsep dana abadi SDA atau natural resource fund (NRF) dikembangkan oleh Natural Resource Governance Institute (NGRI). NRF adalah salah bentuk sovereign wealth fund (SWF) yang sumber dananya berasal dari penghisapan sumber daya alam, seperti pertambangan dan minyak bumi.

 

Salah satu contoh SWF yang baru dibentuk di Indonesia adalah Danantara. Lembaga ini menghimpun dana dari berbagai sumber, termasuk dari perusahaan milik negara yang bergerak dalam sektor ekstraktif seperti PT Pertamina maupun MIND ID.

 

Selain itu, dana abadi SDA daerah menjadi sumber ‘tabungan’ untuk generasi berikutnya ketika sumber daya alam telah menipis. Bahkan, dana abadi ini juga bisa digunakan untuk mendukung pembiayaan pembangunan berkelanjutan agar hasil SDA dapat memberi manfaat jangka panjang bagi masyarakat luas.

 

Dalam webinar bertajuk “Dana abadi SDA daerah: mengubah pendapatan sumber daya alam menjadi pembangunan”, terdapat enam prinsip yang harus menjadi landasan dana abadi SDA. Pertama, memiliki tujuan yang jelas dan terukur. Kedua, memiliki aturan fiskal untuk mengatur penempatan dan penarikan dana untuk menghindari penyalahgunaan.

 

Ketiga adalah memiliki aturan investasi yang transparan. Berikutnya, terdapat mekanisme pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang tegas antara lembaga pengelola dan pemerintah.

 

Kelima adalah transparansi atau keterbukaan data mengenai laporan keuangan. Terakhir, terdapat pengawas independen oleh lembaga eksternal untuk menjaga akuntabilitas publik.

 

Contoh sukses dana abadi daerah

Sejauh ini sudah ada 52 dana abadi berbasis sumber daya alam tingkat nasional atau daerah di seluruh dunia. Beberapa contoh daerah yang sukses memiliki dana abadi SDA adalah Alaska Permanent Fund di Amerika Serikat. Lembaga ini berhasil mendistribusikan dividen langsung kepada warga dari hasil investasi dana abadi SDA.

 

Pendekatan ini dianggap efektif dalam mengurangi ketimpangan pendapatan. Tidak hanya itu, seluruh masyarakat juga merasakan manfaat ekonomi secara langsung dari sumber daya alam di sekitarnya.

 

Salah satu kota di Kanada, Alberta, juga memiliki dana abadi daerah (DAD). Alberta Heritage Savings Trust Fund (AHSF) telah berdiri sejak 1970-an. Sumber pendapatan utamanya berasal dari royalti minyak, gas, dan tambang. 

 

AHSF memiliki tujuan jangka panjang dan melarang penggunaan modal awal. Artinya, hanya hasil investasi dari modal yang boleh digunakan untuk menopang operasional pemerintahan. AHSF juga memanfaatkan dananya untuk fokus di isu pendidikan dengan mendukung riset sains, teknologi, dan medis.

 

Dana abadi daerah untuk energi terbarukan

Sementara di Indonesia, salah satu daerah yang sudah berencana memiliki dana abadi SDA adalah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur dan Provinsi Papua Barat. Meski saat ini masih dalam tahap pengembangan dan menunggu payung hukum, tapi rencana ini sudah berlangsung sejak delapan tahun silam. 

 

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bojonegoro memaparkan rencana dana abadi daerah (DAD) sudah bermula sejak 2017. Pemicunya adalah DBH migas yang diterima Bojonegoro sangat besar. Puncaknya pada 2023, DBH yang diterima mencapai Rp2,7 triliun.

 

DAD Bojonegoro rencananya akan digunakan untuk mendukung biaya pendidikan tinggi warga yang belum dipenuhi oleh APBN. Terlebih dengan prediksi bahwa pendapatan dari sektor migas akan menurun pada 2035 mendatang. 

 

Selain dimanfaatkan untuk pendidikan, pemerintah daerah yang memiliki dana abadi bisa mendorong penggunaan energi terbarukan di daerahnya. Sumber dana abadi yang berasal dari ekstraksi sumber daya alam seharusnya bisa dikembalikan ke bentuk energi terbarukan yang dirasakan manfaatnya secara berkelanjutan.

 

Selama ini Indonesia selalu dihantui dengan kutukan sumber daya alam (resource curse). Istilah kutukan merujuk pada fenomena negara atau daerah yang kaya SDA justru mengalami ketimpangan yang tinggi atau masalah tata kelola seperti regulasi yang menguntungkan segelintir orang bahkan korupsi, dibandingkan wilayah yang miskin SDA.

 

Untuk menghindarinya, daerah bisa meniru Norwegia atau Arab Saudi yang memanfaatkan dana abadi mereka untuk energi terbarukan. Terlebih tren investasi global kini menuju pada investasi hijau dan berkelanjutan. 

 

Arab Saudi lewat Public Investment Fund (PIF) menggelontorkan US$8,5 miliar dan US$5,4 miliar untuk obligasi hijau atau green bond pada 2023 dan 2024. Sementara Norwegia melalui Government Pension Fund Global, menggunakan sebagian hasil investasinya untuk mendanai proyek angin dan surya di Eropa. Setidaknya US$1,6 triliun dana abadi Norwegia akan digunakan untuk investasi berlandaskan pada faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).

 

Dari potensi teknis energi terbarukan yang mencapai 3.686 GW, banyak proyek yang sudah siap untuk ‘didanai’. Riset IESR mengungkapkan terdapat 333 GigaWatt (GW) potensi lokasi proyek energi terbarukan yang layak secara finansial di Indonesia, berdasarkan perkembangan teknologi dan indikator ekonomi terkini.

 

Kini sudah saatnya pemerintah daerah ikut terlibat aktif dan mendorong transisi menuju energi terbarukan untuk wilayahnya. Dengan memanfaatkan energi terbarukan yang berkelanjutan, manfaat langsung maupun tak langsung akan dirasakan turun temurun lintas generasi. 

Populer

Terbaru