Geliat Kota Wujudkan Bangunan Gedung Hijau demi Pangkas Emisi

Caecilia Galih Krisnhamurti Penulis

24 Desember 2025

total-read

7

5 Menit membaca

Geliat Kota Wujudkan Bangunan Gedung Hijau demi Pangkas Emisi

Upaya mengurangi emisi sektor bangunan gedung berperan krusial dalam aksi iklim Indonesia. Urgensi ini semakin nyata seiring pesatnya urbanisasi di Indonesia. Apabila tidak dikelola dengan standar hijau, kota-kota besar berisiko tergantung pada desain yang boros energi dan mahal. Di tingkat global, emisi dari bangunan menyumbang 37% dari total emisi sektor energi dan proses produksi.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No 21 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung Hijau. Aturan ini menjadi instrumen mitigasi untuk menurunkan intensitas energi dan jejak karbon dari bangunan.

Di tingkat urban, geliat transisi bangunan hijau mulai terlihat melalui inisiatif ambisius di berbagai kota. Misalnya, Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, bersama konsorsium Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI), baru-baru ini merilis hasil studi Baseline Energy Consumption yang memetakan konsumsi energi dengan contoh 305 bangunan. 

Dari bangunan milik pemerintah, komersial, sosial, dan residensial yang diaudit tersebut, terungkap bahwa emisi operasional bangunan di Kota Surabaya, diperkirakan melampaui 4,8 juta ton CO₂ pada 2024. Bandingkan dengan Jakarta misalnya, yang memiliki emisi operasional bangunannya sekitar 19 juta ton CO₂ pada tahun yang sama. 

Studi menyimpulkan bahwa sejumlah 78,5% bangunan non residensial di Kota Surabaya sudah memahami Bangunan Gedung Hijau dan berminat untuk melakukan sertifikasi bangunan hijau.

 

Selain Surabaya yang ingin menjelma menjadi kota rendah karbon, sejumlah kota lainnya di Indonesia menunjukkan itikad yang sama: Kota Banda Aceh, Kota Magelang, dan Kota Tegal.

 

Dalam agenda Knowledge Management Forum (KMF) 2025 yang digagas Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) dan Konsorsium SETI, akhir Oktober lalu, para wali kota membagikan pengalaman mereka.

 

Banda Aceh, Rendah Karbon dengan Nilai Islami

 

Dengan luas wilayah 61,36 km² dan populasi sekitar 262.960 jiwa, Banda Aceh mencatat emisi karbon 369.218 ton CO₂e per tahun. Sebanyak 77% di antaranya berasal dari sektor transportasi, sementara 2,3% dari sektor energi. Pemkot Banda Aceh telah menetapkan arah pembangunan menuju “Kota Rendah Karbon Berbasis Data dan Nilai Islami” dalam Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Banda Aceh Tahun 2020–2025.

 

Dokumen itu memuat usulan aksi mitigasi sektor energi, salah satunya efisiensi energi di bangunan dan kantor pemerintah. Untuk menuju kota rendah karbon, pemerintah Banda Aceh menghadapi tantangan konsumsi energi bangunan pemerintah yang tinggi, anggaran dan kapasitas teknis untuk inovasi energi terbatas, dan ketiadaan regulasi daerah yang spesifik mengatur bangunan hijau. Bagaimana mengatasinya?

 

Pertama, pemerintah membangun PLTS atap di tiga gedung pemerintah, dengan total kapasitas 15,2 kWp. Upaya lainnya adalah retrofitting (pembaruan komponen) bangunan pemerintah yang masih boros listrik dengan cara penggantian AC dan pencahayaan hemat energi.

 

Sementara dalam jangka menengah, Pemerintah Aceh memiliki rencana lanjutan, yaitu mereplikasi konsep Low Carbon Model Town (LCMT) ke sekolah dan fasilitas publik. Konsep ini pun dirancang bersama berbagai lembaga Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), Institut Teknologi Bandung (ITB), Toyama City, Jepang, hingga komunitas lokal.

