Dana JETP Lebih Besar, Kinerja Transisi Energi Indonesia Kalah dari Vietnam
Novaeny Wulandari • Penulis
26 Januari 2024
18
• 4 Menit membaca

Pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk transisi energi di Indonesia masih rendah. Dana tersebut rentan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Peneliti Centre For Strategic and International Studies (CSIS), Novia Xu mengatakan, dana hibah JETP hanya senilai $160 juta (Rp2,5 triliun) atau sekitar 0,8 persen dari dana total yang dijanjikan sekitar $20 miliar (Rp30 triliun).
Kecilnya porsi dana tersebut menyulitkan pemerintah Indonesia menginisiasi dan mendorong pelaksanaan transisi energi berjalan dengan baik.
“Dana hibah yang kurang dari satu persen ini berpotensi membebani APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Padahal dana hibah akan digunakan untuk membiayai persiapan proyek-proyek transisi energi. Mulai dari pengerjaan studi kelayakan, pelatihan para pekerja sampai program mitigasi transisi energi yang berkeadilan,” katanya dilansir Tempo, Jumat (11/8/2023).
Di tengah kecilnya porsi dana hibah tersebut, Novia justru mempertanyakan mengenai ketersediaan dana publik JETP. Pasalnya, hambatan utama dari penyediaan dana tersebut adalah memprioritaskan terhadap bantuan keuangan dan penyediaan dana konvensional di masing-masing negara maju yang terlibat dalam program JETP.
Untuk diketahui, JETP merupakan mekanisme kerja sama pembiayaan untuk mendorong transisi energi di negara-negara berkembang. Pembiayaan tersebut diberikan oleh negara maju dan organisasi internasional agar negara berkembang bisa mempercepat peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan.
Inisiatif JETP pertama kali diluncurkan pada tahun 2021 saat Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-26 di Glasgow, Skotlandia (Conference of the Parties/ COP).
Saat itu, pemerintah Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Jerman, dan Uni Eropa berkomitmen memberi pembiayaan transisi energi kepada Afrika Selatan senilai $8,5 miliar.
Kemudian pada 2022, komitmen pembiayaan JETP diberikan kepada Indonesia dengan nilai total $20 miliar. Di tahun yang sama, Vietnam ikut menerima komitmen serupa dengan nilai $15,5 miliar.
Pembiayaan JETP tidak cuma-cuma. Mekanismenya sebagian berupa dana hibah dan sebagian lagi pinjaman dengan bunga dan persyaratan tertentu.
Novia menjelaskan, selain melalui dana hibah dan pendanaan publik, pembiayaan komersial dapat membantu program transisi energi. Sayangnya, iklim investasi di Indonesia belum cukup kondusif.
“Padahal, untuk menarik investor, perlu iklim investasi sektor energi yang mendukung, khususnya pada ketenagalistrikan. Selama ini yang banyak dikeluhkan para investor adalah tarif atau harga energi terbarukan yang tidak kompetitif bagi perkembangan industri EBT, serta persyaratan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang dianggap terlalu memberatkan bagi pelaku industri,” ujarnya.
Di samping itu, lanjut Novia, bank-bank internasional sering melihat Indonesia sebagai negara yang cukup berisiko untuk berinvestasi. Dengan kondisi itu, mereka sering membutuhkan penjaminan pemerintah sebelum menanamkan modal.
Selain pendanaan JETP, pemerintah Indonesia juga menerima kerja sama investasi dengan pemerintah Inggris untuk program Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (MENTARI).
Kerja sama bilateral tersebut menyepakati pendanaan sebesar £6,5 juta (Rp135 miliar) kepada Indonesia untuk Pengembangan Energi Rendah Karbon (Low Carbon Energy Development/ LCEP). Implementasinya antara lain untuk meningkatkan perencanaan dan pengadaan energi terbarukan seperti sistem on-grid maupun off-grid dalam pengaplikasian panel surya.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan, Indonesia terbuka dan mengundang lebih banyak mitra internasional untuk mendukung transisi energi yang cepat dan efektif menuju target nol bersih emisi (Net Zero Emissions/ NZE) tahun 2060 atau lebih cepat.
Ia menyebutkan, jika Indonesia membutuhkan investasi hingga $1 triliun pada tahun 2060 untuk kebutuhan pembangkit dan transmisi energi terbarukan.
“Kebutuhan dukungan finansial akan makin meningkat karena kami (Pemerintah Indonesia) akan memensiunkan dini pembangkit listrik berbahan bakar batubara di tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, kami membuka peluang investasi dan kerja sama yang luas untuk mencapai target tersebut,” tuturnya sebagaimana dilansir laman resmi Kementerian ESDM, Jumat (11/8/2023).
Kebutuhan dana yang lebih besar untuk transisi energi ikut digunakan untuk mendukung kinerja transisi energi di Indonesia. Dari laporan World Economic Forum (WEF) berjudul Fostering Effective Energy Transition 2023, skor Energy Transition Index (ETI) mengenai kinerja transisi energi di Indonesia lebih rendah dibandingkan Vietnam dan Thailand.
ETI merupakan indeks energi yang dikembangkan oleh WEF, untuk mengukur perubahan global negara-negara menuju transisi energi terbarukan.
Dalam laporan itu, Malaysia memperoleh skor ETI 61,7 paling tinggi di antara negara-negara Asia Tenggara. Urutan kedua adalah Vietnam (58,9), Thailand (55,9), dan Indonesia (55,8).
Masih dari laporan yang sama, diketahui faktor yang memengaruhi rendahnya kinerja transisi energi di Indonesia adalah mengenai regulasi dan investasi.
“Masih belum adanya subsidi langsung untuk energi terbarukan dan mekanisme yang membuat persaingan energi terbarukan adil. Serta kurangnya perencanaan dan kebijakan, serta transparansi yang membuat kompleksitas pelaksanaan transisi energi di Indonesia,” tulis laporan itu.
WEF memberikan sejumlah rekomendasi kepada Indonesia. Di antaranya membuat kebijakan tarif, menghapus hambatan regulasi, memfasilitasi perusahaan energi terbarukan, mempercepat pertumbuhan infrastruktur, dan meningkatkan transparansi dalam perencanaan dan pembiayaan energi terbarukan.