3 Perusahaan Energi Indonesia Penghasil Gelombang Panas Dunia
Cintya Faliana • Penulis
10 Oktober 2025
5
• 5 Menit membaca

Gelombang panas (heatwave) ekstrem sebagai dampak krisis iklim semakin sering terjadi, dengan 213 kejadian yang tercatat di seluruh dunia sepanjang 2000-2023. Ada pula kemungkinan kuat kejadian gelombang panas lainnya di Afrika yang luput tercatat.
Gelombang panas memakan korban, terutama di daerah Afrika, Asia, dan Eropa yang paling sering mengalaminya. Sepanjang 2000-2019, diperkirakan ada sekitar 489 ribu kematian terkait gelombang panas. Pada 2025, empat miliar penduduk dunia terpapar setidaknya 30 hari panas ekstrem yang bisa memperburuk kualitas kesehatan fisik maupun mental.
Biang keladi kejadian ini adalah industri bahan bakar fosil sebagai pelepas emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Emisi CO2 dari energi fosil bahkan mencapai 90% dari total emisi aktivitas manusia di dunia. Secara rinci, batu bara berkontribusi 41% dari emisi yang dihasilkan, minyak bumi sebesar 32%, gas bumi 21%, dan semen 4%.
Laporan terbaru mencatat ada aktivitas 180 entitas terkait bahan bakar fosil yang bertanggung jawab dalam menyebabkan gelombang panas sepanjang 2000-2023. Tiga di antaranya merupakan salah satu penyumbang energi fosil terbesar di Indonesia: Adaro Energy, Bumi Resources, dan Pertamina.
Tanpa aksi cepat dan signifikan untuk memangkas produksi energi fosil, tiga perusahaan ini akan terus beroperasi dan memicu lebih banyak gelombang panas di masa depan.
Seberapa besar bisnis tiga perusahaan energi ini?
Per 30 September 2024, total aset Adaro Energy (ADRO) tercatat sebesar US$10,264 miliar atau setara Rp169 triliun. Dari jumlah tersebut, anak perusahaan Adaro Andalan Indonesia (AAI) memiliki total aset sebesar US$5,433 miliar, yang setara dengan 52,9% dari total aset ADRO.
Adaro dan anak-anak perusahaannya memiliki total area konsesi pertambangan seluas 309.108 hektare. Lokasi utama tambang Adaro terletak di Kalimantan Selatan, meski ada juga yang berada di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan.
Selain Adaro, Bumi Resources (BUMI) memiliki total aset US$3,91 miliar setara Rp64,5 triliun. Aset tercatat per 30 Juni 2025 ini mayoritas dimiliki oleh keluarga Bakrie dan Salim Group. Salim Group sendiri mencatat sekitar 37% kepemilikan Bumi Resources.
Tahun ini, BUMI menjadi perusahaan dengan cadangan dan sumber daya batu bara terbesar di Indonesia. Wilayah konsesi BUMI lewat anak usahanya berada di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Secara kumulatif, cadangan batu bara BUMI di Kaltim dan Kalsel mencapai 11 miliar metrik ton.
Sementara PT Pertamina menjadi salah satu badan usaha milik negara (BUMN) dengan aset paling fantastis. Pada periode 2020-2023, aset Pertamina tumbuh hingga 32% menjadi US$ 91,1 miliar atau setara Rp1.390 triliun pada akhir tahun 2023. Pertamina memiliki beberapa anak perusahaan yang bergerak di sektor hulu maupun hilir energi fosil dengan lokasi bisnis yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kontribusi perusahaan energi fosil menciptakan heatwaves
Penelitian yang dilakukan oleh Quilcaille, Y. et al (2025) menghitung seberapa besar peningkatan intensitas dan kemungkinan terjadinya 213 gelombang panas yang pernah terjadi akibat perubahan iklim. Setelah itu, studi ini juga mengidentifikasi kontribusi emisi dari masing-masing perusahaan bahan bakar fosil dan semen yang disebut sebagai carbon majors.
Penelitian ini dilakukan pada setiap gelombang panas selama periode 2000-2023. Melalui pendekatan ini, peneliti berusaha menjelaskan secara ilmiah rantai sebab-akibat dari emisi perusahaan hingga dampak perubahan iklim berupa gelombang panas.
Salah satu hasilnya adalah emisi dari Adaro Energy, Bumi Resources, dan Pertamina masing-masing cukup besar. Jumlah emisi mereka kira-kira bertanggung jawab atas 50 dari 213 gelombang panas yang dianalisis selama 2000-2023.
Artinya, jika ada skenario ketika tidak ada emisi lain di dunia kecuali emisi dari ketiga perusahaan tersebut, maka aktivitas mereka bisa memicu sekitar 50 heatwaves. Ini menunjukkan besarnya kontribusi perusahaan terhadap perubahan iklim.
Selain disebut berkontribusi terhadap gelombang panas, ketiga perusahaan tersebut memiliki rekam jejak buruk dalam aktivitas tambang. Misalnya, salah satu anak usaha BUMI, PT Kaltim Prima Coal (KPC) terlibat dalam pencemaran Sungai Lembak, banjir di sekitar Sungai Sangatta, hingga perampasan lahan dan kekerasan.
Minim diversifikasi investasi
Secara umum, hingga kini perusahaan batu bara enggan melakukan diversifikasi investasi ke energi terbarukan. Meski tren global telah mengarah ke investasi hijau, tapi hanya 1,42% dari perusahaan energi fosil yang bertanggung jawab atas proyek energi terbarukan.
Riset terbaru dari Institute of Environmental Science and Technology di Universitat Autònoma de Barcelona (ICTA-UAB) menantang klaim industri fosil bahwa selama ini mereka adalah “pemain utama” dalam mengatasi krisis iklim. Salah satunya lewat proyek-proyek energi hijau.
Berdasarkan data dari Global Energy Monitor, penelitian ini menganalisis 250 produsen energi fosil terbesar di dunia, di mana mereka menyumbang 88% dari total produksi hidrokarbon global. Terdapat 3.166 proyek energi terbarukan (angin, surya, hidro, dan panas bumi) yang melibatkan perusahaan-perusahaan tersebut, baik secara langsung, melalui anak perusahaan, maupun lewat akuisisi.
Hasilnya, hanya 20% dari 250 perusahaan tersebut yang memiliki proyek energi terbarukan yang sudah beroperasi. Sementara kontribusi energi terbarukan hanya 0,1% dari total energi primer yang mereka hasilkan.
Saatnya pemerintah berperan
Berkaca dari berbagai hasil penelitian, sudah saatnya pemerintah mengambil peran lebih tegas sebagai pembuat kebijakan. Pemerintah perlu mendorong perusahaan energi fosil untuk secara bertahap mengakhiri aktivitas eksploitasi mereka, sekaligus memperluas investasi ke sektor energi terbarukan.
Selama ini, biaya transisi menuju energi bersih yang mencapai ribuan triliun rupiah terlalu berat jika hanya ditanggung oleh pemerintah. Namun, dengan mendorong korporasi besar seperti Adaro Energy, Bumi Resources, dan Pertamina meningkatkan porsi investasi mereka di energi terbarukan, target net zero emission Indonesia bukan hal yang mustahil untuk dicapai.
Kebijakan yang memberikan insentif bagi energi terbarukan dan disinsentif bagi energi fosil akan menjadi kunci. Langkah ini akan membuat perusahaan penghasil emisi secara bertahap beralih menuju arah yang lebih hijau dan berkelanjutan.