 

Melalui konsep ini, Pemerintah Aceh merencanakan pembangunan kota (termasuk gedung-gedung) yang selaras dengan upaya pengurangan emisi di tingkat urban seperti transportasi, energi, bangunan, dan sebagainya.

 

Kedua, terkait keterbatasan anggaran dan kapasitas teknis untuk inovasi energi, pemerintah melakukan audit energi empat gedung pemerintah. Hasilnya, ada potensi efisiensi energi dari bangunan sekitar 59–67%. 

 

Sementara upaya lainnya adalah penguatan regulasi dengan memasukkan prinsip-prinsip green building. Langkah ini dimulai Pemerintah Aceh melalui revisi Qanun No 10/2004 tentang Bangunan Gedung. 

 

Magelang, transisi besar di kota kecil

Menyandang kota terkecil kedua di Indonesia seluas 18,54 km² dan jumlah penduduk 122.430 jiwa, Magelang ingin mengelola energi secara berkelanjutan. Salah satunya dengan menjadikan kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) sebagai proyek percontohan bangunan hijau.

 

Proyek ini dilakukan melalui penggunaan sensor cahaya dan gerak otomatis untuk menghemat konsumsi listrik hingga 30%. Gedung juga dilengkapi sistem panel surya yang mampu menurunkan emisi hingga lebih dari 1.100 kg CO₂ per tahun.

 

Dalam usaha manajemen energi, Pemerintah Magelang melakukan audit energi berkala, mengangkat manajer energi dan satgas hemat energi, serta memelihara peralatan rutin sesuai SOP. Melalui upaya itu, Magelang berpotensi menurunkan emisi hingga 111,9 ton CO₂e, dengan rasio elektrifikasi listrik energi terbarukan di gedung pemerintah sebesar 99,99%. 

 

Adapun upaya ini dihasilkan dari pemasangan PLTS atap bangunan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL), serta Penerangan Jalan Umum (PJU) pada koridor jalan dan taman.

 

Dalam segi regulasi, Pemerintah Magelang juga mewajibkan gedung swasta berukuran besar (lebih dari 5.000 m²) untuk menerapkan desain ramah lingkungan, sesuai Permen PUPR No 21 Tahun 2021. 

 

Rusunawa Rendah Karbon ala Kota Tegal

 

Dalam rangka transisi energi terkait aspek bangunan gedung dan menyediakan permukiman memadai, Pemerintah Kota Tegal mencoba membangun rumah susun sewa (rusunawa) rendah karbon. Aspek keberlanjutannya pun beragam, mulai dari penggunaan beton dan kayu olahan, penerapan ventilasi alami, orientasi bangunan, dan sebagainya. Upaya ini dilakukan melalui kolaborasi Pemerintah Kota Tegal dengan Kementerian Pekerjaan Umum yang telah berjalan dalam tujuh tahun terakhir untuk mengembangkan konsep rusunawa rendah karbon.

 

Saat ini, pembangunan masih berada dalam tahap penyusunan purwarupa. Namun targetnya, rusunawa ini juga bisa terjangkau bagi masyarakat berpendapatan menengah ke bawah, dengan tarif sewa sebesar Rp650 ribu/bulan.

 

Pengalaman yang dilakukan Surabaya, Banda Aceh, Magelang, dan Tegal merupakan praktik baik yang penting untuk mendorong implementasi kota berkelanjutan dan transisi energi di sektor bangunan bagi 98 kota di seluruh Indonesia. Pemerintah dapat memperluas dan mempercepat upaya kota-kota ini untuk mencapai Net Zero Emission Indonesia pada 2060 atau lebih cepat.

 

---

 

Caecilia Galih Krisnhamurti merupakan SETI Project Manager, CERAH

Populer

Terbaru