Alasan Macetnya Pendanaan Bank untuk Transisi Energi

Sita Mellia Penulis

14 Oktober 2025

total-read

10

4 Menit membaca

Alasan Macetnya Pendanaan Bank untuk Transisi Energi

Di tengah tren dunia yang bergerak ke pembangunan berkelanjutan, investasi hijau Indonesia masih stagnan, rata-rata US$1,5 miliar per tahun (setara Rp23,25 triliun) selama 2019 hingga 2024.  Ini disebabkan isu bankability atau kelayakan pendanaan suatu proyek oleh perbankan. 

 

Akademisi dan masyarakat sipil menilai, bankability proyek energi terbarukan di Indonesia masih kurang kompetitif dibanding negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina. 

 

Kertas kebijakan lembaga Policy+ menganalisis beberapa alasan mengapa pendanaan dari bank selama ini untuk transisi energi macet: biaya modal yang mahal, ketergantungan pada batu bara, dan konsensus yang lemah untuk bank dapat mendanai proyek atau bankability proyek. Ini diungkap pada 8 Oktober 2025 dalam diskusi Policy+ bertajuk ‘Mobilizing Alternative and Innovative Strategies in Financing Indonesia’s Energy Transition’.

 

Diskusi publik terkait kertas kebijakan Policy+ di Jakarta, awal Oktober 2025 (Sita Mellia).

 

Menurut Kenneth Nicholas, Wakil Direktur Policy+, momentum pendanaan yang telah ada seperti seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dan pembiayaan dari Asian Development Bank (ADB) perlu dilanjutkan dengan membuat katalog investasi untuk mencocokkan kebutuhan pengembang dan investor nasional maupun internasional. “Momentum pendanaan perlu kita lanjutkan melalui pengembangan katalog profil investor secara komprehensif untuk mendukung pemerintah dalam penyelarasan informasi terkait rencana proyek-proyek energi terbarukan melalui sumber-sumber pembiayaan yang tersedia dan yang masih perlu digarap,” kata Kenneth.

 

Namun, Kenneth juga mengingatkan akan pentingnya konsensus soal bankability antarperbankan untuk proyek energi terbarukan. “Yang penting adalah konsensus bankability. Harus ada deep research dan stakeholder. Pemerintah perlu mengadakan pertemuan dengan bank-bank BUMN untuk membuat guideline atau panduan bank-bank mana saja yang bisa adjust (disesuaikan) untuk proyek energi terbarukan di Indonesia.” pungkasnya.

 

Selain itu, untuk mempercepat pendanaan, Kenneth mendorong pemerintah memperkuat mandate-based regulatory regimes. Menurut Kenneth, organisasi masyarakat sipil atau non-governmental organization (NGO) bersama pemerintah dapat mengonsolidasikan mandat-mandat apa saja yang perlu diberikan kepada BUMN sebagai penggerak utama pembiayaan dan pelaksanaan misi transisi energi. 

 

Kenneth mengharapkan keberadaan BUMN di bawah BPI Danantara bisa memperkuat komitmen proses investasi energi terbarukan. Sebab, BUMN dapat lebih gesit dalam mengamankan pembiayaan (global dan domestik) untuk proyek-proyek strategis, termasuk transisi energi.

 

Sementara Via Azlia Widiyadi, Research Associate Climate Policy Research Unit Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menyampaikan persoalan dari perspektif pasar. Menurutnya, arah kebijakan yang konsisten dan kepercayaan pasar merupakan kunci untuk membuka investasi berkelanjutan. “Regulasi harus dapat mengharmonisasi perdagangan, rantai pasok, dan local content requirement (tingkat kandungan dalam negeri/TKDN) agar menarik minat investor,” tuturnya. 

 

Meski potensi surya di Indonesia sangat besar dan regulasinya telah memadai, menurut Via pengembangannya masih kurang. “Soal kelembagaan, PLN masih satu-satunya off-taker (pembeli listrik yang diproduksi swasta). Harus ada highway untuk akselerasi transisi energi yakni kolaborasi lintas sektor.”

 

Via juga menyayangkan mengapa energi surya masih kurang kompetitif dibanding batu bara. Ia mengamati hal tersebut terjadi karena dua hal. Pertama, adanya harga pasokan batu bara dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) yang masih membuat harga batu bara terus murah dibanding energi terbarukan. Kebijakan tersebut menimbulkan gap antara harga energi terbarukan dan batu bara. Kedua, performa pembangkit surya milik PLN masih belum optimal sehingga biaya operasionalnya tinggi.

 

Isu bankability juga divalidasi dari fakta di lapangan. “Bankability adalah isu nyata. Dari 10 proyek energi terbarukan, ada 6-7 proyek di antaranya yang sulit diterima bank himbara. Sementara bank asing lebih mudah menerima. Jikalau ada bank himbara yang bisa terima, ini dikarenakan adanya orang dalam”, ujar Asnil Bambani Amri, Senior Editor KONTAN.

 

Dalam forum ini, Asnil juga memberikan pandangan baru soal pendanaan berbasis filantropi. “Kita belum ada diskursus pendanaan energi terbarukan berbasis filantropi. Misalnya, kita bisa membuat baznas (badan amil zakat nasional) transisi energi”, ungkap Asnil.

 

Sementara itu, Irvan Tengku Harja, Program Manager dan Research Lead untuk Just Energy Transition and Climate Action di The Habibie Center mengingatkan soal keadilan dalam transisi energi. Menurutnya, ekonomi yang masih berdasarkan eksplorasi, ekspansi, dan eksploitasi jika tidak memiliki safeguard dengan baik maka akan selalu menimbulkan ketimpangan.

 

“Aspek keadilan sosial dalam transisi energi perlu dipertimbangkan betul dengan prinsip yang jelas agar tidak menimbulkan ketimpangan. Setiap strategi pembiayaan berkelanjutan juga harus melalui penilaian risiko lingkungan, pemantauan yang transparan, partisipatif, dan mekanisme reward,” tegas Irvan.

 

Peneliti The Habibie Center ini juga menyayangkan proyek energi terbarukan masih sarat ketidakadilan dan minim pelibatan masyarakat. Berdasarkan riset Habibie Center, dari 195 artikel dari 5 media massa dan laporan organisasi masyarakat sipil, transisi energi di sektor pembangkit belum sepenuhnya memenuhi aspek-aspek keadilan energi. 

 

“Di dalam equator principle, harus ada assesment terlebih dahulu baru bisa melanjutkan kontrak proyek. Semuanya terlibat, masyarakat bisa dengan leluasa menyampaikan keluhan. Ini bisnis yang bertanggung jawab. Sayangnya, prinsip ini belum diterapkan di Indonesia.” tambah Irvan. Equator principle yang dimaksud adalah kerangka kerja bagi lembaga finansial untuk memitigasi risiko lingkungan maupun sosial dalam suatu proyek, termasuk energi terbarukan.

Populer

Terbaru